“Di hamparan kain yang lusuh,” begitu Hamka memulai puisi Taubat-nya, “jiwa tertunduk dan bersimpuh/memohon ampun dari yang maha pengampun/atas segala dosa-dosa/yang mencemari raga yang semakin renta.”. Puisi itu menyadarkan pembaca akan hal-hal yang sudah dilaluinya, tentang bagaimana bodohnya tidakan itu dan konsekuensi di baliknya. Setelah terlalu lama terlena dengan kehidupan dunia yang fatamorgana, si “aku” meragukan dirinya bisa lepas dari kebodohan yang melahirkan tindakan-tindakanya. Namun, Tuhan yang memiliki sifat pengasih dan maha pengampun, menjadi harapan baginya untuk memohon taubat dan menghindari azab di depan mata.
Begitu juga dengan manusia secara kolektif. Entah, sudah berapa banyak bencana yang disebabkan oleh kebodohan tindakan mereka sendiri. Karena itu, sudah saatnya “kain lusuh” umat manusia dihamparkan untuk bersimpuh. Manusia mesti segera memohon ampun pada Allah dan memulai taubatnya, untuk menhentikan segala bencana-bencana yang menanti selanjutnya.
Taubat dalam Al-Qur’an
Perintah taubat memiliki kedudukan tersendiri dalam Al-Qur’an. Dalam QS. Hud ayat 3 bisa dilihat, bagaimana perintah untuk taubat diathofkan atau disandingkan dengan larangan untuk menyekutukan Allah pada ayat-ayat sebelumnya, yang merupakan salah satu pilar penting dalam Islam. Perintah ini juga disebutkan setelah Allah menjelaskan tujuan mengapa Al-Qur’an disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci dalam berbagai bidang, seperti ketauhidan, kenabian, ahkamus syari’ah, dan kisah-kisah umat terdahulu. Allah berfirman:
﴿ وَّاَنِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَّتَاعًا حَسَنًا اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى وَّيُؤْتِ كُلَّ ذِيْ فَضْلٍ فَضْلَهٗ ۗوَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيْرٍ ٣ ﴾
Artinya: Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kesenangan yang baik kepadamu (di dunia) sampai waktu yang telah ditentukan (kematian) dan memberikan pahala-Nya (di akhirat) kepada setiap orang yang beramal saleh. Jika kamu berpaling, sesungguhnya aku takut kamu (akan) ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat).
Ayat ini menunjukkan bagaimana taubat merupakan salah satu ajaran inti agama Islam setelah larangan untuk menyekutukan Allah dan ancaman azab apabila seseorang tidak mau untuk bertaubat.
Makna taubat dalam Al-Qur’an sendiri beragam. Beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan hal tersebut. Pada konteks ayat di atas, taubat dimaknai sebagai bentuk menghentikan segala tindakan syirik masa lampau umat manusia, untuk beralih menuju ketaatan dan keikhlasan untuk beribadah pada Allah.
Pada QS. An-Nur ayat 31, taubat berarti berhenti dari berbagai macam pelalaian dalam menegakkan kewajiban yang ditaklif oleh syariat. Ibnu Abbas dalam menafsiri ayat ini mengartikan taubat berarti berhenti dari tindakan semasa jahiliyah. Jadi, ada tiga makna taubat ditinjau dari apa yang ditaubati berdasar tafsiran ulama’ atas beberapa ayat Al-Qur’an tentang taubat, yakni dari syirik, dari melalaikan syariat, dan dari tindakan jahiliyah.
Makna taubat menjadi semakin jelas dalam rumusan syarat dan klasifikasi taubat oleh para ulama. Taubat dibagi menjadi dua, yakni yang hanya berhubungan dengan Allah dan yang berkaitan dengan hak manusia. Taubat jenis pertama memiliki tiga syarat, yaitu menghentikan maksiat, menyesal melakukannya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Sementara dalam taubat jenis kedua, ditambahi satu syarat lagi, yaitu terbebas dari tanggungan hak yang didzolimi, entah itu berupa mengembalikan harta, had qodzaf, atau memohon kehalalan apabila pernah menggibahi seseorang.
Taubat ini hukumnya wajib bagi setiap dosa. Agama juga memerintahkan pelaku maksiat untuk taubat nasuha. Taubat nasuha berdasar penjelasan Syekh Nawawi dalam menafsirkan QS. At-Tahrim ayat 8 yaitu taubat dengan penyesalan yang sungguh dan begitu tulus dan setia dalam menjalankanya.
Taubat dari Dosa Sosial
Berdasar penjelasan Al-Qur’an mengenai taubat itu, bisa dirumuskan bagaimana bentuk taubat yang bisa dilakukan umat manusia atas dosa-dosa sosialnya. Pertama, soal dosa sosial apa yang perlu ditaubati. Dosa sosial di sini berarti dosa yang dilakukan secara kolektif dan berdampak pada umat manusia secara umum. Sementara ada tiga klasifikasi dosa yang perlu ditaubati menurut pandangan ulama sebagaimana dijelaskan di atas.
Taubat dari syirik dalam konteks dosa sosial, berarti taubat dari prinsip ketuhanan masa lampau yang tidak logis. Di dalam Al-Qur’an diceritakan bagaimana umat terdahulu mempercayai tuhan-tuhan selain Allah yang tidak masuk akal menjadi Tuhan, seperti Fir’aun dan patung-patung yang merupakan makhluk yang diciptakan dan barang hadits atau baru. Manusia mesti taubat dari hal ini dan beralih pada prinsip ketauhidan dan mengimani Allah sebagai satu-satunya Tuhan.Dosa sosial di sini berarti dosa yang dilakukan secara kolektif dan berdampak pada umat manusia secara umum
Selanjutnya, taubat dari melalaikan syariat dalam konteks dosa sosial, seperti taubat dari penegakan hukum yang tidak adil dan setara, pengelolaan keuangan negara yang tidak untuk kemaslahatan umat, sikap intoleransi, kerusakan ekologi, dan sebagainya. Sementara taubat dari tindakan jahiliyah, dengan mengacu penjelasan Prof Quraisy Syihab bahwa jahiliyah itu karakter bukan periode tertentu, berarti taubat dari perilaku-perilaku sosial seperti penindasan atas perempuan dan kaum lemah, bersikap rasisme, mudahnya perpecahan dan pertumpahan darah akibat politik praktis, kemiskinan struktural, ekosistem ekonomi yang tidak sehat, perasaan superior sebagai bangsa yang mendorong kolonialisme dan imperialisme, dan sebagainya.
Dosa-dosa sosial tersebut, diakui atau tidak, nyatanya masih marak dilakukan oleh umat manusia. Karenanya, meski terlambat, manusia harus segera bertaubat atas seluruh dosa-dosanya tersebut. Cara taubatnya juga mesti memicu syarat taubat yang dirumuskan ulama. Manusia, mula-mulanya, mesti menghentikan tindakan dosa-dosa sosialnya tersebut, menyesal dan sadar akan kesalahan masa lalu, serta membangun tekad bersama untuk tidak melakukanya di masa depan.
Selain itu, ini yang sepertinya paling sulit, manusia mesti minta maaf, membayar tanggungan dan memohon kehalalan atas segala dosanya pada pihak-pihak yang terdholimi. Penguasa dzolim misalnya, mesti bersedia dihukum secara adil dan minta maaf atas rakyatnya. Golongan mayoritas yang diskriminatif harus menjamin kenyamanan golongan minoritas dan meminta maaf kepada mereka. Soal kerusakan ekologi, manusia mesti minta maaf pada alam dan membangun usaha untuk memperbaiki kerusakan-kerusakanya. Bangsa kolonial mesti mengganti rugi dan bertanggung jawab atas perampasaan kekayaan dan hak milik bangsa jajahanya.
Dengan begitu, semoga Allah bisa melihat keseriusan umat manusia dalam bertaubat atas dosa-dosa sosial mereka dan menerima taubat mereka. Sehingga, umat manusia dapat terhindar dari azab pedih yang diancamkan Allah bagi orang yang tidak mau bertaubat. Langkah besar itu, tentu saja bermula dari langkah kecil, yaitu diri masing-masing manusia sendiri.
Wallahu a’lam bish showab.