Nyalase: Agama yang Mengakar di Kampung Madura

Ada hal-hal yang tak selalu diajarkan lewat buku, tetapi diwariskan dari tubuh ke tubuh, dari tangan yang selalu membersihkan makam kepada anak-anak yang melihat lalu meniru. Sumenep menjadi bagian penting dari tumbuh kembangnya tradisi dan agama, terutama di Pulau Gili Iyang. Salah satu warisan utamanya adalah Nyalase.

Tradisi Nyalase bukan sekadar agenda bersih-bersih menjelang Ramadan. Nyalase adalah laku, ingatan, dan penghormatan—yang merawat hubungan dengan leluhur, dan sekaligus menyegarkan kembali kesadaran bahwa hidup ini akan berakhir, dan itulah sebabnya ia harus dijalani dengan baik.

Menyitir Clifford Geertz, dalam esainya berjudul Religion as a Cultural System, disebutkan bahwa agama bukan hanya sistem keyakinan, tetapi juga sistem simbol. Ia bekerja dalam wilayah-wilayah paling dalam dari cara manusia memaknai hidup. Agama, dalam pandangan Geertz, mengatur cara kita merasa, berpikir, dan bertindak. Maka, kalau kita ingin memahami mengapa orang Madura menyapu dan membersihkan makam dengan telaten, menabur bunga, bahkan memberi sedekah kecil di sekitar makam, kita tidak cukup hanya melihatnya sebagai adat. Ia adalah agama—yang dijalani, bukan sekadar diyakini.

Kita mempunyai pandangan terkait apa itu makam. Dalam Nyalase, makam bukanlah tempat yang ditinggalkan. Ia adalah rumah, bahkan mungkin rumah yang lebih utuh ketimbang rumah-rumah fisik kita yang sehari-hari ditinggali. Makam adalah rumah spiritual, tempat jiwa-jiwa terdahulu tetap hadir dalam laku orang-orang yang masih hidup. Ini bukan metafora kosong. Ada suatu makna yang dalam, yang tidak bisa dijangkau alam bawah sadar.

Di sini, tubuh simbolik makam menjadi penghubung antara dunia kasatmata dan dunia yang tak terlihat. Dalam kacamata Geertz, simbol semacam ini memuat kepadatan makna yang tak bisa dipisahkan dari kerangka hidup masyarakatnya. Makam sudah terlanjur dianggap rumah, maka membersihkannya adalah bentuk etika, bukan kewajiban kosong. Perilaku semacam ini adalah ekspresi dari ethos: rasa hormat, tanggung jawab, dan cinta kepada yang telah pergi. Maka, Nyalase adalah ritus yang bukan hanya menjaga kebersihan, tetapi menjaga relasi. Di sana ada keterhubungan antara yang hidup dan yang sudah meninggal.

Ketika warga desa berkumpul untuk membersihkan makam, yang sedang ditabur bukan hanya bunga, tetapi juga pandangan hidup, harapan-harapan, dan tentu juga doa. Geertz menyebut hal ini sebagai proses pembentukan ethos dan worldview. Kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai religius menyusup ke dalam tindakan sosial, dan bagaimana pandangan dunia—bahwa hidup itu fana, dan kematian adalah bagian darinya—ditanamkan dalam cara yang sangat bersahaja.

Worldview yang muncul dari Nyalase seperti ingin mengatakan bahwa kehidupan tidak bisa dilepaskan dari kematian. Keduanya berjalin dalam satu siklus yang tidak bisa diputus. Maka, bersih-bersih makam tidak hanya menjadi soal menjaga kebersihan, tetapi juga merawat hubungan antar generasi, antar dunia, dan barangkali juga antar harapan-harapan.

Salah satu keunikan Nyalase, yaitu tidak pernah masuk kurikulum. Ia tidak diajarkan secara formal, apalagi lewat ceramah-ceramah di panggung dan khotbah di masjid. Nyalase diwariskan dalam keheningan, dalam keterlibatan, dalam ikut serta. Anak-anak tidak diminta memahami dalil, tetapi diajak ikut turun tangan. Ini adalah bentuk pendidikan spiritual yang khas: agama yang hidup dalam laku, bukan semata dalam buku. Geertz menyebut ini sebagai agama yang dijalani (lived religion).

Pada titik ini, budaya tidak lagi sekadar menjadi ekspresi agama, melainkan jembatan yang memungkinkan agama hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari. Agama tidak hanya dipahami sebagai kumpulan dogma atau ajaran yang abstrak, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata yang membentuk cara hidup, etika, dan relasi sosial. Budaya memberi ruang bagi agama untuk berakar, tumbuh, dan berinteraksi dengan realitas sosial.

Yang jauh menarik dari Nyalase ialah bagaimana ia menyucikan yang sehari-hari. Di tengah hiruk-pikuk persiapan Ramadan—belanja, masak, dan rencana buka bersama—masyarakat menyempatkan diri untuk merawat yang tak terlihat. Membersihkan makam menjadi bagian dari cara menyambut bulan suci. Sakral tidak lagi terbatas di masjid, tetapi juga hadir di tanah makam yang dibersihkan dengan telaten. Tradisi ini juga menguatkan tentang spiritualitas umat Muslim dalam menyambut Ramadan.

Di sinilah terlihat bagaimana agama tidak hadir sebagai institusi yang kaku, tetapi sebagai sistem makna yang menghidupkan kehidupan. Nyalase menjadi pengingat bahwa religiusitas tak selalu hadir dalam ritual besar, tetapi bisa tumbuh dari tindakan sederhana yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan makna dalam keseharian. Kita bisa menyaksikan bagaimana antusiasme masyarakat dalam merawat dan melestarikan tradisi ini setiap menjelang bulan Ramadan.

Tradisi Nyalase menjadi sesuatu yang konkret dari bagaimana agama bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hadir sebagai ajaran yang keras, tetapi sebagai laku yang lembut. Bahkan tidak memaksa, tetapi membentuk. Dalam bahasa Geertz, barangkali Nyalase adalah bagian dari sistem simbol yang membentuk cara masyarakat memaknai hidup dan mati. Ia bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari keberagamaan yang tumbuh dari tanah, dari relasi sosial, dan dari rasa hormat kepada mereka yang telah lebih dulu pergi. Maka, ketika kita membersihkan makam, yang kita rawat bukan hanya nisan, tetapi juga cara kita menjadi manusia.

0

Mahasiswa Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.