Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tradisi Ramadan di Masjid Jogokariyan Yogyakarta

2 min read

Pada mulanya, sekitar tahun 1970 Jogokariyan adalah kampung juragan batik. Masyarakat Jogokariyan terbilang cukup mapan secara ekonomi. Kondisi semacam ini lambat laun mulai menemukan titik suram setelah industri batik cap masuk ke Jogokariyan. Penghasilan warga setempat lumpuh, banyak juragan batik bangkrut. Anak-anak sekitar masjid Jogokariyan terpaksa tidak melanjutkan sekolah.

Sebagaimana penelitian Wahyu Panca Hidayat (2015) bahwa keberadaan industri batik cap berdampak pada dinamika ekonomi di Jogokariyan. Tak heran bila anak-anak juragan batik beralih profesi menjadi tukang becak dan pedang kecil. Situasi semacam ini menjadi lanskap kehidupan masyarakat di sekitar masjid Jogokariyan pada tempo dulu. Perlahan dan pasti, masyarakat mulai bangkit dan berdaya secara ekonomi. Salah satu di antaranya hadirnya festival tahunan bernama Kampung Ramadhan Jogokariyan menjadi tagar yang viral setiap menjelang bulan Ramadan.

Jika anak-anak rantau, khususya mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta sudah tentu mendengar istilah Kampung Ramadhan Jogokariyan (KRJ). Entah sekadar untuk membatalkan puasa dengan menu takjil di masjid Jogokariyan atau menikmati suasa keramaian menjelang buka puasa. Iya, bagi kalian yang belum ke KRJ, di sana bukan hanya disediakan takjil gratis, tetapi pasar rakyat dengan berbagai macam makanan dan minuman, dari yang biasa-biasa saja sampai yang lagi viral. Tahun 2022, kali pertama saya menyaksikan ribuan orang saling berdesakan di utara masjid Jogokariyan. Anak-anak muda dan mahasiswa memadati area KRJ.

Ada satu lelucon yang sampai hari ini saya ingat betul, kata teman saya begini, “takjilnya gratis, pasar di sepanjang KRJ bikin saku menipis,” begitulah saya dan teman-teman ketika pulang dari KRJ setelah menghabiskan uang Rp. 50.000 rupiah. Sepenggal pengalaman ini barangkali satu di antara kisah teman-teman yang pernah berkunjung ke KRJ. Lebih jauh, saya akan menarik pada ranah masjid Jogokariyan beserta lapisan komunitas kemasyarakatannya sebagai model dari corak masyarakat Islam perkotaan.

Baca Juga  Kesehatan Psikologis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Revolusi sistem ketakmiran dimulai sejak tahun 2003 dengan merangkul anak-anak muda dan pejabat setempat dalam struktur ketakmiran. Pola semacam inilah yang membuka jalan kesuksesan pengembangan jama’ah di masjid Jogokariyan. Pelayanan takmir masjid Jogokariyan meliputi tiga aspek, yaitu aspek spiritual, sosial dan ekonomi. Jangan pernah meragukan masjid jika bicara aspek spiritual, sudah tentu masjid tempat memawadahi pahala dengan ritual-ritual keagaamaan. Dari salat lima waktu, tadarus, kajian-kajian keagamaan, dan aktivitas yang tidak jauh-jauh dari rukun Islam.

Begitupun dengan pelayanan sosial, masjid Jogokariyan memberikan warna berbeda dengan masjid lain di sekitarnya. Masjid benar-benar difungsikan sebagai pusat aktifitas masyarakat. Lihat saja misalnya, ada pelayanan sosial yang meliputi relawan masjid, terbentuknya komunitas-komunitas, penyembelihan hewan kurban, olahraga, dan bersih-bersih masjid. Yang mana masjid Jogokariyan sejak awal didesain mengembalikan masjid pada era Nabi Muhammad SAW. Tak heran bila masjid Jogokariyan cukup populer di kalangan warga Yogyakarta. Khususnya menjelang bulan suci Ramadan.

Bicara pelayanan ekonomi pun demikian, masjid yang satu ini cukup membuat orang terheran-heran. Pasalnya, masjid Jogokariyan terkenal dengan infak saldo nol rupiah. Artinya, semua infak dari jemaah dan masyarakat digunakan untuk pengembangan jemaah dan aktifitas sosial masyarakat yang tidak melenceng dari program masjid selama ini. Tentu metode demikian membuat jemaah semangat mengamalkan harta untuk kepentingan agama dan masyarakat. lebih-lebih ketika bulan suci Ramadan. Setiap hari, tidak kurang dari 3000 takjil yang dibagikan kepada masyarakat. Jumlah yang tidak sedikit bukan?

Masjid ini dibangun sejak tahun 1966, setiap bulan puasa menyediakan beranekaragam menu buka puasa, mulai tongseng, sarang bandang, empal genthong, rawon daging sapi, gulai sampai pula bestik galantin. Cukup kiranya membuat lidah para jemaah pemburu takjil menyantap lezatnya buka bersama di masjid Jogokariyan. Tradisi buka puasa di masjid yang terletak tidak jauh dari Pondok Pesantren Al-Munawwir ini sudah ada sejak tahun 1973 dan lestari sampai hari ini.

Baca Juga  Kyai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20 (1)

Saya kira, mayarakat di sekitar masjid Jogokariyan bagian dari masyarakat urban. Di mana masyarakat urgaban sendiri tumbuh dan berkembang dengan konsekuensi dari modernitas. Anthony Giddens misalnya, menyebut konsekuensi modernitas bisa dilihat dari kehidupan masyarakat di akhir abad ke-20 yaitu adanya fenomena dua kutub: perkembangan institusi sosial modern dan persebarannya ke berbagai penjuru. Di balik gemerlap modernitas, ada pula sisi gelapnya, tentu dengan dampak yang cukup mengerikan di abad ini.

Di sini kita bisa melihat masjid Jogokariyan bukan sekadar rumah ibadah, melainkan ruang publik. Memasuki periode perkembangan masjid Jogokariyan bisa dilacak pada satu dekade seperti apa kondisi realitas sosial masyarakat Jogokariyan. Masjid mulai dijadikan pusat interaksi masyarakat. Intensitas tinggi dalam memanfaatkan masjid untuk pelaksanaan ibadah maupun aktivitas sosial dapat merekatkan interaksi sosial dan kerukunan masyakat. Lebih-lebih ketika kita melihat masjid Jogokariyan yang berada di pusat kota.

Menurut Project for Public Spaces (PPS) organisasi nirbala Amirika fokus pada model dan perencanaan ruang publik, di antaranya ada empat kualitas utama yang perlu diperhatikan ruang publik; pertama, kemudahan akses; kedua, nyaman serta memiliki visual yang baik; ketiga, aktivitas di dalamnya; keempat, memiliki nilai sosial yang mendorong individu saling bertemu dan berinteraksi. Di sini, apa yang dilakukan masjid Jogokariyan saya kira menemukan korelasinya. Masjid mulai dikembangkan ke arah pemberdayaan masyarakat, membuat layanan dengan mempermudah akses warga sekitar, dan juga aktivitas masjid lebih dari sekadar ritual keagamaan.

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta