Pemenuhan dalam cukup waktu untuk tidur dan kebutuhan makan merupakan suatu kegiatan yang menjadi fitrah (sunnatullah) dalam kehidupan manusia. Manusia harus memenuhi dua kebutuhan tersebut agar dapat menjalani aktivitas kesehariannya dengan fokus dan maksimal serta dapat membuat badan menjadi lebih sehat dan segar.
Kebutuhan untuk tidur dan makan yang cukup diperlukan agar manusia dapat berkonsentrasi penuh, menghindari stres, meningkatkan daya tahan tubuh dan daya ingat, menjaga kesehatan jantung, serta meminimalisir gangguan-gangguan yang lain. Selain itu, jika keduanya terpenuhi maka manusia dapat menjalani kehidupannya dengan tenang dan produktif.
Pemenuhan kebutuhan makan dan tidur dari seseorang akan berbeda dengan orang lain, tergantung juga dari aktivitas, kondisi tubuh, dan suhu daerah tempat dia tinggal. Biasanya orang-orang yang hidup di wilayah yang dingin memiliki kemampuan bertahan lebih lama daripada orang-orang yang hidup pada wilayah yang panas. Hal terebut dikarenakan jumlah cairan yang dikeluarkan oleh tubuh orang-orang yang hidup di wilayah dingin lebih minimum dari orang-orang yang tinggal di wilayah panas.
Mengutip dari laman upk Kemenkes yang mengatakan bahwa kebutuhan tidur manusia dewasa secara normal berkisar antara 7-8 jam sehari. Dengan tidur dalam waktu tersebut fungsi tubuh manusia akan berjalan dengan baik dan segar serta melancarkan peredaran darah sehingga dapat meminimalisir terjadinya beberapa penyakit dalam tubuh seperti penyakit jantung dan stres.
Demikian juga dalam mengatur pola makan sehari-hari, setidaknya seseorang harus melakukan makan sebanyak 3 kali sehari dengan pertimbangan gizi yang cukup. Pola makan tiga kali dalam sehari diciptakan agar seseorang merasa kelaparan dengan jeda waktu 6-8 jam sampai pada waktu menjelang makan selanjutnya. Pemenuhan makanan bergizi juga ditekankan agar seseorang dapat mengoptimalkan sistem daya tahan tubuhnya.
Jika kebutuhan tidur dan makan yang diperlukan manusia normal adalah seperti yang dijelaskan di atas, bagaimana dengan orang-orang yang seringkali melakukan praktik tirakat dalam kehidupannya ? Apakah anjuran dalam psikologi memiliki pernyataan yang berlawanan dengan praktik tirakat dalam Islam yang memiliki anjuran untuk melakukan sedikit makan dan mengurangi waktu tidur dalam pemenuhannya ?
Tirakat berasal dari kata thariqah yang bermakna jalan. Tirakat juga dimaknai sebagai meninggalkan (taroka). Dari kedua istilah tersebut, tirakat dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menuju jalan Allah SWT dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Biasanya dalam praktiknya, tirakat seringkali dilakukan dengan berbagai bentuk misalnya sholat, wirid, dan berpuasa. Dalam pesantren, praktik tirakat juga dilakukan oleh para santri yang menjalankan amalan-amalan yang diberikan oleh gurunya.
Dalam budaya Jawa juga terdapat praktik tirakat seperti pati geni, ngebleng, ngrowot, puasa Senin-Kamis, ngeruh, mutih, dan lain sebagainya. Sebagian tokoh Jawa dulu juga menganjurkan orang-orang untuk melakukan tirakat. Misalnya saja Ronggowarsito yang menulis anjuran tersebut dalam Serat Wedharaga :
Makanya yang tepat; sejak muda saatnya untuk lelaku; mengurangi makan tidur sementara; menahan hawa nafsu; dengan didasari sifat sopan santun.
Seorang pelaku tirakat pada umumnya dianjurkan untuk melakukan sedikit makan, minum dan mengurangi waktu tidurnya. Sebagian waktu untuk tidur biasanya digunakan untuk berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT. Tindakan tersebut memiliki tujuan agar seorang pelaku tirakat dapat membiasakan diri untuk mengontrol atau mengekang hawa nafsunya. Dengan membiasakan hal tersebut, seorang pelaku tirakat dapat melakukan ibadah dengan tenang agar dapat mendekatkan diri dengan Allah SWT.
Nabi Muhammad telah menganjurkan sebuah perintah untuk melakukan tirakat yang tertulis dalam hadits. Upaya melakukan tirakat yang dilakukan dengan berpuasa tersebut dianjurkan oleh Nabi Muhammad agar seseorang tidak tenggelam dalam kemaksiatan. Hadits tersebut berbunyi :
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah saw mengatakan kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mempunyai kemampuan untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan; dan barangsiapa tidak mempunyai kemampuan untuk menikah maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa menjadi benteng bagi dirinya.”
Di dalam Al-Qur’an juga telah dijelaskan tentang perintah untuk membatasi diri dari pemenuhan hawa nafsu yang dijelaskan pada QS al-Isra ayat 29 yang berbunyi :
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Jika melihat dari kedua pandangan tersebut, diantara keduanya dapat dikatakan sebagai hal yang bertentangan, namun perlu untuk kita pahami lagi bahwa keduanya merupakan hal yang juga masuk akal. Disamping persepktif psikologi yang menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan tidur dan makan agar lebih sehat dan produktif, tidak jarang juga kita menemui orang-orang yang melakukan tirakat tidak mengalami gangguan untuk produktif dalam aktivitas kesehariannya.
Mengapa dua hal yang bertentangan tersebut dapat menjadi sesuatu yang masuk akal ?
Jika melihat dari kedua perspektif tersebut, semua dapat dilihat kembali kepada hati daripada orang-orang yang meyakininya. Sebelum kedua perilaku tersebut disepakati oleh para pelakunya, pastinya kita sudah memiliki sebuah motivasi yang menjadi dorongan tersendiri untuk melakukannya. Dorongan-dorongan yang muncul dalam hati para pelaku tersebut menjadi semangat dan penguat rasa dalam diri mereka untuk melakukannya.
Manfaat lain daripada pelaku tirakat juga menjadikan diri untuk semakin lebih istiqomah dan konsisten bagi yang menjalankannya. Meskipun beberapa ulama ada yang mengatakan bahwa tirakat merupakan upaya yang berlebihan dan dapat membahayakan tubuh, namun beberapa orang telah membuktikan dan berhasil menjalankannya.