Bakhrul Huda Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Fenomena Alumni Universitas al-Azhar yang Membenci Ilmu al-Azhar

2 min read

Dua hari ini tepatnya sejak Senin 10/08/2020 penulis terlibat dalam diskusi dengan salah satu senior lulusan S1 Azhar, sebut saja SA yang juga lulusan salah satu pondok ternama yang bias afiliasinya apakah pondok ini “hijau” atau “biru”—alias paham semua golongan dapat diterima di pondok tersebut. Saya mengenal senior ini karenayang bersangkutan ikut terlibat dalam kepanitiaan yang memberangkatkan penulis daftar dan berangkat ke Mesir di tahun 2004.

Keterlibatan penulis dalam diskusi dengan yang bersangkutan saat status FB-nya sedang mengomentari video Habib Umar b. Hafidz yang sedang memberikan tausiyah dan mendadak berhenti dengan pandangan takjub dan senang akan sesuatu di hadapannya. Diyakini oleh beberapa Ahbab Habib Umar bahwa sang Habib sedang mendapat rukyah (melihat) Nabi Muhammad yaqadzatan (secara terjaga) hadir dalam majelis tersebut.

Senior saya yang bekerja sebagai guru salah satu sekolah swasta ternama di Surabaya tersebut mengomentari “ketidakberesan” ajaran dan rusaknya akidah sang Habib serta mengingatkan agar berhati-hati dalam mengikuti ajarannya. Senior saya kemudian menyebutkan dengan memberikan link yang terafiliasi dengan paham Salafi-Wahabi akan ketidakmungkinan dan kemungkaran tentang melihat Nabi saw. secara terjaga sebab Nabi saw. sudah fana’ di makamnya.

Tidak mungkin secara jasad Nabi pergi ke berbagai penjuru dunia menampakkan wujudnya menemui umatnya dengan menyebutkan Hadis tentang kebangkitan pertama kali kelak di hari Kiamat adalah Nabi saw. dengan dalil Hadis ini dia menganggap bahwa sejak Nabi wafat sampai kelak esok hari Kiamat. Nabi saw. tidak ke mana-mana. Beliau tetap dikuburnya belum dibangkitkan oleh Allah swt.

Dari situ saya berkomentar dalam statusnya tersebut dengan memposting hadis Sahih Bukhari:

من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي

Baca Juga  Teologi Puasa di Era Pandemi Covid-19

“Barangsiapa telah melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku secara terjaga sebab setan tidak dapat menyerupaiku”

Selang sehari kemudian ada notifikasi balasan atas komentar saya dalam statusnya oleh senior saya tersebut dengan mempertanyakan tidakkah saya membaca penjelasan ulama salaf tentang hadis tersebut? Lalu di bawahnya ada komentar dari salah satu teman FB-nya; “biarkan ustaz, orang gila, ndak usah diladeni”. Kemudian ada balasan dari senior memberikan emote kaget dan dibalas oleh teman FB-nya emote ketawa.

Dari empat balasan atas komentar saya tersebut, saya kemudian menulis balasan dengan menyertakan link; “monggo dibaca, njenengan lulusan al-Azhar kan? Ini penjelasan Darul Ifta’ Mesir tentang kebolehan dan mungkinnya bertemu Nabi saw. secara terjaga loh, masak anda meragukan kredibilitas ulama-ulama yang duduk di Darul Ifta’? dan ini juga penjelasan Syeikh Ali Jum’ah, salah satu anggota Dewan Senior Ulama Azhar tentang kemungkinan seseorang bertemu Nabi saw.”

Dalam artikel Syeikh Ali Jum’ah, beliau memberikan penjelasan dengan merujuk pada Imam Jalaluddin al-Suyuti, Ibnu Hajar al-Haitami dan lainnya tentang Hadis Sahih Bukhari di atas bahwa melihat Nabi saw. secara terjaga adalah hal yang dapat terjadi dan tidak ada dalil yang mengingkari akan hal itu.

Pertama, jika Hadis Sahih Bukhari itu dipahami maksud melihat Nabi Muhammad secara terjaga itu adalah saat kelak di hari Kiamat, sebagaimana yang dipahami orang-orang mengingkari rukyah yaqadzatan di dunia, maka itu kurang tepat sebab kelak di hari Kiamat baik umat beliau saw. yang belum pernah mimpi ketemu beliau selama di dunia ini akan dapat melihat beliau juga dan bahkan semua umat-umat Nabi terdahulu juga akan mampu melihat beliau saw.

Baca Juga  Tafsir QS. al-Baqarah Ayat 216 : Pentingnya Mengambil Sikap Sewajarnya dalam Mencintai dan Membenci

Kedua, membatasi pemahaman Hadis Sahih Bukhari tadi dengan menyatakan perjumpaan secara terjaga kelak di hari Kiamat harus berdasar pada dalil naqli dan nyatanya tidak ada dalil tersebut.

Kembali pada diskusi saya dengan senior tadi, bahwa banyak kawan yang berakidah Salafi-wahabi jika sudah kalah berdebat dan mulai tersudut akan menghapus statusnya. Padahal saya sudah menanti apa kira-kira balasannya nanti dan sudah saya siapkan opsi-opsi jawaban.

Salah satunya adalah jika ia mengingkari apa yang sudah disampaikan oleh Darul Ifta’ dan Syeikh Ali Jum’ah di atas, maka akan saya balas; “njenengan ini kuliah lulus S1 saja berani mengingkari pendapat lulusan-lulusan S3 Azhar. Mereka itu loh hapal Alquran, ribuan Hadis, dan segenap keilmuan Islam lainnya dan keilmuan Azhar yang mendalam. Kita ini apa?

Juga njenengan ini aneh, lulusan Azhar kok kiblat ilmunya ke orang Saudi Salafi-Wahabi?”. Tapi sayangnya balasan ini belum sempat saya sampaikan pada status FB Senior saya ini, sebab statusnya tidak hanya dihapus tapi juga saya diblokir dan di-unfriend olehnya.

Akhir-akhir ini, penulis lagi senang berdebat dengan kawan FB utamanya terkait kawan-kawan lulus Sarjana Universitas al-Azhar tapi anti-keilmuan dan akidah yang dianut oleh al-Azhar secara institusional.

Penulis cuman penasaran dengan motif mereka, sengaja kuliah di al-Azhar dan mendapat gelar licence al-Azhar tapi ketika dakwah dan mentransfer ilmu ke anak didik dan masyarakatnya kok menggunakan keilmuan Salafi-Wahabi?

Kemungkinan terbesar kuliahnya dulu tidak benar-benar berguru pada Ulama al-Azhar. Kuliah hanya sekadar agar dapat licenceal-Azhar biar keliatan prestise di mata masyarakatnya. [MZ]

Bakhrul Huda Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya