
Beberapa waktu yang lalu, dunia kembali dihebohkan dengan kasus pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah media massa di Prancis. Kartun nabi itu dibuat sebuah media massa dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Bukan hanya Islam yang seringkali dikritik melalui karikatur di media tersebut, kerap kali mengkritik kelompok sayap kanan, termasuk politik, budaya, dan beberapa agama seperti Katolik dan Yudaisme.
Para pembela kartun nabi berdalih bahwa karikatur yang dimuat oleh media massa tersebut adalah kebebasan berekspresi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari seuah kebebasan pers. Dengan kata lain, kartun nabi itu itu bagian dari produk jurnalistik. Benarkah demikian?
Untuk menjawabnya, kita perlu mengujinya dengan dua hal. Pertama, kita perlu kembali pada definisi dari karikatur itu sendiri. Kata karikatur berasal dari bahasa Italia caricare yang berarti memberi muatan atau melebih-lebihkan. Gambar karikatur adalah gambar atau penggambaran suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut. Artinya, jika seorang kartunis ingin menggambarkan sosok tokoh A misalnya, kartunis harus mengetahui dengan benar sosok A tersebut. Dari sosok A itu kemudian, sang kartunis melebih-lebihkan bentuk hidung, mata, kepala, kaki dan anggota tubuh dari sosok A tersebut.
Singkat kata, sebuah karikatur dikatakan sebagai sebuah produk jurnalistik, bila karya itu berpijak pada fakta, dalam hal ini tentu saja adalah anatomi tubuh dari sosok yang ingin dibuat karikaturnya. Jadi, meskipun karikatur itu merupakan produk imajinasi, tapi tetap berpijak pada fakta. Pertanyaannya adalah apakah kartunis yang menggambarkan karikatur Nabi Muhammad SAW itu mengetahui sosoknya sehingga dengan pijakan itu ia membuat karikatur?
Jika, jawabannya tidak, maka sang kartunis membuat kartun Nabi Muhammad SAW hanya berdasarkan imajinasi semata, bukan fakta. Nah, apakah produk yang hanya didasarkan dari imajinasi dapat dikatakan sebagai produk jurnalistik? Jika karikatur Nabi Muhammad SAW hanya berpijak pada imajinasi, lantas kemudian diberi nama Nabi Muhammad, dapat dikatakan itu produk hiburan. Produk hiburan berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian, tidak peduli itu berdasarkan kenyataan sesungguhnya atau tidak.
Kedua, salah satu elemen dasar jurnalistik menurut Bill Kovach & Tom Rosenstiel adalah jurnalisme sebagai forum publik. Artinya, sebuah produk jurnalisme harus memfasilitasi sebuah debat publik yang bermakna dan berujung pada sebuah kompromi, karena demokrasi dibangun dari kompromi-kompromi. Pertanyaannya kemudian adalah apakah karikatur Nabi Muhammad SAW, yang hanya didasarkan pada imajinasi kartunisnya itu, memfasilitasi terjadinya debat publik yang bermakna dan berujung pada sebuah kompromi publik?
Karikatur Nabi Muhammad SAW tidak mengundang sebuah perdebatan publik terkait dengan tafsir dari ajaran Islam yang akan dikriktik. Karikatur Nabi Muhammad SAW justru memfasilitasi pihak-pihak yang berbeda pendapat terkait dengan tafsir dari Agama Islam berkelahi lebih sengit. Itu sudah terbukti setelah dipublikasikannya karikatur itu, terjadi penyerangan yang mengakibatkan korban jiwa. Bukan hanya itu, menurut CNN Indonesia, setelah serangan di kantor Charlie Hebdo, media yang menerbitkan kartun Nabi Muhamamd, pada 2015 silam, sentimen anti-Islam di Prancis meningkat menjadi 110 persen. Bukankah ini membuktikan bahwa kartun yang diklaim sebagai gambaran sosok Nabi Muhammad SAW hanya memfasilitasi perkelahian antar pihak menjadi lebih sengit?
Jika kartun yang diklaim sebagai gambaran Nabi Muhamamd SAW di sebuah media massa itu bukan merupakan produk jurnalistik, lantas apa yang sedang dikejar dari penerbitan kartun itu? Cara masyarakat dan institusi di dalam bersikap tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi yang sedang dihadapi. Dengan mendasarkan analisis pada persoalan ekonomi yang sedang dihadapi oleh media yang menerbitkan kartun yang diklaim sebagai sebagai gambaran sosok Nabi Muhammad SAW itu, kita akan menemukan jawabannya, bahwa kebebasan berekspresi dan pers untuk membenarkan penerbitan kartun itu hanya dalih saja. Sejatinya, bukan itu yang sedang dituju dari penerbitan kartun itu. Tujuan dari penerbitan kartun yang diklaim seabagai gambaran sosok Nabi Muhammad SAW itu sejatinya adalah akumulasi kapital dari industri pers.
Seiring dengan pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menyebabkan perubahan pula cara publik mengakses informasi. Publik kini bisa lebih cepat mengakses informasi melalui media sosial. Bahkan melalui media sosial itu pula publik bukan hanya menjadi konsumen namun juga produsen informasi. Beberapa media massa konvensional telah berguguran dengan perubahan pola produksi dan konsumsi media ini. Dari situlah perlombaan kecepatan dan sensasional dalam memproduksi informasi dimulai.
Alih – alih melakukan improvisasi atau inovasi terhadap perubahan pola produksi dan konsumsi media ini. Sebagian media massa justru larut dalam perlombaan kecepatan dan sensasional dalam memproduksi informasi. Prinsip-prinsip dasar jurnalistik pun diabaikan untuk memenangkan perlombaan kecepatan dan sensasional dalam memproduksi informasi itu. Muara dari perlombaan itu tentu saja adalah perebutan caruk pasar pembaca media yang makin menyempit. Perebutan pasar pembaca media itu berujung pada akumulasi kapital pemilik modal di industri media massa.
Penerbitan kartun yang diklaim sebagai gambaran sosok Nabi Muhammad SAW lebih tepat bila ditempatkan dalam konteks perebutan akumulasi kapital dari para pemilik media massa ini. Kebebasan berekspresi dan pers tidak tepat ditempatkan sebagai konteks penerbitan kartun tersebut.
Lagi-lagi publik yang dikorbankan dalam perlombaan akumulasi kapital para pemilik industri media massa itu. Kali ini kartun yang diklaim sebagai gambaran sosok Nabi Muhammad SAW, dijadikan alat untuk mendulang uang, kedepan bisa juga sosok-sosok lainnya. Jika jurnalisme semu ini mendominasi praktik jurnalistik di masa depan, maka media massa tidak pantas lagi disebut sebagai pilar demokrasi. Jurnalisme semu telah menjadikan media massa sebagai pilar korporasi yang hanya memiliki satu tujuan, akumulasi kapital. Demokrasi pun dibajak segelintir pemilik modal di industri media massa. Mau?
Executive Director OneWorld-Indonesia