Ahmad Choirul Rofiq Dosen IAIN Ponorogo

Yang Diperlukan Itu Pengamalan Pancasila, Bukan Perubahan Pancasila

2 min read

Di tengah upaya Indonesia menangani virus corona, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). RUU HIP yang diusulkan Fraksi PDIP menuai banyak penolakan.

Di antara berbagai elemen masyarakat yang menolaknya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada 12 Juni 2020 menerbitkan maklumat bahwa RUU HIP dapat mendistorsi substansi Pancasila dan membahayakan NKRI karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 (tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia) sebagai konsideran dan justru mendukung pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila yang akan melumpuhkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Secara historis proses ideologisasi Pancasila telah berlangsung dinamis. Pada 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengemukakan lima asas dasar negara, yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pada 31 Mei 1945 Supomo menegaskan pentingnya dasar negara yang meliputi Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir dan Batin, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat.

Pada 1 Juni 1945 Ir. Sukarno berdasarkan saran kawannya yang ahli bahasa mengusulkan nama Pancasila dan rumusannya, yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan, serta menawarkan Trisila (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan) dan Ekasila (Gotong-Royong).

Pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan (Sukarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wachid Hasyim, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso) menyepakati Piagam Jakarta yang memuat rumusan dasar negara (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Naskah Piagam Jakarta ini kemudian dijadikan Pembukaan UUD 1945.

Baca Juga  Di balik Kebahagiaan Ada Mantan yang Menyesal (2)

Pasca-proklamasi kemerdekaan, muncul keberatan dari para tokoh Indonesia bagian timur terhadap sila pertama yang disampaikan kepada Moh. Hatta sehingga demi keutuhan Indonesia diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” setelah Moh. Hatta berkonsultasi dengan Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Moh. Hasan.

Akhirnya, pada 18 Agustus 1945 disahkan Pancasila dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kemudian penulisan rumusan Pancasila di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial hingga keluar dekrit 5 Juli 1959 yang mengembalikan penggunaan UUD 1945.

Ketika Soeharto berkuasa, pemerintah menerbitkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, Inpres No. 12/1968 tentang penulisan dan pembacaan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, TAP No. II/MPR/1978 tentang Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4), Keppres No. 10/1979 tentang pembentukan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), dan UU No. 8/1985 tentang Pancasila sebagai asas tunggal.

Pasca-reformasi 1998, pemerintah menerbitkan TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang P4, UU No. 2 Tahun 2008 tentang asas parpol yang tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan PERPU No. 2 Tahun 2017 (tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2013) bahwa asas ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta Perpres No. 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Namun BPIP justru menimbulkan kontroversi, terutama dikarenakan jumlah gaji para pimpinan lembaga tersebut yang dinilai terlalu besar di saat ekonomi Indonesia melemah.

Baca Juga  Mencari Guru Ideal di Indonesia

Tidak hanya itu, Kepala BPIP, Yudi Latif mengundurkan diri pada 8 Juni 2018 yang dilanjutkan Hariyono, sebagai pelaksana tugasnya sampai Yudian Wahyudi dilantik pada 5 Pebruari 2020 sebagai Kepala BPIP. Adapun perkembangan mutakhir terkait ideologisasi Pancasila adalah pembahasan RUU HIP yang mendapatkan resistensi masyarakat.

Pancasila merupakan ijtihad politik para pendiri negara Indonesia (The Founding Fathers) demi kejayaan Indonesia. Proses perumusan Pancasila menunjukkan sikap egaliter tokoh-tokoh Indonesia sehingga kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekular mencapai titik temu. Seluruh sila dalam Pancasila itu digali dari nilai-nilai luhur keagamaan dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, nilai-nilai Pancasila harus diterapkan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan komitmen tulus. Pelestarian dan pembinaan ideologi Pancasila wajib dilakukan agar tercipta masyarakat Indonesia yang kepribadian dan kehidupannya berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

Sebenarnya motivasi pemerintah dalam pemberlakukan peraturan perundang-undangan terkait pelestarian Pancasila sangat mulia. Namun kelemahannya justru terletak pada ketiadaan konsistensi pengamalan Pancasila, terutama di kalangan para pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan bagi segenap masyarakat Indonesia karena masih kerap dijumpai perilaku pejabat atau aparat di negeri ini yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Demikian pula tujuan awal pengusulan RUU HIP tentunya baik, tetapi penyusunannya tidak cermat. Terkait kualitas RUU HIP, Yudi Latif melontarkan kemarahannya dan mengatakan bahwa RUU HIP itu sangat ngawur karena disusun oleh orang-orang yang tidak mengerti Pancasila. (obsessionnews.com/11/6/2020)

Dalam menyikapi kekeliruan RUU HIP itu seharusnya wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat menyadarinya dan segera merevisi rancangan undang-undang yang akan dijadikan pedoman pembinaan ideologi Pancasila.

Di atas semua itu, sesungguhnya yang diperlukan adalah keteladanan pemimpin (aparat pemerintah) dalam pengamalan Pancasila, padahal keteladanan laksana lokomotif bagi kelancaran perjalanan rangkaian gerbong di belakangnya menuju tempat tujuan.

Baca Juga  Bapakku bukan Perekayasa Konflik (2)

Tidak ada salahnya, para pejabat di negeri ini meniru kepemimpinan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang menerapkan kebijakan pemerintahannya dimulai dari dirinya dan memposisikan diri sebagai teladan rakyatnya sehingga berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran di wilayah yang dipimpinnya. [MZ]

Ahmad Choirul Rofiq Dosen IAIN Ponorogo