Di acara Ted Talk tahun 2019, seorang pembicara ahli teknologi, Suparsorn Suwajanarkom, membuat publik tercengang.
Ia mempresentasikan empat layar besar. Masing masing layar menampilkan pidato Presiden Barack Obama. Jelaslah itu video yang berbeda-beda dari Obama. Ekspresi wajah dan gerak kepala Obama berlainan dalam empat video itu.
Yang membuat hadirin tercengang, empat video presiden Obama sedang berpidato menyampaikan pesan yang sama persis bunyi dan kata per kata. Gerak mulut, ekspresi wajah, gelengan kepala Obama sangatlah alami. Satu pesan yang sama dalam durasi sekitar 1-2 menit tapi keluar dari empat video Obama yang berbeda.
Pembicara bertanya kepada audience. Di antara empat video pidato Obama di atas, yang manakah yang asli? Publik terdiam. Sulit menjawab. Keempat video di atas sama meyakinkan.
Pembicara memberi tahu. Tak satu pun video di atas asli. Keempat video itu palsu walau suara yang terdengar persis suara Obama. Walau gerak mulut dan wajah Obama seolah memang menyatakan hal itu.
Audience tertawa tercengang. Mereka pun bertepuk tangan.
Teknologi memalsukan informasi sudah sampai ke tahap itu. Dulu photoshop baru mampu mengedit foto, mengubah screen shoot handphone, memodifikasi berita online. Kini bahkan teknologi sudah mampu mengedit video.
Kita pun teringat tiga kisah dalam sejarah yang layak disebut satu dari 10 pemalsuan informasi paling menghebohkan.
Pertama adalah ditemukannya buku diari Hitler. Sebuah dokumen berisi tulisan tangan Hitler mengisahkan kegelisahan dan rencana politiknya dalam era perang dunia kedua.
Tidak nanggung-nanggung, buku diari itu dipublikasi surat kabar terkemuka Jerman: Stern di tahun 1983. Berita headline.
Jagad dunia pun heboh. Para ahli perang dunia kedua berlomba ingin mendapatkan akses terhadap buku diari penting itu. Tulisan tangan Hitler begitu mirip, mengecoh mata yang awam.
Melalui analisa mendalam, terutama akurasi sejarah, perlahan akhirnya terbongkar. Diari Hitler itu palsu.
Kedua, kisah kain kafan Yesus Kristus. Ini dikenal dengan nama Shroud of Turin. Sebuah kain ditemukan. Kain itu berjejak negative image seorang lelaki. Pada beberapa bagian tubuh lelaki itu luka parah.
Wajah lelaki itu nampak jelas. Luka pada tubuh lelaki itu luka bekas disalib. Meledaklah berita. Itu kain pembungkus Yesus Kristus. Astaga! Ini penemuan luar biasa bernilai sejarah, dan bernilai jejak agama.
Namun melalui uji coba karbon dating, semua terbongkar. Kain itu ternyata berasal dari tahun sekitar 1260-1390. Kain berjejak Yesus itu ternyata karya seorang seniman.
Hoax lainnya yang lebih unik kareka berwujud manusia. Ini kisah Anastasia Nikolaevna. Ia putri dari raja terakhir Rusia Nicholas II (1868-1918).
Ketika Lenin membangun komunisme di Rusia, lalu meluas menjadi Uni Sovyet, ia ingin tradisi kerajaan di Rusia berakhir. Maka raja dan seluruh putra dan putrinya ditembak. Tiada yang tersisa.
Namun dunia terperangah. Putri sang raja, Anastasia, beberapa tahun kemudian muncul di publik. Ia survive. ia diberitakan hanya terluka. Ia tidak mati. Namun sedikit ada gangguan jiwa akibat trauma.
Jika benar Anastasia survive, ia menjadi pewaris tunggal yang sah dari kerajaan Rusia. Sebagian keluarga besar meyakini, ia memang Anastasi. Sebagian menolaknya.
Drama panjang pengadilan di Rusia memutuskan apakah ia benar Anastasia yang malang? Persepsi publik juga terbagi.
Akhirnya test DNA yang membuktikan, ia ternyata bukan Anastasia.
Kemunculan kembali Anastasia hanyalaj proyek bersama sebuah kelompok yang ingin mengambil warisan kerajaan. Kisah ini bahkan difilmkan.
Tiga kisah di atas cukup menggambarkan. Hebatnya riwayat hoax dalam sejarah manusia. Tidak hanya tulisan tangan, screen shoot handphone, lukisan, foto, dan video bisa dan pernah dipalsukan. Pemalsuan pun bisa dalam bentuk merekayasa dan menghidupkan kembali putri raja yang sudah mati.
Era pandemik juga tak luput dari berita Hoax. Diberitakan hingga Maret 2020, sebanyak 51 penyebar hoax soal isu corona diproses polisi Indonesia.
Begitulah peradaban tak pernah sepi dari hadirnya pribadi yang senang membuat hoax, dengan segala motifnya. Kini teknologi tingkat tinggi tersedia, bahkan untuk memalsukan video.
Sehebat-hebatnya pembuat hoax, lebih hebat lagi pribadi yang tak mudah termakan hoax itu. [MZ]