Dicky Zulfikar Mohammad Sarjana Teknik yang Menyukai Tema Keislaman; Berdomisili di Balikpapan

Pilkada DKI Yang Memilukan: Sebuah Refleksi Kemerdekaan

2 min read

Momen yang paling menyayat hati bagi saya adalah pada saat Pilkada DKI tahun 2016. Walau saya bukan penghuni provinsi DKI, tapi entah bagaimana media bisa menjangkau berita tersebut ke seluruh nusantara. Kalau mengingatnya lagi, kisah itu sangat memilukan. Waktu itu saya lebih memilih diam daripada ikut berkomentar. Akan jadi banyak pelajaran untuk masa depan demokrasi negara ini.

Yang saya ingat waktu itu adalah aksi bela Islam yang didatangi dari berbagai daerah. Saya waktu itu tidak mendukung ataupun menolak aksi itu. Hanya mengamati sebenarnya apa yang terjadi, apakah gerakan itu merupakan murni gerakan agama, ataukah hanya politik saja.

Belakangan saya sudah punya banyak data dan bisa saya simpulkan itu adalah murni gerakan politik. Dalam aksi itu saya sangat sedih ketika mendapatkan beberapa peserta aksi yang meneriakkan kata-kata yang tidak pantas, juga beberapa dokumentasi yang menunjukkan bahwa ada anak-anak yang mengikuti aksi ini.

Tentu saja wajah Islam seperti ini tidak seperti wajah Islam yang saya kenal, yaitu santun, berakhlak, dan lemah lembut. Wajah Islam yang ditampilkan waktu itu adalah wajah yang garang, penuh kemarahan, ambisi politik, dan ketegangan. Sungguh ini bukanlah Islam yang saya kenal. Saya berpikir, mengapa wajah Islam yang seperti ini lebih terlihat ke permukaan daripada wajah Islam yang rahmatan lil-alamin. Lagi-lagi saya menduga, gerakan seperti ini yang lebih ditampilkan media, karena mereka lebih bersuara. Semoga ini hanya dugaan saya yang salah saja.

Saya menyimpulkan, aksi ini adalah awal dari segala kegaduhan politik akhir-akhir ini. Pilpres 2019 pun masih menimbulkan kesan yang sama. Hingga ada kerusuhan pada saat malam hari pada bulan puasa setelah pemilu. Bayangkan, bulan puasa yang seharusnya dimuliakan dengan mengaji, berdzikir, bermunajat di malam hari, dimanfaatkan oleh beberapa oknum politik untuk membuat kerusuhan.

Baca Juga  Metafisika al-Farabi dan Teori Emanasi

Yang paling saya ingat, ada oknum pendakwah yang menafsirkan ayat Al-quran dengan cocoklogi atau penafsiran yang sesuai dengan hasrat politik . Sungguh kiranya ini tidak elok, inilah efek yang panjang dari politik identitas. Kita tidak tahu kapan ini akan mereda, atau bahkan berakhir.

Empat tahun berlalu setelah pilkada DKI, saya merasa efek domino dari pilkada itu masih terasa hingga sekarang. Perhatikanlah linimasa media sosial anda, masih sering terjadi isu-isu perpecahan, seperti logo HUT RI dinilai mirip salib, pengeroyokan acara keluarga oleh massa, di Solo, hingga makam masyarakat adat sunda wiwitan yang disegel orang yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya kita lebih memikirkan secara substansial tentang makna kemerdekaan ini. Bukannya makin ribut tentang hal tidak penting yang menimbulkan polemik.

Absennya negara sangat disayangkan ketika ada polemik seperti ini. Walau beberapa oknum sudah ditindak, tapi penanganannya sangat lambat. Apa harus menunggu menjadi viral di media sosial dulu, baru bisa ditindak? Ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Kalau tindakan seperti intoleransi dibiarkan atau mungkin malah dipelihara oleh elit politik, maka ini tidak baik bagi iklim demokrasi di Indonesia. Mereka yang dipersekusi adalah manusia yang sama seperti kita. Tidak lantas menghukumi mereka karena ada perbedaan aliran keagamaan, atau perbedaan yang lain.

Peran negara sangat penting dalam menjaga keharmonisan antar-masyarakat. Supaya tidak ada lagi oknum yang merasa Indonesia ini hanya milik golongan tertentu saja. Agar tak ada lagi elit politik yang merasa berkuasa memiliki negara ini, juga tak ada lagi politik yang mengatasnamakan Islam, tapi nilai yang dibawa jauh dari nilai-nilai Islam yang dibawa Rasulullah. Saya tak tahu cara yang pasti, namun saya berharap para pemimpin di negeri ini bisa menjadi teladan bagi rakyatnya.

Baca Juga  Ketika Muslim Turki Melihat Islam di Indonesia

Perlu adanya diskusi pada ruang publik yang mengedepankan toleransi, merawat perbedaan, dan mendewasakan demokrasi. Semua nilai-nilai itu tidak akan bisa dijalankan apabila tidak ada yang mencontohkannya, dan berharap rakyat dapat meneladaninya di kemudian hari. Saya yakin semua nilai-nilai di atas sudah diajarkan di pelajaran SD, tapi memang sangat susah untuk mengaplikasikan di kehidupan.

Untuk itu, mari kita merenung sejenak. Mari kita ingat perjuangan dari pahlawan-pahlawan terdahulu. Dulu para pahlawan melawan penjajah agar bangsa kita bisa merdeka. Saat ini sudah merdeka dari penjajahan, tapi belum merdeka dari ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, intoleransi, dan masih banyak lagi ketimpangan-ketimpangan yang lainnya. Sekarang ini kita pun juga masih berjuang merawat Indonesia, dengan cara yang hanya kita sendiri yang mengerti.

75 tahun bukan waktu yang sebentar, dan bangsa ini akan selalu bertumbuh dan berkembang. Karena itu perlu adanya definisi “final” bagaimana mengamalkan pancasila yang tak lekang oleh waktu dan zaman. Agar demokrasi kita menjadi pilar yang kokoh, tidak terombang-ambing oleh isu murahan. Yuk, kita semua bisa. Dirgahayu RI yang ke-75! [MZ]

Dicky Zulfikar Mohammad Sarjana Teknik yang Menyukai Tema Keislaman; Berdomisili di Balikpapan