Fachrul Dedy Firmansyah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Artificial Intelligence (AI): Bagaimana Perspektif Islam?

3 min read

Belakangan, marak penggunaan Artificial Intelligence (AI) di berbagai bagian dalam kehidupan manusia. Di Indonesia sendiri, muncul beberapa “kejutan” yang menggegerkan masyarakat beberapa waktu lalu, dimana presenter dalam sebuah segmen berita di TvOne hadir dengan menggunakan teknologi AI. Selain itu, Universitas Teknorat juga me-release Dosen pertama dengan teknologi tersebut.

AI, atau kecerdasan buatan merupakan sebuah teknologi dalam ilmu komputer atau robot yang dikendalikan oleh komputer dan berfungsi untuk melakukan pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh manusia. Bagaimana tidak, AI menawarkan sebuah solusi yang memudahkan dalam urusan pekerjaan. Ia mampu membaca data dan belajar lebih cepat dibandingkan dengan manusia. Namun meskipun begitu, hingga saat ini belum ada AI yang mampu mengerjakan keseluruhan pekerjaan manusia.

Sebenarnya dengan berkembangnya AI, muncul kekhawatiran yang mungkin bagi sebagian orang hal ini menguntungkan, namun bagi banyak orang justru sebaliknya. Sebab, beberapa pekerjaan justru diprediksi akan hilang dan tergantikan dengan AI. Misalnya, Profesi dalam bidang teknologi seperti coding, computer programer, dan software engineer; atau mungkin profesi dalam bidang media seperti pembuat konten, penulis teknis, dan jurnalis. Selain itu, masih banyak lagi pekerjaan yang “berkemungkinan” tergantikan dengan AI. Sejauh ini, terhitung sepuluh  pekerjaan yang memiliki kemungkinan buruk tersebut.

Bagi para pekerja atau karyawan di bidang tersebut, hal ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, dapat merugikan oleh karena jasanya tidak lagi dipakai. Lapangan pekerjaan yang ada pun semakin menyempit, sehingga menambah angka pengangguran. Namun, bagi para pengusaha justru hal ini banyak menguntungkan. Sebab dengan kemampuannya, AI dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan perusahaan. Selain itu juga dapat membantu perusahaan lebih produktif dan mampu memprediksi apa yang akan terjadi ke depan.

Baca Juga  Sikap Ta’awun antara Altruisme dan People Pleaser

Uraian tersebut, merupakan sebuah kemungkinan yang mungkin terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Sebenarnya, sampai kapanpun AI tidak akan mampu mengalahkan manusia. Terbilang aneh jika manusia menciptakan teknologi yang digunakan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Mungkin dalam beberapa hal, AI mampu melakukan sebuah pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh manusia. Namun, jangan lupa bahwa manusia memiliki Jiwa, sedang AI tidak.

Manusia mampu melakukan apapun selama Jiwanya sehat. Sedangkan AI, kemampuannya sebatas yang diperintahkan manusia, sebab ia tidak memiliki jiwa. Salah satu kemampuan lain yang lebih penting dari jiwa adalah, kemampuan dalam hal beragama, terutama Islam. Agama tersebut menjadikan Jiwa sebagai ide dasar dalam beragama. Sebagai agama yang  Shalih wa likulli Zaman wa Makan (Relevan, sholih, dan bermanfaat dalam semua tempat dan waktu), Islam juga pasti memiliki pandangan tentang AI. Lalu, bagaimana AI dipandang dari kacamata Islam?

Sejarah dan Perkembangan Artificial Intelligence (AI)

Sebelum merambah terlalu jauh membahas perspektif Islam terhadap AI, alangkah eloknya jika mengetahui terlebih dahulu bagaimana sejarah dan perkembangan AI dalam kehidupan manusia. Sebenarnya, istilah “AI” atau “kecerdasan buatan” telah muncul sejak tahun 1956 lampau, dalam sebuah konferensi bernama Darmouth. Namun jauh sebelum itu, para filsuf juga sebetulnya telah mengeluarkan teori yang melandasi lahir dan tumbuh kembang AI.

Di tahun 1900, para filsuf seperti George Boole, Alfred North Whitehead, dan Betrand A. W. Russel, telah mengeluarkan teori matematika yang kemudian menjadi landasan dalam mesin komputer atau kecerdasan buatan. Pada era 1930-an, muncul Alan Turing, yang kemudian menemukan Turing Machine dan teori Tes Turing sebagai penguji tingkat kecerdasan mesin komputer; Claude Shannon, dengan teori informansinya; dan John Von Neumann yang memisahkan komputer menjadi 2 bagian, yakni software dan hardware.

Sedangkan di tahun 1946, pasca Perang Dunia II, komputer digital pertama di dunia telah muncul. Empat tahun kemudian, tepatnya era 1950-an, muncul John McCarthy, Marvin Lee Minsky, Herbert Alexander Simon, Allen Newell, dan Edward Albert Feigenbaum yang mulai merumuskan istilah AI. AI muncul pertama kali pada 1956 dalam konferensi Darmouth. Di era 1980-an, merupakan era yang dikenal sebagai second wave of AI.

Sedangkan era perkembangan AI terbesar berada di era 2000-an, dimana komputer dan internet telah tersedia. Salah satu penemuan terbesar saat itu adalah World Wide Web (WWW). Hingga saat ini, AI telah berkembang pesat dan dimungkinkan menjadi lebih “gahar” seiring berkembangnya zaman. Sebab, para ilmuan telah berlomba-lomba dalam mengembangkan teknogi tersebut.

Baca Juga  Ragam Pilihan Ngaji Kitab Selama Ramadan di Rumah Saja

Artificial Intelligence (AI) Dalam Perspektif Islam

Sebenarnya, sebagai agama yang Shalih wa likulli Zaman wa Makan, Islam tidak akan membatasi bagaimana teknologi berkembang. Justru sebaliknya, Islam akan mendukung perkembangan teknologi itu. Sebab pastinya perkembangan teknologi AI akan membantu syi’ar agama Islam ke depannya. Islam tidak akan menutup dirinya dari zaman, karena itu adalah awal dari kemunduran. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman dalam surah al-Hadid ayat 25:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Dalam tafsir Al-Azhar, dijelaskan oleh Hamka bahwa penggalan ayat mengenai besi tersebut ini mengisyaratkan bahwa Allah tidak menghalangi teknologi. Dalam ayat tersebut dijelaskan mengenai manfaat besi yang begitu banyak, termasuk teknologi. (Hamka, Juz 9, 1989: 7192)

Terlebih tiga tahun lalu, Dubai yang merupakan negara emirat Islam yang modern, telah menggunakan AI dalam urusan fatwa berbasis aplikasi. Hal tersebut tentu saja tak lain digunakan untuk memudahkan muslim dalam mengakses fatwa, pendidikan keislaman, dan keuangan syari’ah. Sebuah gebrakan yang baik untuk dunia Islam.

Namun meskipun begitu, penggunaannya tetap harus dikontrol agar nantinya tidak lantas menimbulkan mudharat bagi umat Islam. Sebab jika berada di tangan yang salah, AI justru bisa menjadi senjata yang mematikan. Ia dapat menjadi media penyebaran kemurtadan, atau mungkin sebuah ajaran radikal, dan lebih banyak kemungkinan lainnya. Oleh sebab itu, kemajuan teknologi yang kian pesat, hendaknya juga didukung dengan kemampuan berteknologi dengan cerdas dan bijaksana, tentunya tetap berlandaskan aqidah Islam yang wasathiyah.

Fachrul Dedy Firmansyah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya