Secara organisasi maupun kultur, Nahdlatul Ulama [NU] masih bersemangat mempertahankan eksistensi Pancasila. Selain NU, Muhammadiyah secara organisasi pun beriktikad mempertahankan eksistensi nilai dan lambang Pancasila. Kedua organisasi ini dianggap menjadi garda utama dalam mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan keutuhan NKRI.
Jamak diketahui bahwa PKI dan ideologi komunisme terlarang dan berbahaya. Kita wajib mengabaikan ideologi dan dasar pemikiran tersebut. Pancasila dapat dianggap menjadi titik pijak kuat menghadang pemikiran dan gerakan komunisme. Tentu dengan ini nilai dasar Pancasila siap menghadapi serbuan ideologi dan gerakan trans-nasionalisme dan khilafahisme. Karena ideologi terakhir inilah yang sebenarnya merongrong dasar keumatan yang sudah diterapkan di Indonesia.
Tak perlu mempertanyakan kredibilitas NU dan para kiainya akan loyalitas terhadap Pancasila. Kita semua tahu siapa mengajarkan jargon “NKRI Harga Mati”. Anda tak perlu meragukan konsistensi NU dalam bersikap, mulai dari lahir NU hingga eksistensinya saat ini. Betapa kesetiaan terhadap nilai dasar Pancasila selalu dikedepankan demi membangun ideologi kebangsaan dan merawat NKRI.
Pengakuan NU terhadap Pancasila telah lama diamini dan diimplementasikan secara dawam nan istikamah. Bagi Nahdliyyin, kepatuhan terhadap Pancasila merupakan implementasi dari indoktrinasi para masyāyikh yang mengajarkan entitas nilai kebangsaan dan nasionalisme tanah air.
Boleh dikatakan NU itu sudah “nekek” atau berada di titik terpuncak dalam membela dan mempertahankan otoritas nilai Pancasila, mulai dari terciptanya lambang negera ini sampai konsekuensi yuridis Pancasila sebagai falsafah dan dan ideologi negara.
Para Ulama NU tidak tidak gembor-gembor seperti pengasong khilāfah layaknya Felix Siaw, dan kawan-kawan yang katanya ingin menyelamatkan Pancasila pada momentum politis ini. Mereka mencoba dan selalu menggaungkan eksistensi khilāfah sebagai dasar negara di berbagai mimbar khotbahnya.
Seyakinnya, saya yakin walaupun para pengusung khilāfah yang seakan membela Pancasila, namun hakikatnya mereka masih berpegang pada prinsip lama bahwa demokrasi dan Pancasila adalah thāghūt yang harus dibumihanguskan dari tanah Indonesia.
Mereka menjadikan isu komunisme atau PKI sebagaimana kambing hitam menyelamatkan Pancasila, lalu dengan halus mereka memframing opini untuk mendelegitimasi bahkan menghakimi pemerintah dengan menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah telah tersusupi paham komunis dan bertentangan Pancasila.
Tak perlu diragukan bahwa yang gembar-gembor isu PKI dan komunisme adalah mereka. Hal ini merupakan batu loncatan empuk bagi mereka, karena tidak ada cara lain yang efektif. Kita harus tahu bahwa para pengasong khilāfah berjejaring lintas komunitas dan organisasi. Ada banyak organisasi yang perlu dicermati dengan agenda-agenda khilafahisme yang dibungkus rapi.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh NU serta para masyāyikh-nya. Bagaimana Kiai Wahab Hasbullah dan kiai NU lainnya menerima asas tunggal Pancasila? Perlu renungan, analisis, dan ijtihad hingga penerimaan tersebut. Pada intinya, Pancasila adalah ideologi selaras dengan konsep dan implementasi dasar kebangsaan.
Warga NU yang benar benar NU akan memahami dan mengamini kenyataan historis ijtihad yang diwariskan oleh para kiai pendahulu. Jika ada yang mengaku NU dan tidak mengikuti konsep yang ditelurkan oleh para masyāyikh, maka sesungguhnya ia telah berpisah dan berpindah dari tebing satu ke tebing lainya untuk memisahkan diri dengan para masyāyikh.
Kita harus tetap menjaga kewaspadaan terhadap ideologi yang akan merongrong dasar Pancasila. Yang pasti jangan sampai ada delusi bahkan halusinasi PKI dan komunisme, karena sebenarnya isu tersebut tidak bisa dibuktikan hingga kini. Jika ditanyakan kepada mereka, dari mana dapat bendera PKI dan lambang komunisme, pasti juga akan bingung menjawabnya karena mereka sendiri yang mencetak dan kemudian membakarnya. [MZ]