Setiap Muharram (orang Jawa biasa menyebut Suro), keluarga besar KH. Abdul Jalil bin KH Abdul Azis Candrareja mempunyai tradisi mikul duwur mendem jero, adat yang autokhtonik, yakni baninan dan kumpul keluarga.
Abdul Jalil adalah salah satu murid Sayid Ahmad Zaini Dahlan ((1816 – 1886), ulama dan mufti kota Mekah yang bergelar sang al-Imam al-Ajal (Imam pada waktunya), Bahr al-Akmal (Lautan Kesempurnaan), Hāfidz Hadits Nabi wa Kawākib Samaih (Penghafal Hadits Nabi dan Bintang-bintang langitnya), Ka’bat al-Murīdīn wa Murabbī al-Sālikīn (Tumpuan para murid dan Pendidik para salik).
Abdul Jalil sezaman dengan beberapa ulama besar Nusantara saat menimba ilmu dan menjadi murid Sayid Ahmad Zaini Dahlan, antara lain: Kiai Nawawi al-Bantani, Kiai Muhammad bin Abdullah as-Shuhaimi, Kiai Muhammad Saleh Darat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi, Sayyid Utsman Betawi, Syaikh Arsyad Thawil al-Bantani, Tuan Kisa’i al-Minankabawi (kakeknya Prof. Hamka), dan Syeikh Abdul Wahab Rokan (Tuan Guru Babussalam), dan beberapa ulama masyhur lainnya.
Selain berguru kepada Sayyid Ahmad Ibnu Zaini Dahlan, KH. Abdul Jalil juga belajar berbagai disiplin ilmu agama dari beberapa ‘ulama’ terkemuka di tanah suci Makkah lainya, di antaranya: Syaikh Bakri, Syaikh Amin al-Fatwa, Sayyid Ba-Besel, Syaikh Muhammad al-Bakir al-Maliki dan Syaikh Nahrawi al-Makkiy.
Setelah 8 tahun menimba ilmu di kota suci Mekkah, diminta mertuanya KH. Muhammad Razi untuk pulang ke tanah air. Proses kepulangannya sungguh unik. Awalanya KH. Abdul Jalil enggan pulang, karena ingin melanjutkan nyantrinya di Mekkah. Melalui diplomasi tinggi, KH. Muhammad Razi, mertuanya mengirimkan surat ke Syaikh Zaini Dahlan.
Abdul Jalil akhirnya sami’nā wa atha’nā kepada mahagurunya dan akhirnya memutuskan pulang. KH. Abdul Jalil membawa ajaran Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah datang ke Petak (tahun 1877 M / 1296 H).
Beliau berbaiat ilmu tarekat, bertarbiyyah dan akhirnya mencapai maqam Syaikh/Mursyid kepada al-‘Ārif Billāh Syaikh Sulaiman Zuhdi al Makkiy. Berkat rida Allah, karāmah, ma’ūnah serta haibah yang diberikan Allah Swt. kepada beliau Tarekat Naqsyabandiyyah Kholidiyyah lambat laun berkembang dan menyebar di berbagai daerah seperti Boyolali, Grobogan, Magelang, Salatiga dan sekitarnya.
Bahkan mertuanya, K.H. M. Rozi al-Fattaiy pun berbaiat tarekat kepada beliau. Al-‘Arif Billah Hadratusy Syaikh Abdul Jalil wafat pada usia sekitar 80 tahun, yaitu pada tahun 1335 H / 1916 M
Tradisi Baninan, Perlukah?
“Pelajari sejarah keluargamu dulu, sebelum menenggelamkan diri dalam belantara pengetahuan lainnya. Sebab, tanpa kehadiran kakek-nenek dan orangtua, kita tak bakal terlahir di muka bumi”.
Para sesepuh seringkali menandaskan pesan penting soal mempelajari tarikh masa lalu, khusunya sejarah leluhur. Sejarah (bahasa Arab: syajarah) yang berarti pohon. Pohon, memiliki akar, pohon dapat hidup karena akar yang tumbuh. Mengerti akan sejarah para pitarah pendahulu, mengapa kita ada, untuk apa kita hidup, dan mau ke mana kita. Man ana, min aina, ila aina.
Di setiap acara baninan (kumpul keluarga), kesadaran kita mengenai trah alias pohon silsilah keluarga serempak digugah agar tidak lupa, tidak “kepaten obor“, dan paham benar akan sangkan paraning dumadi.
Trah adalah salah satu bentuk kekerabatan masyarakat Jawa. Sebagaimana dikemukakan Prof. Sjafri Sairin (1992: 3-5), trah adalah salah satu bentuk organisasi sosial masyarakat Jawa atau bagian dari masyarakat Jawa yang berada di bawah pengaruh budaya Mataraman (Yogyakarta dan Surakarta).
Jika dilacak pada kamus Jawa kuno yang ditulis Juynbol (Sairin,1992: 3-35) kata trah tidak ditemukan pada masyarakat Jawa kuna. Menurut Soewito Santoso, lafal trah mungkin turunan dari kata truh (hujan) yang turun dari langit sehingga trah dapat dimaknai sebagai “para keturunan dari leluhur atau sesepuh”.
Pada mulanya kekerabatan trah merujuk pada keturunan keluarga raja, keturunan priyayi, keturunan Kiai atau santri, kemudian juga diikuti oleh keluarga wong cilik.
Khusus untuk kalangan santri (putihan) lebih senang memakai istilah Bani yang terkesan lebih Islami dari pada istilah trah. Zamakhsari Dhofier menuliskan bahwa fungsi Bani: Dalam zaman sekarang ada kecenderungan para kiai untuk mengembangkan organisasi-organisasi kekerabatan yang disebut bani yang memasukkan semua sedulur cedak (keluarga dekat) dan sedulur adoh (keluarga jauh) yang berasal dari keturunan seseorang yang disetujui bersama sebagai titik tolak.
Fungsi bani tidak hanya melestarikan keharmonisan dan keakraban hubungan kekerabatan dengan sejumlah anggota kerabat yang lebih luas, tetapi juga untuk menguatkan kultur santri antara semua anggota, dan untuk melestarikan perkawinan yang bersifat endogamous antara anggota-anggota bani yang bukan mahram.
Lantas, sejak kapan trah dipandang penting dalam tradisi masyarakat, khususnya di Jawa? Upaya mengkonstruksi dan melacak genealogi sejarah keluarga sebetulnya telah di-wiwiti oleh pembesar Mataram Islam beberapa abad silam.
Seorang raja butuh sarana legitimasi karena ingin disegani dan diakui kekuasaannya oleh para kawula. Segelintir cara yang ditempuh ialah lewat penelusuran hubungan genealogi.
Terbitnya ungkapan trahing kusuma, rembesing madu, wijining tapa, tedaking andana warih (keturunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia) memperlihatkan raja berasal dari keturunan leluhur yang suci dan agung.
Dalam dunia keraton dikenal istilah sejarah panengen berisi daftar penguasa Mataram dengan mencantumkan garis keturunan hingga Nabi Muhammad Saw. yang disebut Kanjeng Nabi. Sedangkan, sejarah pangiwa memasang benang trah yang lebih panjang dimulai dari Nabi Adam dan Nabi Sis.
Pohon Silsilah keluarga ini tetap dipertahankan dan memperoleh tempat di sanubari anak-cucunya. Tujuan pokoknya ialah mengikat paseduluran sekaligus menunjukkan bahwa mereka merupakan keturunan aristokrat kerajaan.
Dalam bahasa Jawa, empat macam derajat bangsawan secara berturut-turut disebut: putra, wayah, buyut, dan canggah ndalem. Ternyata, genealogi sejarahnya tidak mandeg sampai canggah.
Pada masa Paku Buwana X (1893-1939) muncul istilah wareng, udeg-udeg, gantung siwur, dan goprak senthe. Sihir pohon silsilah memang ampuh. Sanak keluarga yang berada dalam satu garis keturunan, tapi terpisah akibat faktor geografis dan kesibukan kerja bisa dieratkan kembali melalui payung trah.
Memori tentang keluarga terawat dalam batok kepala anak keturunan sampai trah tumerah lantaran acap dituturulangkan. Spirit gotong-royong, tolong-menolong, kerukunan, tepa slira atau peduli terhadap sesama, serta benih rasa kemanusiaan dapat disuburkan lewat organisasi trah.
Tradisi baninan sangat ampuh sebagai event untuk kopi darat, muwājahah, mendekatkan hubungan keluarga-keluarga yang jauh, mengakrabkan hubungan pribadi, membangun solidaritas kerabat, atau bahkan mengokohkan networking peran dalam struktur sosial masyarakat.
Prosesi acara baninan biasanya diisi dengan pembacaan surat yasin, zikir tahlil, dan ceramah agama. Ada yang menarik soal mengapa arwah leluhur perlu dikirim bacaan Yasin?
Mengutip Cak Nun (saat peringatan 40 hari wafatnya Dr. Syaikh Muhammad Nursamad Kamba), bahwa pembacaan surat Yasin kepada orang yang meninggal bisa kita maknai sebagai peringatan kepada kita semua, seluruh manusia, karena kita telah lalai terhadap peringatan yang sudah diberikan oleh Allah Swt kepada kita (intisari ayat 6 QS: Yasin).
Menurut Cak Nun, ayat-ayat awal di surat Yasin adalah ayat-ayat yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa terdapat konsep regenerasi/ estafet hikmah dan ilmu. Yakni estafeta keilmuan, estafet peran, estafet khidmah untuk umat dari leluhur, sesepuh kepada para generasi penerus. [MZ]