Gemerlap lampu perkotaan yang terangnya menyerupai lampion-lampion menjadi simbol eksotisme dunia perkotaan di malam hari dan gedung-gedung yang menjulang tinggi adalah rangkaian bentuk intergral dalam ciri fisik perkotaan. Selain dari bentuk fisik tersebut, kecenderungan lain yang melekat pada masyarakat kota adalah pola bekerja yang serba ditunjang dengan alat-alat teknologi. Ini menegaskan bahwa dengan menggunakan teknologi ini menjadi ciri khusus yang bisa diidentifikasi sebagai bentuk modernitas yang menubuh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota.
Berbeda halnya dengan tradisi masyarakat desa, apabila kita merujuk pada istilah ngilmiah, terdapat dua istilah yang biasanya digunakan dalam membedakan dua tipe masyarakat tersebut adalah masyarakat rural dan urban. Terlepas dari kedua istilah tersebut, apa yang dikatakan sebagai rural maupun urban bukan menjadi pembeda utama dalam menentukan pola hidup pada setiap bagian.
Namun, di sisi lain, terdapat kecenderungan yang mengarahkan perhatian kita untuk selalu membedakan kedua tipe tersebut, yaitu apabila masyarakat kota dekat dengan pola kehidupan modern, maka pola dalam struktur masyarakat desa mengarah pada skema tradisional. Meski relasi ini bersifat dikotomis dan mengundang banyak perdebatan, terlepas dari semua dialektika yang terjadi, kita bisa melihat bagaimana bentuk apropriasi dan stereotip yang saling berkaitan dalam bentuk cara pandang masing-masing kelompok tersebut.
Hal menarik dari kecenderungan tersebut ditampilkan menurut logika binerisme yang ditujukan pada masyarakat desa adalah benar apabila masyarakat kota atau kelompok urban ini dihinggapi kemilauan gemerlap modernitas dalam setiap aktifitas kehidupan mereka. Identifikasi dan pelabelan tersebut bisa dilihat bagaimana hiruk-pikuk masyarakat urban ketika melakukan aktualisasi diri mereka dalam produk kebudayaan kelompok perkotaan.
Pola kehidupan mendasar yang dilakukan oleh masyarakat kota, karena identifikasi di atas, terkadang merindukan sekaligus mengenang pola dan suasana masyarakat desa. Suasana yang kental akan ketajaman misi bersosial, tidak mengkategorisasikan segala bentuk aktifitas dalam akumulasi angka, dan melakukan aktifitas berdasarkan kesukarelaan yang tak terhingga.
Dalam kehidupan perkotaan sendiri, tidak dipungkiri lagi, ketika era posmodern seperti sekarang ini, banyak tempat-tempat nongkrong, kafe dan banyak lagi yang menawarkan suasana pedesaan sehingga eksotisme alam dari suasana pedesaan menjadi dambaan masyarakat kota.
Suasana pedesaan yang didukung dengan eksotisme dan aktifitas pedesaan perlahan mulai ditampilkan di tengah-tengah masyarakat perkotaan. Terdapat beberapa contoh lain yang menampilkan corak atau gaya artistik masa lalu. Sebagai contoh mulai bergeliat beberapa kedai kopi yang menggunakan desain artistik klasik; sebut saja model joglo. Dimana model tersebut identik dengan bangunan khas masyarakat Jawa yang ada di pedesaan.
Pertemuan sekaligus persilangan antar dua kultur ini semakin terlihat jelas untuk menampilkan kerinduan masyarakat kota akan suasana yang klasik. Akan tetapi, apakah dari persilangan dan percampuran tersebut berjalan dengan normal? Atau bahkan mampu membuat masyarakat kota terhibur dengan mode demikian?
Terdapat banyak asumsi yang menjelaskan fenomena tersebut dari sudut pandang antropologi. Bentuk aktualisasi yang terjadi dalam mode pertukaran ini secara mendasar bisa dikatakan sebagai bentuk proyeksi masyarakat urban yang senantiasa merindukan tradisi kebudayaan klasik—yang senantiasa dirawat dalam struktur kebudayaan masyarakat desa.
Secara spesifik, kemunculan fenomena dari buah percampuran dua norma kebudayaan tersebut meninggalkan jejak seperti apa yang hendak dicapai dalam kebutuhan hidup masyarakat kota. Lebih jauh lagi mengenai pola kehidupan tersebut apakah memang hanya sebatas mengobati kerinduan akan nuansa klasik, atau menjadi bumerang sendiri bahwa yang sebenarnya terjadi pada pola kehidupan masyarakat urban hanya terbatas pada kebutuhan material belaka.
Demikian halnya dalam konstruksi kehidupan masyarakat pedesaan yang menganggap kelompok perkotaan merupakan yang ideal. Anggapan demikian akan semakin meruncing tatkala migrasi persubjekan berjalan secara kontinyu.
Lantas, apakah dengan migrasi demikian akan bersifat totalitas tanpa meninggalkan secuil jejak dari yang sebelumnya? Ini adalah pertanyaan mendasar ketika semua yang terjadi saat ini melebur dengan fluiditas ruang yang tak terhingga. Semua tengah dihadapkan pada persilangan yang saling tumpang-tindih, meleburkan segala bentuk tatanan sosial, serta menjadi kebimbangan tersendiri yang semakin larut pada fantasi-fantasi yang utopis.