Ketika kata orientalis itu terucap, mungkin mata kita seketika terbelalak, dahi kita mengernyit serta telinga tak henti-hentinya ditutup rapat. Memang, apa yang dapat dipelajari dari mereka? Sedangkan dalam karya mereka pun banyak mengandung penyelewangan yang kerapkali menyudutkan Islam. Hal Ini yang selalu tampak membayangi dan menggambarkan diri mereka.
Orientalis jika kita bedah akar katanya berasal dari lafal orient yang berarti Timur, dan oriental berarti yang berkaitan atau terletak di Timur. Secara umum “Orientalisme‟ disandingkan kepada orang-orang non-Arab khususnya ilmuwan Barat yang mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, peradaban dan adat-istiadatnya.
Fazlur Rahman dalam tulisannya Approaches to Islam in Religious Studies menyatakan bahwa kajian keislaman dari orientalis menyumbangkan gagasan-gagasan besar ilmiah dan ini telah memicu gerakan intelektual terkait studi agama, meskipun tidak dipungkiri bahwa perspektif orientalis sendiri tetap harus diberi catatan-catatan.
Bukan dari segi itu sebenarnya yang ingin dikemukakan penulis, mari sejenak menelaah lebih jeli, mencoba menyelam lebih dalam lagi, melihat fenomena yang ada dengan berbagai macam aspeknya. Tidak hanya mengenakan mata lalat, sebab yang hanya tampak baginya sesuatu yang kotor semata, sesekali bermata lebah yang menjadi titik fokus pandangannya tertuju pada putik bunga yang akhirnya akan menuai madu.
Beberapa hal yang dapat kita petik dari mereka. Pertama, focus to the goal, bagi para orientalis ketika target telah dipasang, mau tidak mau dan bagaimanapun caranya pokonya harus selesai tidak peduli sesulit apapun badai menghadang bukan menjadi sebuah penghalang.
Contoh Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientaslis asal Belanda, (1857-1936), yang sepak terjangnya berliku-liku menghabiskan banyak umur tidak lain hanya untuk memahami dan menyelami khazanah Islam. Di Hindia Belanda saja, ia bersedia menikahi seorang wanita lokal yang tak pernah ada dalam pikiran orang Belanda sebelumnya. Namun, baginya merupakan sebuah kesempatan ilmiah untuk mengetahui serta menganalisis upacara pernikahan dalam Islam.
Tidak hanya berhenti di situ, bahkan Hurgronje pernah sampai ke Makkah hanya dalam rangka mendalami Islam. Sampai-sampai Hurgronje memiliki nama Islam “Haji Abdul Ghaffar” keluasannya dalam soal Islam mengantarkan misinya dengan lancar tidak mengalami hambatan sedikitpun.
Atas kelihaiannya dalam menyamar dan mengaku bahwa dirinya sebagai seorang yang telah masuk Islam (muallaf) dengan maksud untuk dapat menimba ilmu keislaman dari berbagai ulama-ulama Makkah. Berkat ketajaman dan kemahirannya dalam persoalan Islam bukan hal yang aneh jika berbagai gelar ia sandang seperti halnya “Mufti” serta “Syaikh al-Islām of Batavia.”
Kedua, kegigihan kaum orientalis dalam belajar Islam. Bagaimana tidak? Hal ini pun tidak dapat dipungkiri. Sebut saja Ignác Goldziher seorang Yahudi berkebangsaan Hongaria. Ketika gelar doktor telah ia raih di usia mudanya, ia masih menghabiskan waktu salama enam bulan di Leiden, Belanda demi memfokuskan diri dalam bergelut dengan Islam. Lalu ia menekuni peradaban Arab. Hingga melanjutkan rihlah ilmiahnya menuju berbagai tempat seperti Suriah, Palestina, hingga Mesir. Bahkan ia tercatat sebagai orang non-Muslim pertama yang mendapat izin untuk menjadi murid di masjid al-Azhar.
Berbagai macam karya lahir darinya mulai dari bidang aqidah, fiqih, tafsir, hadits, sastra maupun lainnya; Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung, Muhammedanische Studien, Die Zahiriten: Ihr Lehrsystem und Ihr Geschichte; Beitrag zur Geschichte der Muhammedanischen Theologie, Vorlesungen über den Islam, dan lainnya.. Sehingga pada akhirnya nama Goldziher diakui dunia sebagai Guru Besar orientalis dan peletak pertama pengkajian Islam modern di Eropa.
Contoh perjuangan kedua tokoh orientalis tersebut adalah hanya sedikit dari sekian banyaknya tokoh yang juga tidak kalah gigihnya dan pengaruhnya dalam mewarnai khazanah intelektual, hal tersebut memperlihatkan keseriusan dalam mencapai target yang dituju (focus to the goal) serta keseriusan dalam mempelajari Islam.
Mereka tidak hanya mahir dan fasih berbahasa Arab melainkan juga menguasai dalam berbagai bidang ilmu keislaman seperti halnya aqidah, fiqih, tasawuf bahkan tafsir haditsnya pun dikuliti tuntas oleh mereka. Tidak jarang kritikan mereka menukik tajam atas karya-karya sebelumnya.
Bukan perkara jenius atau tidaknya seseorang dalam memahami apapun, jika itu menjadi ukuran, maka seorang Hurgronje pun dapat dikatakan sebagai kiai. Namun yang menjadi tolok ukur ialah kegigihan dan keseriusan mereka dalam mempelajari Islam yang perlu kita tanam untuk kemajuan Islam di masa mendatang.
Lantas kita yang notabennya seorang muslim, sudahkah mengerahkan kegigihan dan serius mempelajari ilmu keislaman? Sudah berapa persen kah kita serius mempelajarinya? Tidakkah kita merasa malu kepada mereka yang non-Muslim dengan penuh semangat mempelajari dan mengkaji Islam sedang kita leha-leha? Mau sampai kapan berislam yang penting Islam sekadar taklid semata? [MZ]