Gus Dur adalah cakrawala, hampir dalam arti yang sebenarnya. Dia hidup njangkungi bumi nusantara tanpa pilih-pilih. Serupa langit yang terlihat tinggi sekaligus dekat, itulah Gus Dur.
Intelektualitasnya bukan intelektualitas ndakik yang hanya terbaca di laboratorium akademik dengan lensa istilah-istilah “wah” ala kamus ilmiah. Tetapi, pengaruh—khususnya pemikiran—Gus Dur masuk begitu leluasa di kanal-kanal diskusi, baik dalam ranah akademisi maupun praktisi.
Kendati demikian, sosok presiden RI ke-4 ini, yang oleh Andy Noya disebut sebagai “dewa mabuk”, masih tidak habis pijarnya. Inilah yang saya sebut cakrawala. Ibarat kata, “bolehlah seluruh manusia berkongsi menjaring dan menyaring cakrawala, tapi sudah bisa dipastikan hasilnya hanya sebegitu saja. Sekadar saring-jaring itu”.
Saya melihat—karena kiprah dan pengaruhnya yang sebegitu luas—para pembaca Gus Dur sering terjebak pada jebakan yang saya kira disiapkan oleh Gus Dur sendiri. Lalu muncul kerangka-kerangka pembacaan yang justru bias dan ngoyo woro. Secara khusus, tulisan ini diniatkan untuk mengembalikan sisi—yang bisa jadi adalah inti—dari karya dan kiprah Gus Dur, yakni kesantrian. Satu sisi yang telah mbalung sumsum semenjak dia dilahirkan, sampai terakhir ia dipusarakan.
Kesantrian di Dalam dan di Luar
Secara bahasa, KBBI mengartikan santri sebagai orang yang memperdalam ilmu agama Islam dan orang yang saleh. Santri, secara definitif tidak—akan pernah cukup pada—satu arti. Tetapi dalam potensi dan keciriannya ada beberapa karakter yang menjadi identitasnya. Santri tidak terpisah dari tempatnya hidup, yaitu pondok pesantren. Selain itu, identik pula dengan penguasaan ilmu-ilmu (klasik) keislaman.
Bagi Gus Dur, pondok pesantren berarti tempat untuk memperdalam laku dan ilmu keislaman. Pondok, menurut Gus Dur berasal dari Al Funduq, yang artinya tempat berkhalwat murid-murid tarekat secara intensif selama 40 hari. Sedangkan santri berasal dari bahasa Pali (Sansekerta) yang berarti seorang (pembelajar) ahli kitab suci. Jadi, boleh dipahami bila kesantrian merujuk pada perpaduan antara laku bersendi nilai kesufian dan ilmu pengetahuan yang bernadi kitab suci.
Bagi Gus Dur, santri secara intrinsik membawa tiga unsur utama, yaitu: penguasaan ilmu keislaman, kesalehan ruhaniah, dan ketaatan kepada kiai. Berbeda dengan dimensi pendidikan modern (mainstream) yang memfokuskan pendidikan pada aspek keilmuan dan rasionalitas semata. Santri atau pesantren lebih dari itu sangat menekankan aspek ruhaniyah (spiritualitas) dan ketakdziman terhadap kiai yang diposisikan sebagai ‘pembimbing kehidupan’ (Abdurrahman Wahid, 2001: 14).
Secara nasab atau nasib, Gus Dur sudah “santri” sejak sebermulanya. Di tanah yang sangat nyantri, Jombang, pada 4 Agustus 1940 Gus Dur dilahirkan dari pasangan Wahid Hasyim, putra dari pendiri NU KH. Hasyim Asy’ary dan Solichah, putri dari KH. Bisri Syamsuri yang juga seorang ulama terkemuka.
Dari orang tuanya, dia diberi nama Abdurrahman Ad Dakhil. Satu nama yang mengingatkan pada seorang raja dinasti Umayyah yang membawa agama Islam masuk ke tanah Andalusia (Spanyol). Pada 1953 M. saat usianya baru 13 tahun, ayahnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil. Praktis kondisi ini membuatnya harus benar-benar mandiri, termasuk dalam jalan keilmuan, karena tidak lagi ada figur bapak yang biasanya menjadi guru atau teladan pertama.
Melanjutkan tradisi keluarga, Gus Dur muda nyantri untuk memperdalam ilmu keislaman. Pada usia 14-17 tahun nyantri di pesantren Krapyak Yogyakarta; 17-19 tahun melanjutkan nyantri di pesantren Tegalrejo, Magelang; 19-22 tahun di Pesantren Tambak Beras, Jombang.
Total 8 tahun perjalanan nyantri Gus Dur muda di pesantren antara Yogyakarta-Magelang-Jombang. Perjalanan nyantri Gus Dur di beberapa pesantren tersebut merupakan proses kristalisasi atau pemadatan pokok-pokok ajaran Islam pada wilayah ‘dalam’ dirinya: berada pada lingkup sebagai pedoman hidup. Dari pesantren, Gus Dur mendapatkan prinsip tentang disiplin ilmu fiqh dan kesufian. Dua karakter khas keislaman pesantren.
Satu karakter lain yang menjadi ciri kesantrian yang dipegang teguh oleh Gus Dur adalah aspek barokah. Barokah sendiri merupakan aspek di luar kelumrahan (profanitas) suatu perbuatan. Barokah adalah semacam living kesakralan. Misalnya, seseorang mendapatkan ‘kemanfaatan ilmu’ bukan karena penguasaan kitab-kitab, tetapi karena perhormatan, loyalitas dan baktinya kepada guru atau kiai.
Gus Dur, secara gamblang mengakui kalau dia memiliki lima sosok kiai yang menjadi pegangan saat mengambil keputusan-keputusan penting (dokumentasi Youtube di talkshow Kick Andy). Ihwal ini menunjukkan kekukuhan Gus Dur pada aspek barokah khas seorang dengan latar belakang santri.
Sebutan ‘santri kelana’ dalam arti tertentu cocok dengan Gus Dur. Setelah dari tiga pesantren tradisional—Yogyakarta-Magelang-Jombang—dia berkelana ke Mesir, Baghdad, Belanda. Tahun 1964, Gus Dur berkuliah di Mesir. Di sini Gus Dur berkenalan secara langsung dengan khazanah pemikiran dan ragam kebudayaan dunia. Menurut teman-temannya—salah satunya adalah Gus Mus—dia lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan daripada di kelas perkuliahan.
Di sela-sela itu semua, dia juga secara intensif mempelajari bahasa Prancis. Satu bahasa yang menjadi pintu masuk ke dalam diskursus intelektualitas kontemporer, khususnya filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Selain literasi keilmuan, sains dan pemikiran, Gus Dur juga sangat gemar terhadap sastra dan seni. Menonton film adalah salah satu kegemaran Gus Dur di Mesir kala itu (Ahmad Nurcholish, 2015: 142).
Namun, karena jarang mengikuti kelas, beasiswanya di Mesir dicabut. Praktis dia tidak bisa lagi melanjutkan kuliah. Belum surut keinginan pada bangku kuliah, dari Mesir Gus Dur berpindah ke Departement of Religion Universitas Baghdad pada 1966. Di sini Gus Dur cukup serius untuk lulus. Rampung S1 di Iraq, dia melancongkan diri ke Belanda berharap untuk bisa melanjutkan S2 di sana.
Niatan itu pupus, karena Universitas Baghdad ternyata tidak direken sebagai universitas yang layak diperhitungkan oleh kampus-kampus terkemuka di Belanda. Tidak lagi mendapat peluang untuk melanjukan S2, Gus Dur akhirnya balik kampung. Pulang ke Indonesia pada 1971. Sesampainya di Indonesia, ia aktif di NU dan terpilih sebagai ketua umum NU pada 1984.
Kelana keilmuan yang dilakukan Gus Dur ini, merupakan penyandingan dan penyelarasan antara khazanah keilmuan, mentalitas dan spiritualitas pesantren dengan wacana keilmuan di luar pesantren. Literasi Gus Dur melampaui apa yang biasanya dikonsumsi oleh tokoh-tokoh pesantren kebanyakan.
Sejak masih sekolah menengah, dia sudah berkenalan dengan sosialisme dan Marxisme. Secara lingkungan, perkembangan intelektual Gus Dur mengalami beragam habitat tradisi keilmuan. Secara intelektual, dia merangkum dan meramu pengetahuan dari sumber teks kepesantren, keislaman global, dan keilmuan secara umum (Ahmad Nurcholish, 2015: 137-138). [AA]
Bersambung… (bagian 2)