Achmad Room Fitrianto Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Kesetiaan, Komitmen, dan Kisah Anjing Kayangan

3 min read

Kepasrahan kepada Tuhan, dengan segala takdir dan ketentuan-Nya, bukanlah hal yang mudah. Terkadang jiwa ini terasa amat dekat dengan Tuhan, namun terkadang juga merasa amat jauh. Ketika merasa jauh dari Tuhan ini bukan berarti tidak sedang menjalankan perintahnya dan atau melakukan apa apa yang dilarang dengan baik. Perasaan jauh dari Tuhan kadang menggelayut ketika kita meresa sudah “men-servis” Tuhan namun Tuhan belum memberi “tanda” ataupun memenuhi keinginan kita.  Ketika berada pada posisi ini, sebenarnya kita sebagai hamba sedang “mendikte” Tuhan. Seolah olah kita berkata “Tuhan aku sudah berbuat A, maka berikanlah kepada aku B”.

Betapa naifnya kita, sebagai manusia, yang seolah pengen mendikte segala ketentuan dan keputusan Tuhan. Padahal, konsistensi dan komitmen-lah yang Tuhan lihat dari setiap usaha dan perjalanan manusia untuk mencapai kebaikan, bukan kesuksesan dan kegagalan suatu permohonan. Ibarat anjing yang mengekspresikan kesetiaannya kepada sang majikan, begitulah seyogyanya seorang hamba melakukan hubungan dengan sang Pencipta.

Biarpun disebut Anjing Kayangan, biarlah.

Istilah Anjing Kayangan pertama kali aku dengar dari serial televisi tentang legenda Si Kera Sakti, Sun Go Kong yang mengawal Bikso Tong mengambil kitab suci ke Barat bersama dua sahabatnya Tipatkay dan Wu Ching. Dalam perjalanannya ke Barat, rombongan kecil ini banyak menemukan hambatan dan tantangan, baik dari manusia, siluman ataupun dari tentara dewa.

Salah satu dari tentara dewa itu ada seseorang yang dulu adalah kawan Tipatkay ketika masih berdinas di Kayangan. Tipatkay ini adalah menjelmaan panglima perang Kayangan yang dikenal dengan nama Panglima Tiang Feng. Namun, karena tergoda oleh nafsu duniawi dan terlibat cinta terlarang, Panglima Tiang Feng diturunkan ke muka bumi dan dikutuk menjadi Siluman Babi dan dihukum akan patah hati seribu kali.

Baca Juga  Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dan Kitab al-Nasaih al-Diniyah-nya

Miris juga melihat hukuman yang diberikan kepada Panglima Tiang Feng. Dihukum patah hati seribu kali? Sekali patah hati saja sakitnya tuh minta ampun!

Aku masih ingat, julukan Anjing Kayangan ini pernah digunakan oleh kawan-kawan sewaktu kuliah dulu untuk memanggil kawan yang polah tingkahnya mirip karekter di serial televisi itu. Kenapa istilah Anjing Kayangan menarik untuk ditulis? Karena istilah ini mewakili dua karakter.

Pertama, karakter Anjing. Kedua, ya tentu Kayangan. Bahasa sederhananya Anjing Surga.

Di dalam beberapa cerita, Alquran juga mengenalkan kepada kita tokoh anjing, misalnya seekor anjing ada dalam cerita Ashabul Kahfi. Dalam QS. Al-Kahfi:22 tertulis, “Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan, ‘(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjingnya,’ sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, ‘(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.’ Katakanlah, ‘Tuhan-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’” Karena itu janganlah kamu (Muhammad) berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebat lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.”

Dalam Riwayat lain, diceritakan bahwa si anjing yang bernama Qitmil itu mengikuti ke manapun para pemuda Ashabul Kahfi pergi. Para Pemuda itu mendakwakan kebaikan di masa yang kurang bersahabat, di mana seorang raja yang zalim sedang berkuasa. Pada suatu ketika, Si Raja merasa gerah dengan gerakan yang dilakukan oleh pemuda Ashabul Kahfi dan melakukan tindakan kekerasan. Karena merasa jiwanya terancam, para pemuda ini menghindar dari keramaian dan bersebunyi di dalam gua, diikuti oleh sang anjing.

Baca Juga  Karomah Kiai Abdul Hamid: Memanggil 'Pak Haji' pada Orang Belum Haji

Si Qitmil ini menjadi penjaga utama dari gangguan selama para pemuda Ashabul Kahfi bersembunyi di dalam gua, hingga mereka “ditidurkan” oleh Allah.

Kenapa aku  menyebut anjingnya Ashabul Kahfi ini sebagai Anjing Kayangan juga? Karena beberapa riwayat menyebutkan ia masuk dalam delapan jenis binatang yang nanti akan masuk surga. Mengapa si anjing ini bisa masuk surga? Marilah kita kupas pelan pelan.

Pertama, sudah menjadi pemahaman umum bila seekora anjing memiliki loyalitas yang tinggi kepada tuannya. Selain kisah anjing Qitmil, banyak cerita tentang kesetiaan luar biasa seekor anjing kepada tuannya. Ada cerita tentang Red Dog, cerita tentang kesetiaan anjing yang berasal dari daerah North West, Australia, tepatnya dari Pilbara.

Alkisah, terdapat seekor anjing yang sangat baik, cerdas, dan terlatih, yang dipelihara oleh John Stazzonelli. Ke manapun John pergi, si anjing selalu mengikuti. Pada suatu ketika, si John melakukan perjalanan singkat dan berpesan kepada anjingnya untuk tetap tinggal di rumah. Namun, dalam perjalanannyanya John mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal dunia. Si anjing yang tidak tahu bahwa tuannya meninggal dunia karena kecelakaan, tetap menunggu di rumahnya dengan setia.

Teman-teman John terharu dan sedih melihat fenomena ini.

Beberapa hari setelah itu, si anjing tidak tampak lagi berjaga di depan rumah. Orang-orang yang bepergian ke kota di Western Australia, konon, melihat sosok anjing yang mirip dengan Anjing si John: berlalu lalang di beberapa kota. Banyak yang percaya bahwa si anjing berkeliling ke seluruh Western Australia untuk mencari tuannya.

Ketika si anjing pulang ke Pilbara, ia menemukan sebuah nisan bertuliskan John Stazzonelli. Majikannya!

Ada juga cerita tentang anjing Hachiko di Jepang. Seekor anjing yang dimiliki oleh Dr. Eisaburo Ueno. Setiap pagi sang empunya selalu mengajak si anjing pergi ke stasiun kereta api Shibuya dan sorenya si anjing akan menunggu di stasiun yang sama. Suatu ketika Dr. Eisaburo terkena serangan stroke dan meninggal dunia. Tentu saja si anjing tidak mengetahuinya. Tapi ia tetep saja setiap sore selalu menunggu dan menantikan tuannya di stasiun kereta api Shibuya. Si anjing ini menanti tuannya selama sebelas tahun!

Baca Juga  Tadarus Litapdimas (21): Legislasi Syariat Islam Dalam Negara-Pancasila, Bacaan Lain atas Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia

Dari beberapa cerita di atas, kita bisa melihat bagaimana seekor anjing menunjukkan kesetiaan kepada tuannya. Kisah-kisah itu mengajarkan kepada kita arti kesetiaan dan loyalitas.

Dalam perspektif Islam, kesetiaan dan loyalitas dibangun atas konstruksi manusia sebagai khalifah di muka bumi, dimana malaikat dan makhluq lainnya harus tunduk patuh kepada Adam. Iblis, yang memiliki sifat sombong angkuh dan merasa lebih baik dari manusia, bersikap tidak loyal dan tidak patuh pada perintah “Tuan”nya, Sang Pemberi Kehidupan.

Dari sini, kita sejatinya tahu dan paham siapa sebetulnya “Tuan” manusia. Merujuk pada QS. Al-Dzāri’āt:56, jelaslah bahwa manusia dan jin adalah ‘abd, abdi, hamba, Allah di muka bumi. Tanda loyalitas kita kepada tuan kita adalah dengan memahami apa yang Dia inginkan.

Bila kita berada pada posisi ini, sekarang coba kita bandingkan kesetiaan kita dengan kesetiaan anjing-anjing dalam cerita di atas. Bila kesetiaan kita diragukan apakah kita masih layak untuk mendambakan surga? Bagaimana kita membangun kesetiaan?

Semoga kita termasuk dalam golongan “Anjing Kayangan”, yang setia kepada Ilahi dan selalu berupaya menuju kebaikan yang diperintahkan olehNya. []

Achmad Room Fitrianto Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya