Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina

Kenangan Benedict Anderson: Dari Gus Dur, Cak Nur, Malari 1974 sampai Gerakan Mahasiswa ITB 78 (2)

2 min read

Sebelumnya: Kenangan dengan Benedict Anderson… (1)

Ben Anderson sangat menaruh harapan pada mahasiswa/kaum muda, dia mencintai kaum muda, apalagi yang miskin/tersisih dan kekuatan anak muda terbukti mampu mendobrak perubahan di Indonesia pasca colonial. ‘’Yah di masa 1966 itu, ada gerakan mahasiswa yang berperan meski sebetulnya militer yang dominan dan kemudian berkuasa. Tapi saya pengin kalian cerita soal anak muda zaman kalian.’’ Katanya.

Saya bilang mahasiswa kalah terus dan demokrasi mati di tangan kekuasaan Pak Harto, pembredelan TEMPO, Detik dan Editor mengkonfirmasi begitu represif dan teganya otoriterisme rezim militocracy waktu itu. Namun anehnya, Orba Pak Harto takut dengan berita dan tulisan di media massa/surat kabar/majalah, takut dengan selebaran.

Sebetulnya TEMPO justru mendukung modernisasi Orde Baru yang secara guyonan disebut Pak Ben sebagai orde haji bajinguk. Harusnya Orba berterimakasih pada TEMPO dan media lain sebagai media yang punya kontrol sosial dan anti-KKN rezim Orba itu, tapi malah dibredel tahun 1994, yang membuat Goenawan Mohamad dkk dan kami, para aktivis dan jurnalis/LSM,  harus melawan rezim praetorian yang emoh demokrasi dan anti-oposisi itu.

‘”Dulu waktu Malari 1974, harian KAMI, KOMPAS, INDONESIA RAYA, PEDOMAN dll juga diberangus,’’ kata Ben.  Pada  aksi Gerakan Mahasiswa 1977/78, harian PEDOMAN dan  KOMPAS dll juga dibredel, namun KOMPAS boleh terbit lagi dengan syarat tertentu.

‘’Jadi, pembredelan TEMPO (Detik dan Editor) pada 1994  itu merupakan sejarah yang berulang,’’ katanya. Kini, era reformasi, tak boleh ada pembredelan lagi.

Ben Anderson melihat, Orba lebih percaya laras bedil dan modal untuk membangun mimpinya sendiri. Nasionalismenya elitis-birokratis-developmentalis yang kaku, lebih mendukung untuk kepentingan para elite penguasa dan diri mereka sendiri sepuasnya. ‘’Kesalahan utama nasionalisme Indonesia  adalah menomorsatukan negara (elite), state, seperti pada kasus rezim Orba Soeharto itu,’’katanya..

Baca Juga  Sinergitas Pustakawan dan Dosen/Peneliti Menuju Research University

Ben Anderson menyinggung soal mahasiswa ITB, dan dia sudah  menterjemahkan buku putih ITB 1978 , dan menurut pengakuannya, anak anak muda  ITB itu berani dan berpikir jauh ke depan, mereka menguasai rencana, gagasan, pikiran maupun aksi praksisnya. ‘’Ada kepeloporan Soekarno ya di ITB, Ir Djuanda, Sutami dan lainnya, saya kira itu jadi  contoh bagi mereka,’’ katanya.

Kami jadi ingat gerakan mahasiswa Malari 1974 dan Demo Mahasiswa 1977/78 di ITB, UGM,UI, UNPAD dan nyaris seluruh kampus negeri/swasta di Tanah Air.

Laporan media menyebut, Hariman Siregar masih terjun ke ITB waktu itu,  ada undangan Dewan Mahasiswa ITB, meski dia belum lama keluar dari penjara.  ‘’Anak muda gangter Malari (1974) itu memang nekad,’’ kata Ben Anderson.

Namun, asal tahu saja, terpilihnya Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketiga kali pada tahun 1977, menimbulkan keresahan dan kekecewaan di kalangan mahasiswa masa itu. Telah tumbuh kesadaran bahwa pemerintah sudah otoriter. Otoriterisme itu  menghambat pikiran progresif dan inovatif sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah merajalela, dan nama pedagang kakap Liem Soe Liong sudah dikenal mahasiswa  sebagai cukong raksasa di Indonesia.

Berbagai kampus di Indonesia bergejolak, mahasiswa mengadakan demo dan protes bertalu-talu. Secara terang-terangan, mereka menyatakan mosi tidak percaya dan tidak menghendaki Soeharto kembali menjadi Presiden Republik Indonesia. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa 1978 tercatat sebagai demonstrasi terbesar dalam sejarah 32 tahun Orde Baru.

Diawali dengan didudukinya Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh ABRI dan ditangkapnya pimpinan-pimpinan mahasiswa ITB  seperti Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Indro Cahyono, Ramles Manampang Silalahi, Abdul Rachim, dll. Penangkapan juga dilakukan terhadap ratusan pimpinan mahasiswa di  Jakarta, Yogyakarta, Medan, Palembang dan Makasar ditahan/dipenjara sekitar 1,5 tahun.( Alea Eka Putri,2020).

Baca Juga  Menjadi Muslim yang Disenangi Tuhan dan Banyak Orang, Why Not?
AKSI ITB: Rizal Ramli (berikat kepala merah) dan para demonstran di ITB 1977/78

Alea Eka Putri, seorang penulis bebas,  bahkan mencatat bahwa Presiden Soeharto justru sangat marah karena terbitnya pemikiran intelektual berupa sebuah buku berjudul “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978” yang berisi pemikiran mahasiswa mengenai kondisi Indonesia saat itu. Mereka adalah Rizal Ramli, Irzadi Mirwan, Abdul Rachim, dan Joseph Manurung.

Buku ini diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB yang saat itu diketuai oleh Heri Akhmadi. Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu tak mungkin ada tanpa aktivitas intelektualisme oleh Dewan Mahasiswa ITB (DM-ITB) di zaman itu. ‘’Kami masih ketemu sama Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Indro Cahyono Pak Ben dalam berbagai diskusi,  jumpa pers atau forum publik,’’ kata saya.

AKTIVIS ITB DAN UI: Mantan aktivis ITB Rizal Ramli dengan mantan Ketua DM-UI Hariman Siregar berpose di Boston. Hariman berkunjung ketika RR mahasiswa di Universitas Boston, USA.

‘’Itu Ir Heri Akhmadi (Mantan Ketua DM-ITB, kini Dubes RI untuk Jepang) dulu kasih nama anak lelakinya kalo gak salah Gempur Soeharto, Pak Ben tahu kan?’’ kata Simon. ‘’Iya saya denger gitu, wah konon katanya juga ada aktivis ITB  yang bayi perempuannya diberi nama anti-Tien Soeharto segala?,’’ Ben bertanya. ‘’Konon ada yang bilang gitu,’’ jawabku.

Ben bilang ada aktivis ITB (Rizal Ramli) lulus PhD  dari sekolah ekonomi di Boston University, ‘’Yang lainnya pada kemana?’’ dia bertanya. Namun Ben mendengar kabar, para aktivis ITB itu sudah pada kerja sambil gerilya untuk antisipasi babak akhir Orde Baru, yang menurut Prof Don Emmerson, rezim Pak Harto  itu ala kuasa Mangkurat I Mataram di masa lalu.

Selanjutnya: Kenangan dengan Benedict Anderson… (3)

Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina