Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin

Obituarium Sayyidah Khadijah: Keabadian Cinta dan Tonggak Perjuangan Perempuan

2 min read

Hari ini awan pagi memerah, ada sedikit kuning, beberapa biru, juga terselip warna jingga. Warna-warni tampaknya. Beradu dan memancar pada segala sudut jagad raya. Cahayanya benderang, seolah mengingatkan pada kisah. Tentang sosok perempuan hebat yang terlahir di dunia. Tepat hari kesebelas (versi lain kesepuluh) bulan ramadan satu dekade kenabian, bumi memeluk raganya. Jiwanya menghadap keabadian. Tahun kesedihan! Begitu sejarah mengabadikan.

Kekasihku, jika suatu saat nanti kau akan menemui umatmu, sedang kau tak memiliki perahu untuk menyebrangi sungai-sungai itu, galilah kuburku, buatlah dari tulang-tulangku.” Lirih kalimat ini keluar dari bibirnya. Menyelinap diantara kedua tangannya yang spontan menyeka air mata di pipinya. Mendengarnya, hati siapa yang tidak bergetar. Ada maaf, tapi sama sekali bukan karena salah. Bagi pecinta, setiap langkah kerap dirasa tak sempurna. Mungkin karena tulus, hingga tak ada yang tersisa, seolah ia belum melakukan apa-apa.

Perkataan Sayyidah Khadijah ini sungguh sangat epic. Saya yakin, ungkapan cinta ini layak diabadikan. Tidak ada padanannya. Jauh melebihi kegilaan kata mutiara Laila dan Majnun.  Keindahannya, jauh melampaui sentuhan lukisan Romeo pada Julliet. Apalagi sekedar gombalan Dilan ke Millea.

Bagaimana tidak, perkataan ini terucap bukan saat baru berkembang bunga cinta kedua insan. Tetapi saat cinta memasuki senja. Jika ia kembang, mungkin saja sudah hampir layu. Bila ia hujan, berapa telaga yang tercipta. Selama dua puluh tahun lebih, terlalu banyak kisah yang mematri kepastian nyata kata itu. Merebak mewangi di setiap sanubari. Bukan modal rayu-rayu atau bahkan tipu-tipu.

Tahun-tahun sulit ia lalui bersama. Baik suka maupun duka. Tapi, sejak peristiwa di Gua Hira, masyarakat Arab memaksa hari-hari mereka menjadi sulit, bahkan teramat sulit. Puncaknya adalah ketika Quraish sepakat memutuskan mengunci setiap pintu ekonomi keluarga.

Baca Juga  Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki: Perempuan bukan Makhluk Nomor Dua

Peristiwa ini tidak hanya sekadar isolasi, tapi ini lebih dari menyiksa pikiran dan hati. Ancamannya jelas, nyawa dan keberlangsungan hidup Muhammad, kekasih hatinya. Ancaman serta embargo!! Siapapun yang kedapatan membantu dan menolong keluarga ini, pedang balasannya. Pengumuman ini jelas tertempel mengancam di dinding Ka’bah.

Dua hingga tiga tahun keadaan ini terjadi. Bukan berangsur membaik, bahkan semakin memburuk. Muhammad sedih, bahkan teramat sedih. Berulang-ulang wahyu datang memberi pesan untuk bersabar dan kuat menghadapi penghinaan. Seperti menciptakan pendirian yang hampir bersifat Ghandian, berupa perlawanan tanpa kekerasan. Begitu Lesley Hazleton mengibaratkan.

Masa-masa itu, usia Khadijah semakin bertambah. Harta yang terbilang cukup kaya, berangsur-angsur berkurang. Mungkin akal kita tak bisa menerima, bagaimana ketegaran seorang istri saat kesulitan yang teramat ini terjadi. Memastikan dapur tersedia bagi anak-anak, juga untuk suami. Mungkin pula kita tidak sampai hati, bagaimana perasaan perempuan, saat harta-harta di tangannya raib untuk perjuangan. Ketika kain-kain sutera lusuh dan hanya tersisa satu dua helai saja.

Khadijah tidak pernah berpaling. Bahkan dalam keadaan sakitpun ia tetap menjadi perisai baginda Nabi. Betul, bersama Abu Thalib, paman beliau, satu perisai dakwah Muhammad berada di pundak Sayyidah Khadijah. Dengan bekal kecerdasan, kehormatan, nilai dan keluhuran, Khadijah sangat dipandang dan disegani oleh mereka yang memusuhi Muhammad.

Perisai inilah yang abadi, bukan sekedar persoalan harta atau kecantikan yang semata bendawi. Sebuah pesan mendalam yang selalu harus diperjuangkan, terutama oleh aktivis-aktivis perempuan saat ini. Juga oleh para lelaki, supaya mereka memahami.

Ajal itu tiba, tepat saat kondisi berangsur pulih, saat Quraish memutuskan membuka kembali jalur dakwah dan ekonomi keluarga. Tentu, perjuangan lebih dari dua puluh tahun membesarkan anak-anaknya bersama kini harus diakhiri. Khadijah pamit. Sebuah riwayat yang sungguh memilukan bahwa kain kafan yang dijadikan untuk menyelimuti sangat terbatas, hingga ia meminta sorban yang biasa dipakai oleh suaminya menerima wahyu.

Baca Juga  Sekolah Covid-19: Suara Perempuan Karir saat WFH

Wahai putriku Fathimah, ajalku segera tiba dan aku yakin itu. Yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan ayahmu sorban yang ia gunakan untuk menjadi kain kafanku, aku malu dan takut memintanya sendiri.

Kata-kata ini merupakan pelajaran kesederhanaan, dari sosok saudagar tangguh yang rela menghabiskan seluruh jiwa dan kekayaan hartanya murni untuk kepentingan dakwah. Juga pelajaran tentang keikhlasan, meski segenap cinta dan pengorbanan telah ia buktikan, tidak ada sedikitpun pamrih yang tampak dari kesucian kalbunya.

Khadijah istriku, Allah mengirimkan salam padamu, telah dipersiapkan surga untukmu di sisi-Nya.” Perkataan Nabi ini perlahan mengiringi kepergiannya. Saya yakin, ia tidak pernah meninggalkan umat. Jejak kebaikannya mencontohkan standar nilai yang teramat tinggi. Cintanya, mematri pada sanubari sang Nabi.

Alhasil, jika ada janji cinta sampai mati, sayyidah khodijah membuatnya tak pernah mati. Apapun yang tersisa, diperjuangkan tetap berarti. Meski itu harus dilakukan dari dalam liang lahat. Biar raga dipeluk bumi, rasa cinta tetap abadi. “Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Rasulullah yang lain kecuali Khadijah, meskipun aku datang setelah kematiannya”. Begitu pengakuan Aisyah atas kedahsyatan cinta Khadijah, juga cinta Nabi kepada ibu Sayyidah Fathimah ini.

Sa’dunā Fid Dunyā

Fauzunā Fil Ukhrā

Bi Khadijatal Kubrā

Wa Fatimataz Zahra… [HM]

Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *