Zaenuddin Hudi Prasojo Dosen IAIN Pontianak

Peluang Riset dalam Normalitas Baru Pandemi Covid-19

3 min read

Foto: syncedreview.com

Dunia ilmu pengengetahuan—sebagaimana halnya dunia lainya—menjadi salah satu pihak yang tidak luput dari dampak kehadiran sebuah evolusi makhluk pembawa penyakit yang sangat cepat penyebaranya. Makhluk itu dikatakan sebagai entitas super kecil yang menyebabkan munculnya pendemi yang dikenal dengan nama Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Makhluk itu sendiri ialah berupa virus yang sebenarnya sudah lama dikenal dalam dunia viruologi. Namun ia menjadi sangat popular dalam waktu singkat setelah terbukti membunuh banyak orang di berbagai belahan dunia dalam beberapa bulan belakangan ini.

Karenanya, babak baru sejarah kehidupan manusia dimulai di era di mana manusia disebut-sebut tengah berada pada puncak kejayaan peradabanya. Dikatakan demikian karena faktanya adalah bahwa peradaban manusia saat ini didukung dan ditandai oleh berbagai kemajuan ilmu pengetahuan modern yang menjadi kebanggaan manusia era kini.

Babak baru sejarah manusia itu tentu saja mengejutkan seluruh penghuni bumi ini. Kehadiranya sangat mendadak dan bahkan manusia menjadi latah dengan berbagai sikap dalam menyambut kedatanganya. Alhasil, seluruh aktivitas manusia di dunia harus menyesuaikan dengan kondisi darurat yang dinyatakan secara global oleh badan dunia yang mengurusi tentang kesehatan manusia, yaitu World Health Organization alias WHO. Peradaban dunia segera berpusat pada status darurat Covid-19 dengan mengharuskan penyesuaian-penyesuaian kepadanya pada setiap gerak langkah manusia dalam berbagai aspeknya seperti sosial, ekonomi, budaya, ekonomi, politik, lingkungan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lainya.

Babak baru sejarah kehidupan manusia pasca Covid-19 ini kini dikenal di Indonesia dengan New Normal atau normalitas baru. Pemerintah memberikan arah kebijakan kepada bangsa Indonesia untuk berdamai dengan pandemi tersebut dan menjalani kehidupan baru dengan selalu menempatkan perhatian pada protokol yang berbasis pada keamanan atas ancaman penularan Covid-19. Namun, apakah dengan demikian lantas seluruh anggota masyarakat Indonesia menjadikan normalitas baru sebagai pusat peradaban dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka? Apakah justru peradaban ini kini menjadi peradaban yang ambyar? Hal ini menarik untuk ditelisik lebih jauh.

Baca Juga  [Resensi] Aswaja dan Marhaenisme: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara

Lantas, bagaimana bangsa Indonesia khususnya dan masyarakat dunia modern yang gagah dengan bekal perkembangan limu teknologi itu menyikapi normalitas baru tersebut? Tentu saja berbagai reaksi pun muncul dengan variasi lokalitas masing-masing di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, misalnya, kebijakan pemerintah atas pemberlakuan normalitas baru ditanggapi dengan bermacam ragam sikap.

Secara garis besar, dua kelompok selalu muncul bersamaan: kelompok yang menanggapi dengan positif dan kelompok yang menanggapi dengan negatif. Namun ada juga kelompok-kelompok yang punya sikap berbeda dari keduanya, seperti kelompok Muktazillah dalam diskursus ilmu kalam yang biasa didiskusikan oleh para mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Tentu saja sikap-sikap mayarakat dalam menyongsung normalitas baru tersebut merupakan fenomena yang normal saja karena sedianya memang manusia selalu demikian. Tidak hanya positif tentunya, namun sikap-sikap negatif juga perlu diperhatikan sehingga manusia mampu melihat normalitas baru ini sebagai sebuah gambar yang utuh yang dapat menjadi petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan dan kemanusiaan.

Perubahan-perubahan baru yang memaksa manusia untuk menerima normalitas baru ini yang menjadi penting untuk diperhatikan oleh para peneliti, sehingga dinamika perubahan pada normalitas baru tersebut dapat digarap sebagai peluang riset bagi kepentingan kemanusiaan.

Banyak pertanyaan yang dapat dilontarkan dan mesti dijawab dengan data-data dan analisis yang serius sesuai standar penelitian ilmiah sehingga mampu menjadi modal kebermanfaatan. Dalam kerangka ini pula, para peneliti mesti kembali mengasah dan meng-upgrade keterampilan dan kemahiran dalam penelitian sehingga mampu mengatasi persoalan-persoalan baru dalam menjalankan penelitian di era pendemi dengan normalitas baru yang tentu saja berbeda dari normalitas asalnya.

Kejelian dan keuletan para peneliti juga menjadi salah satu kunci bekerhasilan gaya penelitian baru ini sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Dukungan kapasitas para peneliti menjadi sebuah keharusan yang akan menjadi salah satu ukuran kualitas hasil penelitian yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan refleksi diri dan refleksi kolektif yang mampu merenungkan dan memecahkan persoalan-persoalan penelitian di masa pendemi Covid-19 ini.

Baca Juga  Raymond, Internet, dan Pelajaran Ikhlas Menjadi Orang yang Terlupakan

Bagi para peneliti, khususnya yang bernaung di PTKI, setidaknya ada beberapa catatan yang dapat direnungkan bersama dalam rangka menyiapkan diri untuk melanjutkan kontribusi yang bermanfaat pada dunia keilmuan dan kemanusiaan di masa pandemi ini.

Pertama, para peneliti dituntut untuk dapat memetakan isu-isu penting pada aspek-aspek kehidupan normalitas baru ini sehingga mampu melahirkan karya-karya yang memiliki distingsi yang tentu saja bermuara pada solusi alternatif bagi persoalan kemanusiaan. Lebih khusus lagi, para peneliti di lingkungan PTKI mesti mampu melihat dan memetakan persoalan-persoalan yang ada di kalangan internal yang membutuhkan perhatian secara urgen dan prioritas. Hal ini menjadi sebuah keharusan karena kebutuhan mendesak di era pandemi muncul atas desakan kondisi yang memaksa manusia untuk menghadapinya.

Sebuah kaidah alam menyebutkan bahwa “Jika terpaksa, maka semuanya akan bisa” alias the power of kepepet. Namun pemecahan masalah dan solusi alternatif yang dihasilkan dari penelitian ilmiah yang baik akan membuahkan hasil yang jauh lebih baik. Persoalan distingsi merupakan satu kunci penting di sini. Distingsi di sini tidak hanya dimaknai dari sisi isu yang dikaji, tetapi juga aspek lain dalam sebuah penelitian seperti metode, proses, keterlibatan pihak-pihak terkait dan aspek lainya yang mendorong inovasi dalam sebuah penelitian.

Kedua, kesadaran atas kondisi pandemi dengan normalitas baru ini menjadi lahan refleksi bahwa manusia ialah sebuah mahkluk sosial yang memiliki sedikitnya tiga unsur penting dalam lingkaran kehidupan sehari-harinya. Ketiga unsur tersebut meliputi individu manusia itu sendiri sebagai sebuah entitas yang berkehendak, budaya di mana manusia berperan dalam produksinya, dan masyarakat di mana ia hidup berinteraksi satu sama lain sehingga melahirkan nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama.

Baca Juga  Trik Mengakali Tuhan dan Malaikat Ala Orang Madura

Refleksi atas ketiga unsur ini tentu akan mendorong peneliti untuk menemukan perubahan-perubahan yang muncul dalam nomalitas baru, baik dari sisi gagasan maupun praktik dalam ragam bentuk aktivitas manusia. Termasuk di dalamnya perubahan manusia dalam sikap beragama, sikap kepada alam, sikap pada ilmu pengetahuan baru, dan bahkan sikap pada normalitas baru itu sendiri dan sikap lainya yang tidak terlepas dari dan selalu terkait dengan pembahasan mengenai ketiga unsur yang telah dijelaskan sebelumnya tersebut.

Karena itu, selain diperlukan kerangka pikir yang mampu mendudukan isu-isu penelitian yang dikaji sesuai dengan kaidah berpikir deskriptif, kritis, dan transformatif juga diperlukan kolaborasi berbagai pihak yang dapat mendorong pembahasan yang kompherehensif dan mendalam atas data-data yang penting untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang brilian.

Ketiga, setiap babak baru episode sejarah manusia selalu saja memberikan peluang penelitian yang menarik. Bahkan ia tidak hanya mendorong berbagai pihak untuk terlibat di dalamnya tetapi juga menuntut keterpaduan berbagai disiplin kelimuan untuk dilibatkan sehingga hasil-hasil penelitian dapat menjangkau persoalan-persoalan pelik yang justru sangat urgen.

Untuk itu, integrasi keilmuan yang dalam beberapa dekade ini telah digenderangkan dan mulai dipraktikkan perlu terus dilantangkan sehingga penelitian ilmiah dalam kerangka kemaslahatan kemanusiaan menjadi lebih komprehensif dengan hasil-hasil maksimal.

Para peneliti dituntut untuk tidak hanya mampu memposisikan diri dalam situasi apapun dan mampu beradaptasi dengan berbagai kemungkinan, tetapi juga mampu melakukan integrasi interkoneksi untuk memacu kreativitas dan inovasi dalam melakukan penelitian.

Dengan demikian penelitian ilmiah diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan yang lebih kompleks yang muncul di era disrupsi peradaban ini. Disrupsi peradaban sudah semestinya tidak hanya dimaknai sebagai cobaan kemanusiaan akan tetapi juga justru memicu lahirnya gagasan-gagasan cerdas dan monumental dengan integrasi keilmuan yang inovatif. [MZ]

Zaenuddin Hudi Prasojo Dosen IAIN Pontianak

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *