Sebelumnya: Macam-Macam Kelompok… (1)
Kelompok kedua adalah orang tua yang sudah renta, yang tidak kuat berpuasa, serta orang sakit yang tidak dapat diharap kesembuhannya. Mereka boleh iftar dan menggantinya dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan setiap hari satu orang miskin (QS. Al-baqarah : 184). Tafsir yang berasal dari Ibnu ‘Abbas ini diperkuat oleh qira’at lain, yakni yutawwiqunahu.
Al-taqah adalah istilah untuk orang yang mampu melakukan sesuatu tetapi disertai rasa berat dan masyaqqah. Termasuk dalam kelompok ini adalah para pekerja berat seperti kuli panggul, pekerja tambang, dan lain-lain, dimana pekerjaan itu merupakan satu-satunya sumber penghidupan mereka. Namun demikian, mereka tetap wajib berniat dan bersahur dan ketika di siang hari tidak kuat, boleh iftar.
Sebagaimana dua kelompok di atas, seluruh ulama sepakat bahwa ibu hamil dan menyusui boleh iftar. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apakah harus meng-qada’, membayar fidyah, ataukah meng-qada’ dan sekaligus membayar fidyah.
Hanafi, Abu Thaur dan Abu ‘Ubaid meng-kiyas-kan orang hamil dan menyusui pada orang sakit. Alasan mereka, hamil dan menyusui, adalah ‘uzur yang akan hilang sebagaimana orang sakit. Oleh sebab itu, kewajiban mereka adalah men-qada’-nya saat ‘uzur itu sudah tidak ada. Kelompok ini menolak jika mereka dibebani fidyah sekaligus.
Dalam pandangan Hanafi, qada’ dan fidyah sama-sama badal (pengganti), kalau dibebani meng-qada’ sekaligus membayar fidyah, maka akan terjadi dua badal dan itu tidak boleh, karena kewajibannya hanya satu. Hanafi menolak mengkiyaskan mereka dengan orang tua renta, sebab orang tua renta boleh iftar karena tidak mampu berpuasa sehingga diganti membayar fidyah. Saat Hasan al-Basri ditanya tentang puasa bagi wanita hamil dan menyusui, ia menjawab, ‘adakah sakit yang melebihi hamil?. Ia boleh tidak berpuasa dan meng-qada’-nya’.
Berbeda dengan pandangan di atas, Shafi’i dan Ahmad memasukkan mereka dalam kelompok yang tidak mampu berpuasa (wa alladhina yutiqunahu), bukan sakit. Ayat itu dalam pandangan Shafi’i dan Ahmad meliputi siapa saja yang tidak mampu berpuasa. Karena itu mereka wajib qada’ sekaligus membayar fidyah. Riwayat lain dari Shafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa jika mereka khawatir pada kesehatan anaknya saja, maka wajib qada’ dan fidyah.
Jika khawatir pada kesehatan dirinya saja, atau diri dan anaknya, maka wajib qada’ saja. Mengapa harus membayar fidyah juga ? Analisis Ibnu Rushd dalam Bidayat al-Mujtahid, ketika ibu hamil dan menyusui mereka diharuskan meng-qada’ sekaligus membayar fidyah, karena di satu sisi ibu hamil dan menyusui seperti orang sakit tapi di sisi lain seperti orang yang tidak mampu puasa. Sementara itu, Malikiyah mewajibkan qada’ dan fidyah untuk ibu menyusui tapi untuk ibu hamil, cukup qada’ saja.
Bukankah berpuasa itu mengandung masyaqqah untuk semua orang ? Pada dasarnya seluruh taklif mengandung masyaqqah. Oleh sebab itu disebut taklif (beban). Namun masyaqqah tersebut adalah masyaqqah yang umumnya mampu ditanggung oleh manusia normal dan sehat. Dalam kajian usul fiqh, disebut masyaqqah mu’tadah.
Adapun masyaqqah yang umumnya tidak dapat diemban oleh seorang manusia normal dan sehat disebut ghairu mu’tadah dan tidak menjadi wilayah taklif (Wahbah al-Zuhaily, Usul al-Fiqh). Dari sini dapat dipahami adanya rukhsah untuk kondisi tertentu.
Kewajiban puasa terbukti berlaku di hampir seluruh agama, hingga para kaum pagan (penyembah berhala) sekalipun. Hal tersebut menunjukkan bahwa puasa –dan seluruh taklif– bersifat terukur dan sesuai dengan daya kemampuan mukallaf. Bukankah puasa diakui sebagai ibadah yang menyehatkan serta memiliki daya paling mumpuni dalam membangun ketahanan dan kekuatan diri dari aneka syahwat jasmani ? Allah A’lam. (MMSM)