Indra Latif Syaepu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri

Apa Yang Kita Sembah: Tuhan atau Imajinasi?

2 min read

sumber: robllewellyn.com

Penulis akan mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan besar terkait dengan Tuhan dan ritual keagamaan. Pertanyaannya begini: benarkah konsep Tuhan yang kita yakini sebagai masyarakat beragama hanyalah imajinasi? Apakah Tuhan yang kita sembah adalah hasil dari imajinasi akal kita? Jika begitu, apakah menyembah Tuhan sama halnya dengan menyembah imajinasi kita sendiri?

Karl Max mengatakan agama adalah candu. Sigmund Freud mengatakan bahwa agama adalah sejenis penyakit gangguan jiwa. Sementara Richard Dawkins mengatakan Tuhan adalah delusi.

Begitulah, kaum positivistik menganggap bahwa fenomena keberagamaan merupakan fenomena sosial yang bertentangan dengan akal, rasionalitas, dan menyalahi hukum kausalitas. Bagi mereka, yang bertumpu pada logika, rasionalitas akal, Tuhan dan agama adalah sebuah penyimpangan sosial. Dalam analisis psikologi, hal tersebut bisa dianggap sebagai ilusi atau delusi.

Delusi bisa dikatakan sebagai salah satu jenis penyakit gangguan jiwa yang sangat serius, berupa adanya diskoneksi antara imajinasi, akal pikiran dan realitas. Mereka yang terkena penyakit ini akan sering melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, memercayainya, dan membelanya. Bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun.

Tak bisa dipungkiri, imajinasi mempunyai peran sangat besar bagi manusia. Bahkan ada istilah “imajinasi menumbuhkan kreativitas.” Orang tua yang memiliki anak dengan imajinasi tinggi akan merasa bangga, karena hal itu diyakini bisa menumbuhkan kreativitas. Namun, hal ini akan menjadi momok bagi orang beragama, misalnya ketika imajinasi disandingkan dengan Tuhan dan kepercayaan. Minimal kita akan bertanya, apakah Tuhan itu adalah hasil dari imajinasi manusia? Jika iya, berarti kita menyembah imajinasi kita dan merealisasikanya dalam bentuk kreativitas berupa ritual keagamaan (penyembahan).

Imajinasi tidak bisa terlepas dari otak manusia. Secara umum, otak manusia dibagi menjadi dua: otak kanan dan otak kiri. Otak kanan rata rata berisikan perasaan, tidak sistematis, tidak rasional, dan sering terbawa perasaan. Berbeda dengan otak sebelah kiri yang cenderung lebih rasional, analitis, sistematis dan mengedapankan logika daripada perasaan. Imajinasi manusia tercipta dari otak bagian kanan, sedangkan logika diproduksi oleh otak bagian kiri. Masing-masing fungsi otak ini sesunggunya sudah terdapat dalam beberapa kitab suci, di antaranya adalah injil, misalnya di dalam 2 Korintus 10:5,  Galatia 3:1 dan Ibrani 8:10. Ada penjelasan agar jangan sampai otak kanan manusia yang penuh dengan daya imajinasi dikotori oleh pikiran negative. Jadikanlah imajinasi yang ada di otak kanan sebagai wadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal Tuhan bukan dengan logika akan tetapi dengan perasaan dan keimanan.

Baca Juga  Memahami Fenomena Maraknya Isu Gender di Indonesia dengan Pendekatan Glokalisasi

Bukan hanya dalam Injil.  Imajinasi juga disinggung oleh Alquran. Seperti dijelaskan oleh Muhammad Syarifudin dalam “Sastra Qur’ani dan Tantangan Sastra Islam di Indonesia”, bahwa Alquran penuh dengan kisah-kisah imajinasi yang banyak menguras daya fantasi pembacanya, membawa manusia ke alam yang belum pernah dijumpainya. Alquran juga menggunakan kisah sebagai media penyampai risalah. Untuk memahami kisah di dalam Alquran, diperlukan daya imajinasi yang luar biasa dari manusia.

Dengan daya imajinasi, kita bisa membayangkan kisah-kisah tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memahami kehidupan: mulai dari pembentukan karakter, sifat, moral dan etika dalam berperilaku.

Jika ditarik kesimpulan dari uraian di atas, benar juga bahwa untuk mengenal Tuhan diperlukan daya imajinasi yang tinggi dari manusia. Imajinasi diperlukan untuk mencari sesuatu yang Mutlak dan Esa, seperti dalam kisah Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan dengan rasionalitasnya: dengan mulai bertanya-tanya, siapakah yang menciptakan aku? Apakah Tuhan Patung ni yang diciptakan oleh ayahku? Jika patung ini adalah Tuhan yang menciptakan aku, kenapa patung ini diciptakan oleh ayahku? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang hadir dari rasionalitas Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sesungguhnya.

Dalam dunia filsafat, Aristoteles juga meyakini bahwa ada satu kekuatan yang sangat besar yang menjadi penyebab kuasalitas hukum alam ini, meskipun ia tidak pernah menyebut kekuatan besar itu adalah Tuhan. Kekuatan besar inilah yang menjadi penyebab awal dari suatu rangkaian evolusi yang terjadi selama ini. Untuk mengetahuinya, diperlukan penalaran rasionalitas logika yang tinggi untuk mencapainya.

Sedangkan menurut Ibnu Sina, rasionalitas manusia sebetulnya tidak terbatas. Pengetahuan yang irasional sebetulnya adalah puncak dari rasionalitas itu sendiri. Maka dari itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa diperlukanlah imajinasi yang tinggi untuk membuka tabir misteri yang ada di seluruh alam semesta ini. Kesimpulanya, Tuhan yang kita sembah bukanlah Tuhan dari hasil imajinasitas manusia semata, akan tetapi hasil dari pemikiran manusia yang berusaha untuk mencari inti dari kausalitas hukum alam ini (first cause). Meskipun konotasinya seakan-akan kita menyembah imajinasi yang kita imajinasikan, tetapi titik tekannya bukan di situ. []

Indra Latif Syaepu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri