Indra Latif Syaepu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri

Cultural Shock, Kepanikan Pandemik dan Upaya Menghidupkan Kembali Tradisi Lama

2 min read

Source: mgma.com

Culture shock adalah ketika seseorang mengenal kebiasaan sosial baru yang ditimbulkan oleh kecemasan sosial sehingga orang tersebut bisa menerima kultur tersebut atau tidak. Culture shock biasanya sering diekspresikan dengan perubahan perilaku sosial yang sangat ekstrem (Siti Amanah: Jurnal sospol vol4 no 1 2018 hal 6).

Dalam menyikapi pandemik Covid-19, bahwasanya tidak hanya sebatas culture shock saja, akan tetapi ada indikasi kepanikan yang muncul dikalangan masyarakat. Kepanikan akan pandemik Covid-19 telah merubah sebagian masyarakat dunia, khususnya Indonesia untuk melakukan perubahan secara vertikal, baik secara kontemplasi, edukasi maupun aksi bahkan sikap egosentrisme di kalangan masyarakat.

Pada masa pandemik di Indonesia telah memunculkan beberapa istilah, mulai dari karantina, Lockdown, PSBB dan kini Indonesia akan memasuki zona transisi dari PSBB menuju New Normal. Artinya, kita akan mengalami sebuah kebiasaan baru dari yang sebelumnya. Secara istilah mungkin berbeda, akan tetapi secara harfiah, protokol yang diberlakukan sama. Sehingga bagi sebagian masyarakat ini dinilai sebagai sesuatu yang baru—Perpindahan istilah ini biasanya dikenal sebagai masa transisi.

Pada masa transisi sering terjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat, apakah kebiasaan ini bisa diterima, ditolak atau di modifikasi. Sikap egosentrisme sering dimunculkan oleh sebagian masyarakat yang beridiologi fatalisme. Mereka menggunakan paradigma yang sempit untuk menyikapi pandemik tanpa memikirkan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar, contoh kasusnya adalah melaksanakan ibadah secara komunal tanpa protokol kesehatan.

Rasa kepanikan akan pandemik ini sebetulnya tidak bisa terlepas dari peranan media masa sebagai sumber informasi untuk menyebarkan berita. Media online di tengah pandemic memang sedang menjalankan peranannya dengan baik sebagai “hegemocic apparaturses”. Namun kerap kali tidak disadari dampak dari media ini perlahan mulai masuk dengan halus menyusup pada diri kita sehingga bisa merubah pandangan orang secara sadar maupun tidak sadar, salah satunya adalah pemberitaan situasi Indonesia di masa pandemik.

Baca Juga  Peran Walisongo dalam Membentuk Tradisi Islam Indonesia

Pemerintah memberitakan untuk selalu waspada, akan tetapi banyak di kalangan masyarakat menanggapi berita itu dengan kecemasan masal, sehingga yang terjadi bukanlah kewaspadaan—melainkan kepanikan. Artinya apa

Bahwasanya media masa mempunyai peran yang sangat signifikan untuk mengkontruksi realitas masyarakat di tengah pandemik. Media masa mampu menjadi motivasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan. (Siti Amanah: Jurnal sospol vol4 no 1 2018 hal 4). Sehingga sikap kepanikan ini pada beberapa waktu bulan yang lalu dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk meraih keuntungan untuk “menimbun” masker kemudian menjualnya dengan harga yang mahal, pada fase ini penulis menyebutnya dengan istilah “demam masker”.

Shock culture dan kepanikan dalam menyikapi pandemik, memaksa semua orang untuk melakukan pembaharuan cara hidup secara ekstrem. Secara tidak langsung, problem ini memberi kita pelajaran. Kita yang hidup dijaman serba modern dengan teknologi yang maju, membuat kita meninjau ulang pemahaman kita terhadap ajaran agama di tengah pandemik, apakah terjadi kejumudan atau sebaliknya. Situasi pandemik menjadi bahan kontemplasi dan edukasi bagi kita untuk melakukan perubahan dari yang biasanya dan memperhitungkan untung dan ruginya bagi kita dan masyarakat secara luas dalam menyambut “New Normal”. Contoh sederhana dari shock culture yang sering penulis jumpai adalah tradisi menyediakan padasan (mencuci tangan) di depan rumah maupun rumah makan.

Sejatinya tradisi menaruh padasan di depan rumah pernah menjadi tradisi masyarakat Jawa dahulu. Banyak rumah pada zaman dulu selalu menyediakan padasan di depan rumahnya hanya untuk mencuci tangan atau mencuci muka bahkan untuk diminum.

Shock Culture sempat menjadi dilematis bagi sebagian masyarakat, dimana masyarakat harus lebih mementingkan higenisitas dan kebersihan demi untuk kesehatan. Sebelum masa pandemik, orang yang sering melakukan cuci tangan dan memakai masker ditempat umum sering dicap sebagai Miss atau Mr Higenis. Mau tidak mau, masyarakat kini harus menerapkan pola prilaku Miss atau Mr Higenis tersebut.

Baca Juga  Pentingnya Mencermati Latar Depan Budaya, Bukan Sekadar Latar Belakang

Bagi sebagian orang bisa menerima perubahan tersebut akan tetapi bagi sebagian lainya terkadang masih terlihat tidak menerapkan/ acuh (pro-kontra). Kebiasaan cuci tangan ini menurut sebagian masyarakat, merupakan sebuah tradisi yang tidak terbiasa dan jarang dilakukan sehingga menjadi shock culture. Dalam menyikapi shock culture, diperlukan “adjustment phase”. Adjustment phase ini biasanya muncul setelah orang tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Adjusmen Phase merupakan bentuk aplikatif setelah manusia melakukan kontemplasi dan edukasi terhadap sesuatu. Dari sikap kontemplasi inilah yang nanti akan memunculkan tahap edukasi manusia untuk menentukan, apa yang harus dilakukan dan mempertimbangkan segala sesuatunya.

Jika hal ini dikaitkan dengan penanaman moral dalam ajaran agama, bahwasanya anjuran pemerintah terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada masa pandemik tidaklah bertentangan dengan kaidah keimanan, karena di dalam ajaran agama menganjurkan tentang kesehatan dan kebersihan.

Pemerintah berusaha menghidupkan kembali budaya untuk selalu menjaga kebersihan dan kesehatan dimulai dari hal yang kecil. Sikap Maintenance dan konsistensi diperlukan untuk menghidupkan kembali tradisi menjaga kebersihan dan kesehatan yang sudah mulai luntur dikalangan masyarakat untuk menyambut New normal.

Sehingga tradisi sering melakukan aktivitas cuci tangan bukan menjadi kebiasaan baru, akan tetapi kebiasaan yang telah lama pudar dihidupkan kembali. Bahkan dalam ajaran Islam, umat Islam dituntut untuk selalu menjaga kesehatan dan kebersihan sebagai salah satu dari ajaran Sunnahtullah.

Jika kita mengingkarinya, berarti secara langsung kita mengingkari ajaran sunnahtullah tersebut. Penerapan protokol kesehatan sebetulnya sudah ada dalam ajaran Islam, dan dalam keadaan tertentu Islam selalu memudahkan umatnya untuk melaksanakan ibadah. [HM]

Indra Latif Syaepu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri