Ilung S. Enha Penulis buku Laduni Quotient, My God My Love: Merindukan Sang Ilahi dengan Kasih dan Cinta.

[Cerpen] Sang Duta Tuhan

5 min read

Ini hari yang ke-99 aku melakukan hal rutin di kuntum pagi. Duduk di atas kursi di lantai dua kamarku dengan ditemani secangkir kopi dan pisang goreng kesukaanku. Dari balik jendela kaca yang berembun, mataku selalu mengawali hari dengan melepas pandangnya ke batas garis lengkung cakrawala. Langit selalu tampak bersih; semburat warna putihnya yang menyela-nyela warna biru tak lagi berkabut polusi.

Namun pagi ini jiwaku disergap rasa letih yang sempurna. Tak tersisa sejumput energi untuk menulis seperti hari-hari kemarin. Kekuatan harapan menanti sirnanya pandemi runtuh sudah. Itulah yang membuat kerinduanku pada seorang Kiai—yang orang memanggilnya dengan sebutan Kiai Sableng—tak terbendung pula. Sebab dialah satu-satunya Kiai yang kukenal yang memiliki “pikiran lain” dalam memandang setiap persoalan. Sayangnya, untuk menemuinya di “istana sepi” yang dibangunnya begitu rumit.

Untuk bertandang ke lokasi Kiai Sableng, yang sejak lima tahun lalu menyendiri di tengah belantara raya di celah bebukitan di lereng sebuah gunung, aku harus berkendara sepanjang 55 kilometer terlebih dahulu. Setelah menitipkan kendaraan di sebuah warung di kaki sebuah bukit atau di rumah penduduk, aku harus melanjutkannya berjalan kaki belasan kilometer menuju kesana. Tak ada jalanan setapak yang bisa dilalui. Aku harus membuat ruteku sendiri dengan menyibakkan reranting pepohonan yang merintang sepanjang kelok jalan.

Setapak jalan yang awal kulalui tepat saat sinar mentari masih sepenggala. Ketika sampai ke “rumah panggung” berukuran 4,5 X 6,5 itu mentari sudah condong ke arah Barat. Seluruh tubuhku benar-benar amat sangat letih. Tapi tiba-tiba perasaaan letih itupun menepi. Akupun terkesiap. Tepat di depan kumenyandarkan diri di tiang sebelah Timur, dua cangkir kopi yang asapnya masih mengepul seakan telah menunggu kehadiranku. Kiai Sableng yang berada di sebelah Barat dan menghadap Barat masih tampak duduk bersila dengan posisi meditasi. Kulihat rambutnya dibiarkan bergerai hingga menyentuh batas punggung.

Sementara alam sekitar menyanyikan lagu sunyi yang syahdu. Gemeretak antar dahan dan ranting pepohonan seolah merajut simponi penuh harmoni. Suara gemericik air di bawah tak jauh dari tempatku duduk, selaksa melodi yang menambah kekhusyukan nyanyian alam di siang yang “berwaktu” senja. Aku biarkan irama itu meliuk-liuk menyusuri diriku. Tak terasa rasa kantukpun segera melelapkan rasa letih sekujur jiwaku.

“Hmm.. lelap sekali jiwamu wahai sang pewarta!” suara Kiai Sableng tiba-tiba membangunkanku. Diapun ternyata sudah berada di depanku. Sambil tersenyum simpul akupun langsung mengambil posisi duduk bersila sepertinya.

Baca Juga  Alif dan Mim (5): Tangis Bahagia, Tangis Duka Datang Bersama

“Sudah menemukan solusi untuk pandemi?” tanya Kiai Sableng menohokku seakan tahu maksud kedatanganku.

“Eee.. belum, Kiai. Tapi upaya untuk memutus rantainya sudah,” jawabku bernada datar.

“Upaya memutus rantai korona?” tanyanya setengah tak percaya.

“Betul, Kiai. Aku harus sesering mungkin mencuci tangan dan melakukan physical distancing.. menjaga jarak dengan siapa saja.”

“Menurut akal sehatmu, adakah Tuhan yang menggenggam berjuta virus dan mengutus salah satunya agar manusia membatasi jarak antar sesama?” tanya Kiai Sableng sambil mengernyitkan dahi. Sorot matanya tajam ke arahku. Akupun diam tersedak.

Suasana sejenak hening. Lalu aku mencoba memberanikan diri untuk menanya balik: “Lantas, apa mau Tuhan dengan mengirim makhluk kecilnya ini, Kiai?”

“Agar manusia menjaga jarak.. dari kerakusan terhadap benda-benda dan kesenangan yang melampaui titik batas kemanusiaan. Adam dicipta untuk mengkhalifahi benda-benda dan bukan untuk tunduk menghamba padanya.” Kiai Sableng tak melanjutkan kata-katanya. Seekor ular seukuran jempol jari semeter lebih panjangnya melintas di sebelahnya.

Dengan penuh kasih sayang Kia Sableng membimbingnya menuju pohon kecil disamping tempat kami duduk berdua. Sebelum dia kembali ke tempat duduknya semula, terlebih dahulu menepuk pundakku sambil berkata: “Jangan sepenuhnya kau serahkan hidupmu pada keniscayaan benda-benda. Tuhan tak rela jika hamba yang dicipta dan pernah dipamerkan kehebatannya kepada para malaikat, tiba-tiba jadi remehtemeh dan tersungkur di hadapan benda-benda..” Aku pun takzim mendengarnya.

“Karena itukah lantas Tuhan mengirim utusan mungilnya agar manusia mau segera kembali kepadaNya?” tanyaku menuruti rasa keingintahuanku. Tapi Kiai Sableng tak mau menjawab dan bahkan tertawa terpingkal, seakan menganggap pertanyaanku terdengar sangat lucu.

“Ataukah Tuhan lagi tersinggung sehingga mengirim virus ini untuk mengepung manusia?” tanyaku tepat saat dia duduk kembali di hadapanku.

“Tersinggung? Alasan apa yang membuat Tuhan sehingga gampang tersinggung?” katanya balik bertanya kepadaku.

“Karena manusia semakin pintar dan tak merasa butuh melibatkanNya…” jawabku dengan nada serius. Mendengar untaian kata-kataku ini tawa Kiai Sableng terdengar semakin kencang memecah alam raya.

“Sejak manusia mulai mengembangkan ilmu pengetahuan lebih dari dua abad silam, tak pernah sekalipun Tuhan dilibatkan di dalamnya. Apalagi ketika ilmu pengetahuan bersatupadu dengan teknologi menemukan puncaknya sekarang ini, sama sekali manusia enggan melirikNya. Tapi sepanjang itu pula Tuhan tak pernah merasa tersinggung..” ucap Kiai Sableng datar-datar saja

“Lantas, Kiai.. kenapa Dia mengutus virus ini ke bumi manusia?” tanyaku dengan nada meninggi.

“Itu cuma cubitan kecil agar manusia mengingat..”

Baca Juga  Wedhatama: Pupuh Sinom, Jalan Salik Sufi Bagi Generasi Muda (2)

“Mengingat Tuhan dan segera melibatkanNya dalam iptek?” tanyaku setengah tak sabar.

“Bukan. Tuhan selalu membiarkan manusia yang tak mau mengingat DiriNya. Tapi Dia merasa tak jenak jika manusia justru melupakan dirinya sendiri,” jawabnya bernada keluh.

Akupun keluh dibuatnya. Seekor burung beribu warna yang tak pernah sekalipun aku melihatnya bertengger di pundak Kiai Sableng. Tangan kanan Kiai Sableng dengan lembut mengelusnya, dan meletakkan burung itu di atas tangan kirinya. Burung itupun seakan mengucapkan beberapa kata padanya. Kiai Sableng tampak tersenyum kecut dan menyuruh burung itu terbang lepas ke cakrawala.

“Ada isyarat apakah Kiai, sehingga raut wajah sampeyan tiba-tiba saja tampak agak berubah?” pertanyaan meluncur seketika dari mulutku. Beberapa saat aku menunggu jawabannya, tetapi tetap saja Kiai Sableng tak berkata apa-apa. Akupun mencoba melanjutkan pertanyaanku yang tadi sempat terputus oleh keluh.

“Tadi Kiai mengatakan Tuhan merasa tak jenak melihat manusia saat ini..” tanyaku yang sekedar memancing jawaban.

“Sejak manusia sanggup membuat inteligensi artifisial, Tuhan mulai tampak murung melihat manusia,” katanya mantab. Sementara aku terhenyak mendengarnya.

“Lantaran itu akan membuat manusia kian menjauhi jarak dengan Tuhannya?” sergahku.

“Sama sekali tidak. Tuhan hanya tak suka manusia membikin sesuatu yang membuatnya lebih mempercayai temuan itu ketimbang dirinya sendiri,” kata Kiai Sableng yang kali ini terdengar sangat serius. “Sebab manusia adalah Sang Duta Tuhan yang paling sempurna!” tandasnya.

“Dengan manusia mencipta kecerdasan buatan, akankah membuat Tuhan merasa tersaingi?” pertanyaanku sengaja memojokkannya.

“Jangan ngaco kamu! Setinggi-tingginya pengetahuan manusia itu cuma setetes air jika diskalakan dengan berlaut-laut ilmuNya. Jangankan di hadapan Tuhan, di depan virus yang super kecil saja pengetahuan manusia dibuatnya bertekuk-lutut. Teknologi yang dibangga-banggakan selama ini dibuatnya kalangkabut..,” ucapnya sambil mengulum seutas senyuman.

“Kiai, apa sebenarnya target Tuhan dengan merebaknya virus Covid-19 di seluruh belahan dunia?” tanyaku. Aku benar-benar berharap Kiai Sableng mau menjawabnya.

“KeinginanNya sangat sederhana; agar manusia mau berendah hati sebagaimana awal penciptaan. Iblislah yang kala itu menonjolkan keangkuhannya dan merasa bahwa dia lebih unggul dari ras manusia,” jawabnya dengan suara bergetar. “Bangsa-bangsa yang tetap sombong dan congkak menonjolkan kekuatannya, pasca-pandemi akan runtuh berkeping-keping. Kini telah berproses.. masih berjalan pelahan menuju kehancurannya masing-masing,” paparnya.

“Itu artinya Tuhan benar-benar sudah merasa tersinggung, Kiai?” tanyaku memberanikan diri.

“Semprol kamu! Kalau Tuhan merasa tersinggung, engkau akan melihat seluruh hamparan langit berwarna merah mawar. Jikapun Diri-Nya sudah marah, maka kamu akan menyaksikan asap hitam menggumpal tebal menghembus dari lobang langit jatuh memenuhi atmosfir dan hamparan bumi. Di saat itulah iptek yang dibangga-agungkan manusia sama sekali tak berfungsi lagi..” Kiai Sableng berkata-kata dengan nada meninggi. Kemudian diam beberapa saat dan tampak menahan isak tangisnya.

Baca Juga  Tasawuf Salafi dan Catatan untuk Term Neo-Sufisme Fazlur Rahman

Sebenarnya aku merasa takut dibuatnya. Tapi karena rasa ingin tahuku sudah meluberi sekujur diriku, maka aku beranikan pula untuk tetap mengejar jawaban itu. Lalu akupun bertanya padanya: “Lantas Kiai, apa hakikat sebenarnya dari virus ini?”

Kia Sableng berdiri sambil mendongakkan wajahnya dan berujar dengan suara keras: “Jika atap langit dan cakrawala diisi kobaran api neraka, maka korona adalah sepucuk jarum api yang jatuh ke bumi,” ucapnya mantap. “Anehnya, manusia justru merasa takut pada api di ujung jarum itu ketimbang kobaran yang menyala-nyala. Semestinya merasa takut dengan kobaran api itu. Lebih-lebih pada Tuhan Maha Perkasa yang telah mencipta,” katanya dengan nada sangat tinggi sekali.

“Mohon maaf Kiai.. untuk memenuhi rasa penasaranku, izinkan aku bertanya satu hal saja, Kiai..” pintaku yang dijawabnya dengan anggukan yang berat.

“Apa tawaran Kiai Sableng untuk dapat mengatasi wabah yang membumi ini?” tanyaku dengan suara yang agak parau.

Iqra’ bismi rabbik! Bacalah dengan melibatkan asma Tuhanmu. Inilah inti segala inti dari hakikat pandemi ini. Sebab kini perjalanan dunia sudah berada pada waktu yang wingit; sudah melintasi tapal batas senjanya senja. Lalu datanglah malam; waktu yang gelap dan menggelapi segala ruang. Lantas di esok hari masa kebangkitan baru dimulai; sebuah peradaban baru yang meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi di laci hari kemarin.. dan menggantikanuya dengan supraiptek.. metasains yang…” sayup-sayup suara Kiai Sableng terus bergumam sendiri bagai kumpulan lebah yang saling berkerumun.

Tiba-tiba angin kencang menerpa kami berdua. Tepat saat tanganku meraih secangkir kopi yang sejak tadi tak sempat kusentuh, asap putih mengepul yang tak kutahu dari arah mana datangnya. Kupejamkan mataku sepejam-pejamnya. Kuhela nafas panjangku sepanjang-panjangnya. Beberapa waktu aku terdiam; diam sejati dari diamnya diam.

Sejurus kemudian aku sadari, kopi di genggaman tanganku masih terkepal dan asapnya masih mengepul. Dan dari balik jendela kaca kamarku yang masih berembun, mataku kembali melepaskan pandangnya ke batas garis lengkung cakrawala. Langitpun masih selalu tampak bersih; semburat warna putihnya yang menyela-sela warna biru tak lagi berkabut polusi. [MZ]

Ilung S. Enha Penulis buku Laduni Quotient, My God My Love: Merindukan Sang Ilahi dengan Kasih dan Cinta.