Islah Gusmian Dosen IAIN Surakarta

Makna Lebaran di era Pandemi Corona [Bagian 1]

2 min read

Idul Fitri, mudik ke kampung asal, dan Syawalan merupakan suatu momen yang dinanti oleh umat Islam. Setelah sebulan penuh berpuasa, umat Islam menumpahkan kegembiraannya dalam momen yang indah itu. Di situ ada banyak rencana yang telah disusun: rencana silaturahmi ke kerabat, teman, guru, dan tetangga, saling memaafkan, dan berbagi kegembiraan.

Keinginan untuk silaturahmi  tampak pada momen di mana setiap orang ingin pulang kampung,  tanah di mana ia dilahirkan, dan tempat di mana ayah dan ibunya tinggal. Maka, dalam momen lebaran, mudik alias pulang ke kampung asal, menjadi hasrat yang tak terpisahkan. Peristiwa ini tidak hanya sebagai ekspresi keagamaan. Lebih dari itu, mudik telah menjadi fenomena budaya. Mereka yang tidak ikut berpuasa di bulan ramadlan dan juga bukan seorang muslim, ikut juga berjibaku dalam menyambut momen mudik.

Sejumlah persiapan sejak dini telah disusun: pesan tiket kalau pakai moda umum, cek kesehatan mobil bila pakai kendaraan sendiri, serta uang kertas baru dan oleh-oleh yang akan dibawa sebagai buah tangan dan tanda cinta. Bahkan, destinasi yang akan dikunjungi serta nama-nama sanak keluarga juga telah didata dalam buku agenda. Dalam konteks budaya massa, mudik telah menjadi suatu keharusan. Lebaran rasanya kurang lengkap bila tidak mudik.

Pulang ke kampung kelahiran merupakan hasrat manusiawi dan lumrah. Manusia tampaknya punya takdir mengingat-ingat tanah kelahiran. Nabi Muhammad saw. juga begitu. Sebagai tanah dimana ia dilahirkan, kota Mekah menjadi tempat yang selalu ia rindukan. Oleh sebagian orang, ketika mereka wafat, salah satu hal lain yang dirindukan adalah ia kelak dikuburkan di komplek para leluhurnya dan orang-orang yang dicintainya itu dikuburkan.

Baca Juga  Dalam Kehidupan Bernegara, Siapakah yang Lebih Berhak Menyerukan Jihad?

Lebaran juga merupakan ruang di mana setiap diri menumpahkan hasrat silaturahmi dan saling mema’afkan. Habitus lebaran telah menjadikan setiap diri begitu mudah saling bertemu, berjabat tangan dan bahkan berpelukan dalam rangka saling mengakui kesalahan dan membuka kelapangan hati untuk saling memaafkan. Dalam momen-momen di luar lebaran, kebanyakan orang tidak mudah mengakui kesalahan atau saling memaafkan, apalagi hal itu diungkapkan secara terbuka. Tapi semuanya itu menjadi begitu mudah saat lebaran tiba.

Inikah yang disebut berkah Ramadan? Dalam konteks budaya, momen itu tentu merefleksikan kebaikan, meskipun kita tak tahu betul apa hakikatnya yang ada dalam batin setiap orang. Orang yang pernah berseteru tiba-tiba bertemu, beradu pipi, dan saling menjabat tangan dengan erat, merupakan ekspresi bahwa hasrat mendalam setiap orang adalah harmoni, saling berbagi dan setia kawan. Dan semua ini merupakan bagian dari inti ajaran Islam. Maka, jangan heran banyak masalah besar bisa diurai dan diselesaikan lewat meja makan.

Lebaran dengan ekspresi mudiknya biasanya juga terkait sikap saling berbagi kesenangan dan kegembiraan. Nabi Muhammad saw. mengingatkan kita bahwa jangan sampai di hari raya ini ada tetangga dan kerabat yang sedih dan tak bisa makan. Maka, sedekah, infak dan zakat merupakan bagian penting dalam rutinitas lebaran. Baju baru, parsel,  angpao, dan tunjangan hari lebaran merupakan hal-hal yang lekat dalam tradisi lebaran. Intinya jangan sampai di momen yang indah dan bahagia ini, ada orang yang sedih dan tidak bisa makan.

Tapi, di era pagebluk Covid-19 kali ini semua berubah. Pola hidup kita berubah. Interaksi dengan sesama manusia berubah. Rutinitas juga berubah. Dan mudik pun bagian dari hal yang dilarang oleh pemerintah. Jabat tangan bagian dari hal yang harus dihindari. Silaturahmi dan saling berkunjung ke rumah, meski sebagai hal yang mulia, juga tak direkomendasikan untuk dilakukan. Orang-orang yang datang dari tempat zona merah, harus mengisolasi diri selama 14 hari. Ke mana-mana harus pakai masker dan cuci tangan dengan sabun atau handsanitizer. Tata kelola hidup kita sehari-hari telah berubah.

Baca Juga  Menjaga Harta Persaudaraan Indonesia

Kita dipaksa memasuki kehidupan baru. Kehidupan yang diandaikan tak memberikan ruang pada virus corona untuk lekat dan masuk ke tubuh. Maka, cuci tangan pakai sabun, mandi secara teratur, handsanitizer, masker, dan physical distancing merupakan rutinitas baru. []

Bersambung

Islah Gusmian Dosen IAIN Surakarta

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *