Islah Gusmian Dosen IAIN Surakarta

Makna Lebaran di Era Pandemi Corona [Bagian 2]

3 min read

Hari-hari di era pandemi, apakah lebaran kali ini tampak kurang menggairahkan? Anak saya yang duduk di kelas 3 SD, setiap hari menghitung jumlah hari di mana dia berpuasa dan menghitung kapan lebaran tiba. Dia merasa gembira, setiap hitungan puasa yang akan ia lakukan terus berkurang. Ternyata kegembiraan dia sederhana, yaitu ketika berpuasa telah usai. Di bulan ramadlan kegembiraan baginya sederhana: tak lagi berpuasa.

Maka,  selaiknya lebaran tetaplah bermakna, meski tanpa mudik dan tanpa saling berkunjung ke rumah tetangga dan sanak saudara. Makna itu ada bila kita tidak terjebak pada aspek wadaknya dan menuju pada ceruk terdalam dari hakikat lebaran.

Pertama, lebaran artinya “lebar” atau usai. Lebaran bukan hanya tanda bahwa kita telah usai menjalankan puasa sebulan penuh. Lebaran adalah penanda bahwa manusia telah menjalani proses transformasi diri menjadi insan paripurna. Yakni, diri yang menyadari bahwa subjek bernama manusia ini mengandung tiga aspek: material, psikis, dan spiritual. Dominasi aspek material dan segala kecenderungan yang mengarahkan pada aspek ini, bila terjadi terus-menerus akan melemahkan dua aspek lainnya. Maka, lebaran hakikatnya adalah etape dari proses “menjadi” manusia yang hakiki dengan tiga aspek di atas.

Di situlah praktik “lebar” itu terjadi. Kita boleh makan dan minum serta menikmati semua hal yang material, tapi bukan di situ muara keindahan yang kita tuju. Kita boleh mencintai dan menyayangi benda-benda dan hal yang material lain, tapi bukan di situ  hakikat yang kita tempuh untuk mendekab kebahagiaan. Sebab, sekali lagi, hakikat manusia itu multidimensi. Bila hanya terpaku pada yang material, perjalanannya tidak seimbang dan mudah terkoyak oleh hasrat nafsu yang tak berkesudahan. Dunia itu seperti air laut, oleh karena itu jangan sekali-kali melepas dahaga dengan meneguknya. Kemanusiaan yang ideal adalah setiap diri yang seimbang dalam mengelola aspek material, psikis, dan spiritual.

Baca Juga  Agama, Filsafat, dan Sains yang Diperdebatkan

Kedua, lebaran berarti “lebur”. Praktik transformasi di atas muaranya akan menaikkan eksistensi manusia yang berpuasa menuju derajat yang lebih mulia.  Yakni, kondisi di mana diri mampu  menyeimbangkan aspek material, psikis dan spiritual. Dalam Alquran diinformasikan bahwa manusia diciptakan dari tanah. Tanah itu bagian dari dimensi material. Pun juga setan yang diciptakan dari api. Secara esensial, keduanya tak ada bedanya. Maka, adalah bagian sikap dungu bila ada orang menepuk dada, karena asal usulnya. Itu tak lebih dari  habitus setan.

Tapi kita perlu ingat pula, bahwa setiap diri manusia yang material itu, oleh Allah ditiupkan ruh-Nya kepadanya. Wa nafahtu fīhi min rūhī. Ungkapan ini menggambarkan bahwa di samping diri yang material tersebut sejak semula telah tertanam unsur dan kesadaran spiritual. Makanya setiap diri sesungguhnya memiliki kecenderungan untuk bergerak pada yang Ilahi tersebut. Dan pada momen perjalanan dari dimensi yang material ke dimensi yang spiritual, di situlah manusia akan menemukan inti dari hakikat kemakhlukannya.

Secara falsafi, manusia akan mengalami  momen di mana di setiap langkah bersifat immanen dan transenden sekaligus. Orang yang anggota tubuhnya menegakkan salat merupakan gerakan imanen, tapi ruh dan hatinya yang khusyū’ dan tunduk pada-Nya adalah gerakan transenden. Karena di setiap momen dalam hidup kita ini  hakikatnya merupakan perjalanan dari Allah (minallāh), menuju Allah (ilallāh), bersama  Allah (ma’allāh),  dan  di dalam Allah (fillāh). Perjalanan inilah yang saya maksud dengan istilah “lebur”.  Puasa yang benar akan membuang sikap keakuan dan keangkuhan. Karena hakikatnya yang Mahaada, hanyalah Allah. Dan hanya Dia yang pantas meng-Aku. Puasa yang dilakukan dengan baik, akan jadi jalan dimana dalam diri terjadi pertemuan antara dimensi material dan spiritual.

Baca Juga  Islam dan Politik yang Melampaui Sekat-sekat Primordialisme

Ketiga, lebaran berarti “luber”. Manusia tak bisa hidup sendiri. Tuhan menciptakan manusia terdiri dari laki-laki perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Ini indikasi bahwa manusia hidup dalam kesalingan: saling berbagi, saling membutuhkan, saling melindungi, saling menyayangi dan demikian seterusnya.

Di situlah agama mengajarkan manusia tentang solidaritas sosial. Bila kawan disakiti, maka kita ikut merasakan sakitnya. Bila kawan bahagia, maka kita juga ikut merasakannya. Ukuran keimanan dalam satu konteks, oleh Nabi Muhammad saw.  digambarkan dengan hidup kesalingan tersebut. Maka, menghormati tetangga, menjamu tamu, dan berderma pada sesama adalah wujud kongkrit dari iman. Di sinilah, iman merefleksikan dari aktivitas sosial kemanusiaan, yaitu memberi rasa aman dan nyaman di setiap momen kepada sesama makhluk Tuhan.

Itulah yang saya sebut dengan istilah “luber”. Luber itu makna harfiyahnya ada meluap dan mengaliri hal-hal di sekitar. Seperti kita menuangkan air dalam gelas yang sudah dipenuhi air, maka air itu akan meluap di sekitarnya. Seseorang yang laku puasanya telah sukses melalui etape “lebar” dan “lebur” di atas,  dia akan menuju pada etape yang sangat kongkret, yaitu luber: keberadaannya memberikan berkah kepada semua makhluk yang ada di sekitarnya, kapan saja dan di mana saja. Mutu iman begitu nyata dirasakan keindahannya oleh orang lain.

Lalu, bagaimana kita berlebaran di masa pandemi Corana sekarang ini? Kalau kita memahami tiga aspek di atas dengan benar, tak ada ruang untuk berduka. Tidak bisa mudik ke kampung halaman, bukan masalah. Bukankah kita bisa mudik kapan saja dan di mana saja. Karena hakikat mudik adalah berbagi kebahagiaan kepada para leluhur, tetangga, kerabat, dan semua orang yang membutuhkan serta mentransendensikan diri yang material menuju yang Ilahi.

Baca Juga  New Normal: Babak Baru Kehidupan Manusia Bersama Covid-19

Di era pandemi, pertemuan fisik dihindari. Seminar, pembelajaran di kelas, dan kegiatan rapat dialihkan ke  media online. Langkah ini untuk menghindari penyebaran virus yang mematikan itu. Apalagi sekadar silaturahmi dan berjabat tangan saat lebaran tiba. Kita memang mesti patuh melakukan physical distancing ini. Pertemuan boleh tidak terjadi, tapi solidaritas dan kesetiakawanan sosial, harus jalan terus.

Kue-kue boleh tidak tersedia di meja tamu. Tapi, bantuan uang dan sembako harus terus mengalir kepada tetangga dan orang-orang butuh dibantu. Baju boleh tak ada yang baru, tapi pastikan diri anda, orang dekat dan kerabat memiliki stok masker dan handsanitizer yang cukup. Di era pandemi, keduanya lebih berguna ketimbang baju baru. Kalau di era pandemi kita tak diperkenankan pengajian, salat Jumat dan tarawih di masjid, karena alasan kerumunan yang memudahkan virus menular, bukankah setiap tempat bisa dijadikan tempat sujud. Dan bukankah Tuhan itu bisa didatangi kapan saja dan di mana saja?

Tak usah risau. Lebaran di era pandemi tak akan pernah kehilangan makna. Kini ke-lebar-an, ke-lebur-an dan ke-luber-an lebaran justru sedang menemukan momentumnya. []

Islah Gusmian Dosen IAIN Surakarta

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *