Berbicara moderasi keagamaan atau sikap di tengah-tengah dalam paham dan perilaku beragama serasa tidak ada pangkal ujungnya. Topik ini masih terus menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Bahkan, akhir-akhir ini wacana moderasi keagamaan kian marak disosialisasikan. Tujuannya agar ciri khas bangsa Indonesia yang sudah sejak dulu menganut sikap moderat, santun dan ramah dalam perilaku keagamaan tidak hilang.
Kendati demikian, Indonesia yang semenjak dulu terkenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran, toh tetap saja ada kelompok ekstrem yang turut mewarnai dinamika sosio-religius yang berkembang di negara ini. Kita masih ingat pada saat menjelang kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama (NU), 31 Januari 1926 atau pada dekade tahun 1960-an hingga 1970-an bagaimana politik dan sosio-religius di Timur Tengah turut mengilhami dan melahirkan ekstremitas keagamaan di Tanah Air.
Pertanyaan yang hendak dijawab di sini adalah mengapa masih urgen pengarusutamaan sikap moderat dalam beragama di Indonesia? Bagaimana sikap moderat yang adil? Setidaknya ada dua alasan mengapa moderasi keagamaan perlu digalakkan, yaitu:
Pertama, menjaga warisan nenek moyang kita (Walisongo dan para ulama sesudahnya) yang telah bersusah payah membangun tradisi dan kebudayaan Islam yang menyatu dengan kebudayaan-kebudayaan lokal tanpa membenturkan satu dengan yang lainnya, sehingga tercipta perilaku yang santun dan toleran.
Kedua, karena merebaknya kemunculan kelompok-kelompok ekstrem, dan dalam waktu yang bersamaan ideologi dan perilaku dari kelompok tersebut mengancam tata nilai masyarakat di Indonesia yang telah terawat sejak dulu.
Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam buku Islam Jalan Tengah (2017) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Alwi A.M. menjelaskan bahwa dunia kita saat ini sedang dilanda berbagai macam sikap ekstrem (melampaui batas), baik ekstrem dalam hal agama, politik maupun perilaku hidup sehari-hari. Ekstremitas keagamaan ini bukan hanya terjadi di satu atau dua negara saja, bahkan hampir semua negara di dunia dapat dijumpai ekstremitas tersebut.
Sementara kalau kita tarik pada konteks saat ini, apa yang diungkapkan oleh al-Qardhawi rasanya tidak berlebihan. Apalagi sekarang kita tengah berada di era di mana semuanya serba instan dengan adanya teknologi yang menjanjikan, orang tidak lagi memprioritaskan belajar ilmu kepada orang yang ahli. Melainkan terkadang sudah merasa cukup belajar ilmu dari media sosial seperti youtube, twitter, dan media-media digital lainnya, lalu berpuas diri walaupun ilmu yang didapat belum sempurna.
Segala informasi dan apa pun saja yang ingin dipelajari cukup hanya dengan googling di internet. Padahal semua konten yang bertebaran di internet belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Media digital terlalu egaliter sehingga suara setiap orang mudah didengar dan diamalkan begitu saja yang pada akhirnya membawa kita pada pengetahuan yang tidak utuh atau cacat (fallacy). Inilah yang menjadi bagian dari penyebab kemunculan paham-paham ekstrem.
Dengan maraknya ekstremitas keagamaan terjadi di mana-mana, terkadang tanpa kita sadari kita juga termasuk bagian kecil dari ekstremitas ketika memberikan reaksi atau respons kepada kelompok ini. Mengapa demikian? Coba kita renungkan, kita tentu melihat fenomena-fenomena penyimpangan dalam agama seperti banyaknya pemuda dan pemudi yang tengah asyik menyekek botol minuman keras, menyaksikan perempuan-perempuan yang mengumbar aurat di muka umum.
Menyaksikan betapa banyaknya bayi yang lahir tanpa tahu ke mana ia harus memanggil bapak dan masih banyak lagi kemungkaran-kemungkaran lainnya. Pertanyaannya pernahkah kita sebagai orang yang mengaku moderat memusatkan perhatian kita terhadap kemungkaran-kemungkaran itu? Pernahkah kita membuat gerakan dengan dasar Islam moderat dan Islam santun kita kepada mereka?
Jujur harus dikatakan bahwa kita kurang begitu peduli terhadap mereka-mereka yang telah hanyut dalam kesesatan dan berenang bebas dalam ekstremitas keagamaan. Sehingga mereka seakan-akan tidak punya panutan dan tidak punya penolong yang dapat mengangkat mereka dari lembah hitam yang selama ini mengurungnya.
Kita terlalu sibuk menyerang laki-laki yang bercelana cingkrang dan berjenggot, terlalu sibuk melontarkan satire kepada wanita-wanita yang memakai jilbab panjang dan memakai cadar, terlalu asyik berdalih tentang kebebasan individu yang dijamin oleh undang-undang, seakan-akan undang-undang hanya menjamin mereka yang nyaris telanjang tanpa pakaian, dan hampir lupa tentang adab menjaga kehormatan yang mana hal itu juga termuat dalam undang-undang.
Bukankah begitu fenomena yang tengah kita alami saat ini? Semua berebut wacana keagamaan, semua mengaku moderat, semua mengaku pengagumNabi. Tapi fakta di lapangan kurang begitu akurat dengan apa yang selalu digaungkan. Mengikuti sunah-sunah Nabi hanya yang sesuai dengan nafsunya, sementara yang tidak sesuai seakan-akan sunah berubah menjadi bidah.
Pertanyaannya sekarang! Adilkah kita sebagai orang yang mengaku moderat hanya menyerang mereka para pemakai celana cingkrang, perempuan pemakai cadar, dan mengkritik habis-habisan orang yang berjenggot? Bahkan tak jarang kadang mengolok-olok. Sementara tatkala kita berjumpa dengan kemungkaran dan ekstremitas kesekuleran kita malah diam seribu bahasa? Adilkah?
Sikap moderat hendaknya sesuai dengan makna moderasi itu sendiri, yakni berada di tengah bukan hanya sekadar berdiri menjadi pengayom antara kanan dan kiri, tetapi lebih dari itu kita harus adil dan proporsional dalam menyayangi keduanya. Ajaklah mereka duduk bersoal jawab tentang apa yang mereka yakini benar-benar darilubuk hatinyadan penuh cinta kasih. Bukan malah balik menyerang habis-habisan kepada mereka.[FM, MZ]