Saat tulisan ini dibuat, sekira 520 orang meninggal 4000 sampai 5000 orang positif Covid-19, dan sekitar 600 orang sembuh. Jumlah itu terhitung sejak kasus pertama pada awal bulan Maret. Belum diperkirakan lagi jutaan masyarakat yang akan tepapar virus ini jika tidak mengindahkan kebijakan pemerintah. Namun, bagaimana pun, semua orang apalagi para pasien ini tetaplah bagian dari agama dan petaka.
Saya akan sedikit menulis ulang dari dua makalah yang ditulis oleh Pdt. Dr. John Cambell-Nelson dan Prof. M. Machasin dalam buku Mengelola Keragaman di Indonesia pada bab 14; Agama dan Bencana, dalam konteks Corona. Menyinggung hubungannya dengan agama, Covid-19 menunjukkan kompleksitas agama dalam memberikan tafsiran, mengurangi, bahkan kerap berkontribusi pada berbagai gangguan kehidupan masyarakat yang kerap datang tiba-tiba dalam skala besar.
Dilihat dari penyebabnya, Covid-19 disebabkan oleh coronavirus, yaitu sekelompok mikroorganisme atau virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Ada dugaan bahwa virus Corona awalnya ditularkan dari hewan ke manusia. Namun, kemudian diketahui bahwa virus Corona juga menular dari manusia ke manusia. Dan hal ini tampaknya benar-benar di luar kendali manusia.
Agama-agama monoteisme Ibrahim sering menilai bencana, dalam hal ini Covid-19, sebagai wujud murka Tuhan. Bahkan cenderung menganggap “Tangan Tuhan” dalam setiap bencana besar sebagai hukuman, dendam berkah atau seruan untuk bertaubat. Sementara itu, agama-agama pribumi dan masyarakat tradisional pedesaan kerap menghubungkan bencana dengan roh-roh leluhur yang murka akibat pelanggaran norma atau suatu perjanjian seperti ramainya konsep Sabdo Palon yang dikaitkan dengan fenomena akhir-akhir ini.
Baik kita adalah seorang tenaga medis yang menangani virus ini, atau agamawan yang berusaha menafsirkan hikmah bencana dalam konteks tradisi agama tertentu, atau sosiolog yang meneliti peran agama dalam bencana dan konsekuensinya, atau pemangku kebijakan yang mengimbau daan memberikan sosialisasi kepada masyrakat, yang jelas hal yang mesti kita pertimbangkan adalah berbagai kemungkinan penafsiran yang kompleks yang bisa jadi muncul dalam konteks sosial di balik bencana itu sendiri.
Di tengah situasi yang telah merenggut orang terkasihnya, anggota keluarganya, atau perkerjaannya seperti saat ini, orang mungkin sulit sekali untuk seketika sanggup menyambut apa yang ditatarkan dalam doktrin agamanya dengan legawa. Misalnya, ia akan sulit menerima bahwa wabah ini adalah pelajaran yang diberikan Tuhan sebagai penghakiman, hukuman atas dosa yang diperbuatnya, karena anggapan itu tidak masuk akal. Atau hukuman hanya dikenakan bagi mereka yang tewas karena terpapar virus. Atau bahwa anak kecil harus kehilangan orang tua mereka. Jika wabah adalah hukuman Tuhan maka orang beriman mungkin akan merasa hal itu tidak adil belaka karena di luar sana banyak yang dosanya lebih besar darinya.
Jika wabah ini dipahami orang sebagai penghakiman Tuhan agar para pendosa kembali kepada-Nya, maka bertobat adalah tindakan yang tepat. Tetapi jika ia tahu bahwa penyebab wabah adalah mikroorganisme, maka melakukan pencegahan dengan pola hidup sehat dan menutup kontak fisik adalah jawabannya.
Sebagaimana kisah Eliphaz dalam Alkitab yang mengatakan kepada Ayub bahwa penyakit kulit yang diidapnya adalah karena dosa-dosa yang dilakukannya. Namun, Ayub tetap tidak terima karena ia merasa tidak melakukan dosa apapun yang membuatnya layak diganjar hukuman itu. Awalnya Ayub mengira bahwa Tuhan tidak adil sebab menghukumnya, wal akhir ia sadar, ia sama sekali tidak berhak mengukur kehendak Tuhan dengan pemahamannya sendiri. Sangat penting bagi orang beriman untuk mengagungkan Tuhan dan menerima apa pun takdir-Nya. Ketika memahami kehendak Tuhan, barangkali pertaubatan Ayub adalah sikap final yang semestinya diambil oleh orang beriman.
Seorang pemikir Muktazilah tersohor, al-Qadli Abd al-Jabbar mengatakan, “Pandangan Tuhan terhadap hamba-Nya, dalam urusan agama dan ibadah, adalah lebih baik daripada pandangan hamba mengenai dirinya sendiri.” Sebagaimana kisah Ayub, orang tak sepantasnya merasa begitu penting di hadapan Tuhan hanya karena ketaatan yang ia tunjukkan kepada-Nya. Tetapi tidak keliru juga jika orang beriman memiliki harapan lebih besar selamat di dunia karena kesalehan mereka. Pada akhirnya, semua harus menerima apapun takdir Tuhan kepada makhluk-Nya.
Fainnaka taqdhi wa lā yuqdhā ‘alayk, tabarakta wa ta’ālayta, lak al-hamdu ‘alā mā qadhaita. “Sesunggunhnya Engkaulah yang memberikan keputusan, bukan yang menerima keputusan. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, wahai Tuhan kami. Maka bagi Engkau segala puji atas segala yang Engkau tetapkan.” [MZ]