Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Tradisi Beragama dalam Peradaban Planetari

3 min read

Peradaban Planetari (Planetary Civilization)  merupakan gejala peradaban yang menjadikan manusia saling terkoneksi dan terintegrasi antara satu sama lain. Kemunculan peradaban ini, tepatnya dimulai sejak era globalisasi. Gejala baru ini telah banyak dikupas oleh para sarjana yang menekuni studi masa depan (future studies).

Dalam banyak hal, peradaban ini berusaha untuk mengedepankan teknologi dalam hal apapun. Bahkan disinyalir, kekuatan teknolologi akan memosisikan manusia sebagai tuhan dan sedang diusahakan untuk hidup abadi. Berbagai penemuan ilmiah kerap ingin membuktikan bahwa bagaimana teknologi tuhan dapat diterapkan oleh manusia di bumi ini.

Aspek teologis yang dibidik oleh peradaban planetari ini juga seolah-olah mulai diamini, sejak kemunculan karya-karya Yuval Noah Harari. Dalam karya terbaru, Harari (2018), secara khusus membahas tentang posisi agama dalam abad ke-21 M. Yuval mengatakan bahwa agama tradisional tidak mampu memberikan daya tawar sebagai problem solver untuk menghadap berbagai masalah global.

Di sini disebutkan bahwa, agama tidak mampu menghadapi persoalan ancaman perang nuklir, lingkungan, dan pengaruh teknologi. Karena itu, muncul agama baru yang dikenal sebagai techno-religion, di mana manusia akan menyembah dataism.

Kemunculan agama baru ini memang tidak ada nabi dan kitab suci, melainkan hanya melalui kekuatan teknologi. Dengan kata lain, teknologi telah mereproduksi cara baru manusia sadar atas dirinya sendiri. Dalam buku Masa Depan Dunia: Manusia dalam Peradaban Planetari (2019), saya telah sajikan mengenai dampak teknologi dari alam pikiran ke alam kesadaran manusia.

Jika benar teknologi digital, misalnya, sudah mampu merambah alam kesadaran manusia, maka manusia telah mengalami proses perubahan menuju trans-humanism. Dengan kata lain, fenomena manusia sebagai robot akan membuat suatu lanskap baru tentang makna kemanusiaan yang sudah terdefinsi ulang secara sistematis.

Baca Juga  Dari Samurai Musashi, Kita Belajar Mengenal Diri

Agama pada awalnya berusaha untuk mengubah kesadaran manusia yang diisi melalui pesan kenabian (prophetic messages) dan berita langit (divinity news), telah diganti melalui cara baru yakni algoritma dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Orang mengkonsumsi berita sesuai dengan kebiasaannya dalam dunia maya. Orang memercayai sesuatu sesuai dengan rekayasa pikiran yang terbentuk dari data dan informasi yang dia kunyah sehari-hari. Karena itu, reproduksi kesadaran spiritual pun tidak dapat dikesampingkan untuk menikmati bagaimana manusia memandang dirinya sendiri dalam dunia maya, berdasarkan algoritma dan Artificial Intelligence.

Disadari atau tidak, mereka yang menjadi influencer di dunia maya yang berdasarkan jumlah followers (pengikut), akan menjadi penyampai misi-misi teologis bagi generasi baru dalam memandang dunia spiritual. Orang yang berpengaruh bukan karena kualitas dan otoritas ilmu pengetahuan, tetapi dilihat dari berapa jumlah pengikut dalam media sosial.

Mereka lantas menjadi kiblat pemikiran yang merubah perilaku dan karakter seseorang di dalam beragama dalam Peradaban Planetari. Perubahan ini tentu saja bukan dipicu untuk mencapai kepuasan dalam dunia spiritual, melainkan untuk kepuasan secara virtual.

Tentu perubahan tatacara beragama ini bukan lagi seperti era tradisional, yang menyandarkan diri pada seseorang yang memiliki otoritas agama, melainkan pada sosok yang memiliki pengaruh di dunia maya.  Otoritas para influencer yang mayoritas adalah genetasi milenial ini berbasikan pada jumlah pengikut mereka di berbagai platform media sosial.

Dalam konteks ini, para pemegang otoritas yang memiliki kekuatan ilmu agama pun kemudian beralih ke media sosial untuk membenamkan berbagai pemahaman mereka terhadap agama. Karena itu, distribusi pengetahuan agama akhirnya pun bukan melakukan geneologi pemikiran, melainkan berdasarkan pada sistem algoritma di dunia digital.

Baca Juga  Kelompok Muda Rentan Terpapar Paham Radikalisme, Beginilah Cara Mencegahnya!

Dengan kata lain, anda akan memberikan pengaruh pada audiens anda, sangat ditentukan oleh kekuatan jumlah pengikut, share, dan like yang didapatkan ketika anda memublikasikan isi pengetahuan keagamaan anda di dunia maya. Kondisi ini memberikan kesan bahwa, isi pesan keagamaan harus menyesuaikan dengan cara berpikir generasi milenial saat ini, bukan sebaliknya.

Akibatnya, pengetahuan agama yang berbasiskan pada algoritma ini membuat beragama itu sangat ditentukan dengan kompetisi data yang beredar di alam maya. Oleh sebab itu, beragama sangat disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan seorang individu.

Maksudnya, tren beragama di era planetari ini menyebabkan seseorang menjadi saleh, bukan melalui proses sebagaimana biasanya. Dalam bahasa sederhana, kalau saya ingin menjadi alim dalam beragama, saya akan mencari guru dan berbakti kepada sang guru, sebagai guru spiritual dan intelektual saya.

Namun, guru yang muncul saat ini telah disaring berdasarkan pada key word yang di sana ada rasa ingin tahu.  Inilah yang dikenal dengan produksi pengetahuan keagamaan yang berbasiskan daring (internet religious knowledge base).

Dampak yang paling krusial adalah sekarang orang beragama untuk emosi dan ideologi semata. Apa yang dia ketahui yang berlandaskan pada sistem kata kunci (key word), yang sering menggiring pada sistem pengetahuan kaca mata kuda. Seseorang tidak lagi tertarik untuk memahami pengetahuan agama secara terbuka dan inklusif. Pola ini tentu saja berakibat pada emosi keagamaan, di mana sikap tasamuh semakin jauh dari harapan.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tren beragama dalam era peradaban planetari, disadari atau tidak, akan menjauhkan dari produksi manusia kembali pada hakikat keagamaan itu sendiri. Sebab, bentuk pengetahuan yang sudah mendapatkan sentuhan AI (Artificial Intelligence) dan algoritma, pada giliranya menjadi penyaring informasi dan distribusi ilmu pengetahuan yang dirujuk pada kebiasaan manusia itu sendiri dalam berinternet ria di alam maya.

Baca Juga  Membaca Teori Dramaturgi mengenai Fakultas Populer versus Fakultas Islami di UINSA

Sangat boleh jadi, apa yang diprediksi oleh Yuval dan sebagai futurolog lainnya, akan menjadi kenyataan dalam beberapa tahun ke depan. Dapat dipastikan juga bahwa model keagamaan dalam era ini akan membentuk sekat-sekat saling menghargai antara satu sama lain.

Sebab, beragama telah dikendalikan melalui kata kunci. Berbeda pendapat dimaknai sebagai upaya untuk mendukung atau tidak pada satu keyakinan. Oleh sebab itu, tren membaca informasi keagamaan yang melidik pada ujung informasi dan rekam jejak sang orator keagamaan, semakin meningkatkan tensi sosial dalam kehidupan beragama itu sendiri.

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *