Hari masih pagi. Kaleng rezeki belum jua terisi. Pengemis renta itu menekan perut, mengurangi perih. Di simpulan stagen masih tersisa beberapa receh, setali dua tali. Tentu tak cukup untuk sekadar sebungkus nasi.
Terdengar klakson berulang. Sedan hitam mewah mengkilap meminta jalan. Dari jendela mobil melongok seorang lelaki tua tambun berpipi bantal, mengawinkan alis. Berteriak, memanggil petugas keamanan kampung berseragam yang tengah asyik menghirup nikmat kopi paginya, yang seketika kaget tersentak, tergopoh mendekat.
Seperti kemarin, petugas itu kena semprot si Tuan Besar―begitu orang-orang kampung menyebut. Lalu, seperti kemarin pula, sang petugas sigap menyuruh perempuan pengemis uzur itu menyingkir dari pintu gang yang sebenarnya masih cukup lebar untuk lewat mobil mewah Tuan Besar bila pelan-pelan. Dan, seperti kemarin, perempuan itu pun perlahan bangkit dengan gerutu dan hati masygul. Ini tak adil, rutuknya. Sisi muka gang itu tempatnya berbetah menanti rezeki selama ini. Ia lebih dulu belasan tahun setia di sana daripada si Tuan Besar gendut dengan mobilnya yang lewat tiap pagi.
Klakson berulang meninggi berbaur bentak kasar si centeng kampung. Pengemis tua bergegas memberi lewat. Orang-orang di warung sisi mulut gang dan para abang becak berdiri berjajar rapi-jali mengangguk dengan senyum hormat. Seperti penumpangnya, mobil gagah itu tak acuh berlalu, menyisakan debu mengepul; kecuali si sopir yang membalas angguk dengan senyum rikuh.
Nenek renta itu menghela napas. Dipandangnya mobil itu dengan ujung mata remangnya. Ah, andai Tuhan mati, keluhnya tiba-tiba. Ya, andai Tuhan mati. Andai saja. Maka ia akan melempar sedan pongah itu dengan kotoran kuda atau manusia atau apa saja, setiap pagi. Tapi ia tak berani. Bukan karena si Tuan berperut besar, tapi lantaran Tuhan yang melarang melakukan itu tak mati-mati. Tuhan menyuruhnya untuk selalu sabar, menahan diri. Nabi-Nya juga begitu, menganjurkannya bersabar dan membalas dengan kebaikan sempurna sekalipun kening harus berdarah dan gigi tanggal ditimpuki.
Batinnya menggeliat, gerah. Ada denging hebat menusuk-nusuk gendang telinga.
Pagi mulai menguap. Perempuan ringkih itu menyeka keringat.
Padahal orang-orang akan bisa bebas memilih. Hmm. Itu kalau saja Tuhan mati! (Senyumnya menyungging). Bebas berbuat baik atau buruk; Tuhan memang telah memberi kebebasan untuk itu, tapi apa artinya bila terbungkus dalam kemasan puji dan ancaman. Kebebasan macam apa bila orang berbuat baik lantaran ketakutan akan siksa-siksa seraya mengharap puja-puji dan berbuat buruk oleh sebab berani menantang ancaman. Orang jadi tak ikhlas berbuat, sungutnya.
Lalu, apa perlunya Tuhan masih dan terus bertahan hidup? (Gerahamnya mengatup). Lebih-lebih kini, ketika baik dan buruk membaur tak beda. Apa untungnya Ia tak kunjung mati, sementara orang-orang sudah banyak tak mempedulikan-Nya. Bila Ia mati, ia akan bebas melakukan apa saja. Bebas melempar siapa-siapa yang mengusir-menyakitinya dengan kotoran kuda atau manusia atau apa saja. (Menyeringai).
Hmm. Orang-orang akan bebas mencinta atau membenci, tanpa pamrih. Itu umpama Tuhan mati. Tapi, sayangnya, Tuhan tak juga mati, keluhnya sungguh-sungguh. Pada gilirannya orang-orang pun kian tak kuasa memilah cinta dan benci. (Tubuhnya terguncang batuk beruntun). Bukanlah cinta bila muncul dari ketertekanan rasa. Bukanlah benci bila berangkat dari ketakutan terpenggalnya asa. Orang harus membenci atau mencinta segala yang kata Tuhan harus dibenci atau dicinta. (Tangan si nenek menegang. Tangan kanannya menoreh tanah, kuat-kuat, lurus membekas).
Mereka sudah sedemikian jauh berendam dalam cinta dan benci yang carut-marut dan kehilangan makna, Tuhan. Anehnya, Kau bukan membantu mengurainya, justru masih saja selalu sibuk pesiar ke mana-mana. Menyuruh orang esok pagi harus pakai baju warna ini dan jangan yang itu. Menyelinap jauh hingga ke bilik-bilik pengantin baru, bertitah agar tak bikin anak lebih dari sekian!
Seorang pejalan melempar receh. 100. Tepat ke kaleng.
Orang-orang menjadi tak pernah dewasa, gumamnya; sorot pasang mata penatnya kosong menatap kaleng. Ada-Nya membuat orang-orang begitu cengeng. Rapuh, mudah putus asa. Mereka merengek, menghiba, meminta Tuhan memenuhi kebutuhan. Padahal mereka belumlah pantas menerima pemenuhan dan kemudahan. Celakanya, tidak siang tidak malam mereka terus mendesak, meneror Tuhan. Dan dengan tanpa malu mereka sebut itu sebagai doa. Padahal tak lebih sebenarnya mereka tengah memperkuda Tuhan!
Ah, Gusti… mereka jadi pantang usaha sebelum jelas jaminan keberhasilannya. Mereka bersaing bukan lagi mati-matian merebut peluang, tapi berlomba-lomba menjilat-Mu dan mencari mukanya yang hilang di hadapan-Mu! (Wajahnya menengadah, meraba langit. Kedip lemah matanya memanggil-manggil).
Tiap hari mereka minta petunjuk. Merengek kemudahan. Memohon bantuan, menghiba perlindungan. Dan Engkau selalu mengabulkannya dengan pilih kasih yang sempurna. Seolah beberapa adalah anak sementara yang lain adalah tetangga jauh tak dikenal. Dan kayalah orang-orang. Dan miskinlah yang lain-lain. Duh, Tuhan mengapa juga Kau tak mati-mati… (Kesepuluh jemari kisutnya menangkup. Wajahnya terbenam dalam sedu tertahan).
Ada 100 tersulur lagi. Tepat.
Sabarlah, kata teman sejawat kapan hari. Sabar? Ah. (Bibirnya melengkung. Telungkup). Jangan ajari aku soal kesabaran, gumamnya berubah dengus. Berpuluh tahun, bahkan hampir seluruh hidupnya, ia lewatkan berteman kemiskinan, bukanlah masa yang sebentar untuk sekedar bersabar. Hingga kemudian tenggang masa selama itu ia anggap cukup sebagai alasan untuk menggugat. Ia merasa sudah tiba waktunya untuk memberontak. Tak!
Dadanya menggelembung. Nanar matanya menjelma belati. Menebas-nebas.
Dihelanya nafas, kasar.
Hidup memang perlu sabar. Perlu menunggu. Itu benar. Tapi hidup tak hanya butuh itu. Juga makan. Butuh rumah dan pakaian. (Senyumnya mengembang ganjil). Dan itu semua tak bisa dipenuhi semata dengan jejalan janji-janji. (Kemudian kecut). Ah, betapa setiap detik dari hidupnya sejauh ini dihampiri janji-janji. Berlumur harapan. Selalu. (Meludah).
Dan kesabaran itu memang lalu mencapai puncak. Menggelegak. Menghentikan tangis. Mendidihkan darah. Meledak, tatkala Tuhan ia rasa telah nyata-nyata ingkar janji. (Matanya berkilat). Baginya, Tuhan telah melepas diri dari janji yang Ia ucapkan sendiri: akan melaknat orang kaya yang sombong (ia ingat si Tuan Besar gendut), bakal membinasakan penguasa lalim (ia ingat mantri pasar yang kemarin membentaknya pergi, juga petugas kampung yang hampir tiap pagi menyodokkan sepatu ke pantatnya), akan mewariskan bumi ini pada orang-orang miskin (ia menarik nafas), yang dimiskinkan (ia ingat tetangganya), yang dibodohi (ia terbayang mendiang suaminya), dianiaya (ia rindu anak semata wayang yang diantar polisi bengap membiru mati), dilalimi (ia ingat temannya), yang diusir (ia ingat banyak orang), dilupakan (ia lupa), yang terluka…
Itulah mengapa, Tuhan harus mati. (Tubuhnya menegak). Mati! Pokoknya mati! (Ia menjerit tiba-tiba. Melengking keras. Tak jelas apa. Jeritnya membentur aspal. Orang-orang tetap saja berlalu, tak peduli. Juga mobil-mobil, sepeda, becak…). Siapa pun yang ingkar janji harus mati. Harus. Tak terkecuali Tuhan. Pokoknya!
Lagi, ada tepat meloncat masuk. 100. Dua keping.
Istighfarlah, kata teman lain, miris, di hari lain. Istighfar? Oh, oh, oh. Mengapa harus minta ampun ia? Sama sekali tak ada yang salah. Ia merasa tidak sedang mengkurangajari Tuhan. Ia hanya protes. Menggugat, setelah sekian lama Tuhan menyumbat telinga-Nya terhadap beribu tanya-kesah yang ia jeritkan setiap kali lapar terasa atau kala kaki petugas mengusir menendangi pantat. Masa segini aja Tuhan marah, gumamnya. Bila protes dan kecaman ini membuat-Nya berang, Ia sama sekali tak pantas menjadi Tuhan. Ia bukan lagi Tuhan, bila lantaran ini mulutnya lantas ditampar. Apa bedanya dengan si hitam brewok mantri pasar yang tempo hari meludahi wajah letihnya di muka pasar…
Riuh di kejauhan. Kerumunan orang mendekat menuju mulut gang. Kerumunan perlahan membanyak. Memenuhi jalan. Seorang lelaki besar berperut tambun dalam gotongan. Orang-orang mendongak. Terhenyak. Mobil-mobil berhenti. Becak, sepeda motor, pedati juga. Warung dan toko-toko sontak-kompak tutup. Orang-orang berjejal. Tanpa komando membentuk kerumunan besar. Tambah membesar. Semakin riuh. Ia menyisih.
Seorang lelaki muda berteriak-teriak memintakan jalan masuk gang. Suaranya tertindih hiruk. Orang-orang tambah banyak. Berjubal-jubal. Menyemut. Tiang bendera di mulut gang gemeretak patah. Lelaki muda itu kembali berteriak-teriak. Portal pembatas gang rubuh. Teriakannya lumat. Jubalan berdesak-desak tak terkendali. Warung tua di samping muka gang berderak ambruk. Kelelahan, si lelaki muda menepi.
“Ada apa, Nak?”
“Kecelakaan, Nek.”
“Heh?”
“Kecelakaan!”
“Siapa?”
“Tuan,” napas lelaki muda itu memburu. Tersengal.
“Heh? Siapa?!”
“Tuan!” Darah si nenek tersirap.
“Mati?”
“Mati!”
Orang-orang kian menggelombang. Berjejal. Berkeringat. Gemuruh. Parau. Lelaki muda itu meloncat ke atas tembok gapura tua. Dari sana kembali dicobanya berteriak-teriak meminta orang-orang menyisih memberi jalan. Lelaki tua tambun dalam gotongan itu terayun-ayun di antara limpah-ruah orang-orang. Timbul-tenggelam. Darah yang bersimbah di sekujur tubuhnya menyiprat ke mana-mana. Rambut peraknya kuyup berubah merah. Merah darah.
“Alhamdulillah, Tuhan telah mati….” bibir kering pengemis renta itu menggumam lirih. Mengusap wajah lusuhnya, damai. Tentram. Laparnya mendadak raib. Di kejauhan, azan Zuhur lamat terdengar renyah.
Duyunan orang semakin membeludak. Sesak. Ia memilih pergi, menjauh. Langkahnya ringan.
Di atas, langit cerah. Tak ada awan.
Mengenang bulan-bulan menjelang Reformasi Mei
Surabaya-Mataram-Banyuwangi, 2009-2020