Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Anjing yang Najis Pengantar ke Surga

2 min read

Di awal Ramadan 1441 H, binatang anjing menjadi kabar heboh di media massa. Ia menyulut emosi sebagian orang lantaran nama ‘anjing’ muncul dalam nasi bungkus takjil yang biasa dibagikan untuk berbuka. Pada bungkusnya terdapat stempel bergambar Anjing dan bertuliskan ‘Nasi Anjing’. Pada beberapa waktu yang lalu juga terjadi kehebohan ketika seorang ibu tua masuk ke masjid dengan membawa anjing. Kontan jamaah masjid panik dan memarahi sang ibu yang nampak bingung dan tidak menyadari apa yang dia lakukan.

Binatang anjing bagi umat Islam memang bermasalah. Biarpun di sana terdapat narasi positif tentangnya, pandangan fikih yang mengharamkannya jauh lebih kuat mengakar. Di antara narasi positif tentang anjing adalah kisah seorang pelacur yang karena hati lembutnya terhadap anjing, akhirnya pahala yang didapat darinya mampu menjadikan timbangan baiknya lebih berat dari dosanya dan dia pun masuk surga. Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan bahwa Suatu ketika terdapat anjing yang berjalan terseok-seok di atas lututnya yang hampir mati karena kehausan. Hingga seorang pelacur dari kalangan Bani Israel melihatnya dan melepaskan sepatunya untuk menyiduk air di sumur dan meminumkannya ke mulut anjing. Gegara itu, sang pelacur diampuni oleh Allah.

Dalam kisah lain disebutkan tentang anjing penjaga pemuda penghuni gua atau Ashāb al-Kahf. Dalam Q.S. al-Kahf [18]: 9 disebutkan, bahwa mereka dan Raqim adalah salah satu dari tanda kebesaran Allah. Kata Raqim banyak yang menafsirkannya sebagai nama dari anjing yang ikut bersama mereka tatkala mereka melarikan diri demi mempertahankan keimanan dari kejaran raja yang lalim. Atas seizin Allah, mereka tertidur di gua itu selama 309 tahun dan dibangunkan kembali pada era penguasa yang jauh berbeda.

Baca Juga  Ahli Ilmu Versus Ahli Ibadah tapi Bodoh

Dua kisah ini memberikan narasi yang positif. Anjing dalam kisah pertama sebagai penyelamat sang pelacur dari api neraka sementara yang kedua sebagai teman pendamping dan penjaga pemuda beriman dalam pelarian. Kedua kisah itu menunjukan bahwa anjing tidak selalu tampil sebagai sesuatu yang buruk karena najis.

Anjing sebagai media yang halal untuk berburu juga muncul dalam Q.S. al-Māidah [5]: 4: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya”.

Binatang yang terlatih untuk berburu itu adalah anjing. Dalam hadis Bukhari-Muslim disebutkan bahwa “Barang siapa memelihara anjing selain anjing penjaga ternak, untuk berburu dan pertanian, maka setiap hari akan berkurang pahalanya satu qirāt”. Kedua dalil itu menunjukkan halalnya pemanfaatan anjing untuk kepentingan tertentu. Melatihnya dan mendidiknya untuk terampil berburu dan untuk mengejar target dan mengendus objek terlarang oleh polisi dan tentara adalah boleh.

Meski hukum pemanfaatannya adalah halal, namun hukum anjing sendiri (zatnya) menurut mazhab Syafii dan Hanbali adalah najis. Apalagi pada air liurnya yang mengharuskan siapa yang menyentuhnya untuk mencucinya tujuh kali salah satunya dengan pasir. Sementara mazhab Hanafi berpandangan bahwa diri anjing tidaklah najis yang najis adalah air liurnya. Mazhab Maliki sebaliknya berpendapat bahwa anjing sejatinya adalah halal dan tidak najis termasuk liurnya. Mālikīyah berpegang pada ayat Alquran yang menghalalkan memakan hasil buruan anjing padahal gigitannya berliur.

Baca Juga  M. Said Ramadhan al-Būtī: Sejenak Bersama Rasulullah

Bagi Mālikīyah hadis tentang najisnya air liur anjing meski sahih, ia tidak bisa mengalahkan dalil Alquran yang posisinya sebagai sumber hukum lebih tinggi. Sedangkan memakan daging anjing adalah haram menurut keempat mazhab karena ia termasuk binatang buas yang bertaring. Ada pandangan dari salah satu ulama Mālikīyah yang menghalalkannya, tapi itu tertolak dengan sendirinya karena bertentangan dengan pendapat ulama Mālikīyah sendiri apalagi mazhab yang lain.

Dengan pandangan fikih seperti ini setidaknya bisa dimengerti tingkat sensitivitas umat Islam terhadap anjing dan sejauh mana penolakan terhadapnya. Penganut mazhab Syafii seperti Indonesia dan Asia Tenggara, umumnya, adalah yang paling anti-anjing. Karenanya, di wilayah tersebut hampir tidak nampak anjing berkeliaran. Hal yang sama nampak di negara teluk seperti Saudi Arabia penganut mazhab Hanbali yang jarang nampak anjing di sekitar perkampungan mereka.

Hal ini berbeda dengan apa yang nampak di Mesir penganut mazhab Hanafi yang banyak ditemukan anjing tanpa pemilik berkeliaran. Hal ini lantaran bahwa mereka tidak sekeras penganut Syafii dalam memandang anjing. Bagi mereka memegang anjing tidak apa. Yang apa adalah terkena liurnya. Sementara di Maroko yang bermazhab Maliki, karena anjing dianggap halal maka sebagian memeliharanya, kata mahasiswa Indonesia di sana. Maroko bahkan memiliki peranakan anjing Slaughi atau Saluki yang terkenal dan menarik banyak pecinta anjing di dunia untuk membelinya dengan harga hingga USD 1.500.

Sikap terhadap anjing dari yang keras hingga yang lunak yang dipengaruhi oleh pandangan fikih telah menjadi bagian dari budaya Muslim sedunia. Secara umum penolakan atas anjing telah menjadi budaya dan menjadikannya jauh dari kehidupan rumah tangga umat Islam Indonesia dan dunia. Berbeda dengan masyarakat Eropa dan Amerika yang menjadikan anjing sebagai bagian dari keluarga. Bahkan kecintaan terhadap anjing seolah melebihi terhadap anak sendiri. Suatu hal yang barangkali menjadi hikmah di balik pelarangan keberadaan anjing dalam rumah tangga umat Islam. Yaitu agar terhindar dari kecintaan yang berlebihan terhadap hewan hingga melebihi kecintaan terhadap anak sendiri dan sesama manusia sebagai khalīfah alard. [MZ]

Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *