Saya bukan konsultan pernikahan, tapi begitulah, karena di website yang kami kelola www.pesantrenvirtual.com menerima konsultasi. Ada saja direct message (DM) yang konsultasi masuk di Twitter saya dan paling banyak seputar permasalahan rumah tangga.
Beragam dinamikanya, mulai permasalahan perselingkuhan, ketakcocokan yang tanpa kejelasan sebabnya, meminta dukungan untuk nikah siri, nikah tanpa wali, entah karena suatu hal kecelakaan atau sudah terlanjur cinta buta, ketakcocokan karena faktor keluarga pihak laki-laki, ketegangan dengan ibu mertua, suami yang ingin istrinya turut pindah karena tidak kuasa hidup sendiri dan istri asyik dengan dunianya, dan masih banyak lagi.
Menurut saya, kehidupan pernikahan itu adalah rantai panjang dari komitmen yang dibangun oleh pasangan. Tentu saja ada kondisi pasang surutnya sebuah relasi pernikahan. Terkadang kebanyakan pasangan berpikir sempit bahwa menikah itu hanya tentang aku dan dia, dan berpikir bahwa ‘aku’ adalah satu-satunya yang harus diistimewakan, tanpa peduli bahwa bisa jadi pasangan hidup kita adalah tulang punggung bagi keluarganya, atau ragam konsekuensi lain yang bakal menyertai komitmen pernikahan itu.
Sebetulnya pernikahan itu adalah sebentuk penyatuan dua keluarga besar dalam dinamika keragaman anggota keluarga yang ada di dalamnya. Ketika menyadari ini, sesungguhnya akan dengan mudah bagi pasangan suami istri untuk membagi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari bertemunya dua keluarga besar ini.
Pada perjalanan pernikahan yang saya lalui, ada masa-masa seperti naik Roller Coaster, terkadang dengan cepat menanjak sampai puncak dan tiba-tiba menukik turun dengan tiba-tiba.
Setiap pasangan suami-istri memiliki angan-angan dan mimpi besar yang ingin dicapai dalam rumah tangga yang dibangunnya. Angan-angan tersebut pada praktiknya selalu berubah seiring dengan dinamika perjalanan pernikahan dan juga konteks sosial yang dihadapi oleh pasangan rumah tangga. Jika mungkin pada masa-masa awal pernikahan, harapan saya cukup sederhana, adalah bagaimana saya tetap bisa melanjutkan studi saya sambil berumah tangga.
Tentu jika itu di dalam negeri akan mudah, karena kita dikelilingi dengan keluarga besar. Setelah anak pertama lahir kebanyakan pasangan muda akan menitipkan pengasuhan anak ke neneknya begitu saja, atau nenek yang tidak tega melihat kerepotan anaknya sehingga dengan sukarela akan memberikan tawaran eksklusif untuk mengasuh dan merawat cucunya. Yah.. semua itu tidak ada yang salah. Karena semua itu pun perlu negosiasi dan penyesuaian demi penyesuaian.
Bagi saya kuliah di luar negeri, berkeluarga, mengasuh anak-anak itu perlu shift pembagian tugas yang sangat ketat antara saya dan suami. Ada masa ketika itu pasca-melahirkan anak kami yang pertama, suami lah yang setiap pagi memasakkan saya sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor, menyiapkan jamu bersalin, obat dan vitamin pasca-persalinan, ketika sore sepulang kantor berkutat dengan popok bayi. Yaa.. kala itu masih idealis rajin mencuci popok, karena baru satu yang diasuh, anak kedua tentu semakin pandai, karena begitulah cara Tuhan mengajarkan hamba-Nya tentang kehidupan.
Ada saat di mana saya menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang kegiatan berputar pada sumur, dapur dan kasur, menunggu suami yang pagi ke kantor hingga sore, bahkan pernah lepas ngantor masih ambil kuliah malam, praktis saya menghadapi segala kerempongan bersama balita sendirian.
Kadang juga mengalami offside, merasa pesimis dengan rutinitas domestik yang seperti tanpa ending sementara di sisi lain gairah untuk bisa bergabung dengan aktivitas teman-teman seangkatan juga menggelitik. Sampai pada suatu masa ketika teknologi internet mengenalkan saya pada dunia blogging, simple coding untuk mengobrak-abrik template, artikel marketing writer dengan imbalan kisaran 9-15 USD untuk 3 paragraf artikel marketing yang saya tuliskan dan segala hal yang bisa saya lakukan untuk sekadar mencari kegiatan lain di luar rutinitas sebagai ibu muda. Belasan blog saya handle, yang kesemuanya itu kadang menjadi exit route dari rutinitas monoton.
Lama tinggal di suatu negara–Pakistan, red–yang kadang intensitas keamanannya sangat fluktuatif dan mobilitas orang asing -perempuan terutama- tidak sebebas sebagaimana di tanah air, berdamai dengan keadaan dengan mengisi aktivitas yang tidak perlu banyak mobile itu menjadi pilihan saya pada kondisi itu. Berkahnya ada pada kemewahan jaringan internet fiber optik dengan kecepatan tinggi yang kala itu sudah dapat kami nikmati dengan nyaman, di kala teman-teman di tanah air masih pakai dial-up.
Ada satu masa di mana intensitas keamanan sedang tinggi, terjadi pengeboman salah satu kedutaan, yang berimbas pada berlapisnya pengamanan di titik-titik krusial, pernah terjadi Operasi Militer Lal Masjid hingga kami terpaksa mengungsi dari rumah yang kami diami, dentuman meriam, suara tembakan, tentara dimana-mana, bersamaan dengan pemberlakuan Civilian Curfew (Pembatasan keluar rumah bagi warga sipil, hanya jam-jam tertentu boleh keluar untuk belanja kebutuhan dan berlaku tembak di tempat bagi pelanggar).
Pada satu masa pernah pula mengalami teror bom sekolah, sehingga anak-anak kami yang baru bergembira kembali sekolah setelah berakhirnya libur panjang musim panas, kambali libur dan dirumahkan kembali untuk masa yang tidak bisa diprediksi. Kemudian setelah kembali ke sekolah dihadapkan pada kenyataan pengamanan maksimal sekolah dengan standar keamanan yang terkesan horor bagi anak-anak. Bagaimana tidak horor, sekolah dikelilingi barikade, ada tentara di balik bunker pasir dan petugas keamanan sekolah yang dibekali dengan senjata api.
Pada masanya saya sempat diberi tawaran dari pihak fakultas untuk mengampu suatu mata kuliah tentang States and Societies in Southeast Asia untuk mahasiswa strata satu sospol dan hubungan internasional, suatu kondisi memaksa kami memutuskan untuk pindah negara dan meletakkan tawaran kesempatan yang bisa saja saya sanggupi.
Dalam proses ini sempat tiga bulan lamanya single fighter bersama anak-anak untuk memproses segala persiapan administratif proses perpindahan ke Uzbekistan, dari surat pindah sekolah anak-anak, menutup rekening-rekening tagihan, urus visa, sampai urusan penjualan kendaraan dan pelunasan tagihan-tagihan utility bill, pelunasan sewa rumah dan lainnya, sementara si bapak di sana juga mencari-cari kontrakan apartemen untuk bakal kami tinggali.
Pindah ke negara baru dengan bahasa yang sama sekali tidak saya pahami (Rusia), termasuk kendaraan juga setir kiri, membangun normalitas kehidupan baru, yang artinya kembali bernegosiasi dan menyesuaikan dengan keadaan. Anak-anak yang sekolah Full-day, bahasa masih menjadi kendala utama komunikasi, (biasalah ibu-ibu itu bisa stres akut kalau belanja tidak bisa menawar) menjadikan saya memilih untuk belajar Bahasa Rusia menjadi prioritas utama. Perlu diketahui, sekolah-sekolah umum di Uzbekistan rata-rata full-day school dan disubsidi pemerintah, sehingga ini memberi kesempatan untuk perempuan bisa berkarya atau bekerja sementara anak-anak mereka aman di sekolah.
Normalitas baru tinggal di negara baru itu sangat bertolak belakang dengan aktivitas sebelumnya yang masih akrab dengan dunia kampus. Hampir tiap hari di apartemen sendirian dari pagi hingga sore, rumah baru akan kembali riuh kala anak-anak pulang dari sekolah.
Berkeliling dari pasar ke pasar, dari Metro ke Metro (kereta bawah tanah), jika wiken berkeliling dari playland satu ke lainnya. Jika ada kesempatan libur kantor agak panjang, keluar kota konvoi bersama teman-teman Indonesia di Tashkent. Saya beruntung berkesempatan sampai ke Bukhara berziarah di makam Imam Naqshabandi dan Samarkand di sini dimakamkan Imam Bukhari. Samarkand ini dikenal dengan sebutan The Gem of the East, saya pernah menuliskan catatan perjalanan ini. Hampir semua tempat yang pernah saya singgahi saya sempatkan untuk membuat catatan perjalanan. Dengan harapan catatan-catatan ini kelak akan dibaca oleh anak-anak saya sebagai bagian dari cerita bahwa mereka pernah kami ajak berkunjung ke sana.
Dari catatan-catatan perjalanan ini kemudian saya mulai beranikan diri untuk mulai menulis opini-opini dan mulai mengirimkan ke media. Karena bagi saya, mungkin dengan cara inilah saya bisa mulai membangun relasi sosial jarak jauh. Tulisan-tulisan pendek opini saya kirimkan dan entah berapa kali ditolak sampai untuk sekian kalinya, salah satu catatan opini saya akhirnya dipublikasikan di The Jakarta Post. Setidaknya ini dapat saya jadikan aktivitas sampingan untuk mengisi waktu luang, meskipun tidak dapat dipungkiri perasaan tidak berguna, perasaan tidak bisa melakukan apa-apa menyerang ego saya sebagai sarjana yang dirumah saja.
Sampai pada masanya, kami memutuskan untuk LDR dengan berbagai pertimbangan dan sebagai exit point untuk kami memulai menjadi warga negara Indonesia pada umumnya. Hampir 4 tahun LDR, itu sebabnya akte anak ketiga kami, akte kelahiran Indonesia sementara kedua kakaknya kelahiran Islamabad. Yang versi LDR sepertinya mesti ada catatan edisi khusus yang akan ditulis di kesempatan berikutnya. Insyaallah.
Demikianlah, pada kenyataannya kita seringkali lebih sulit untuk mampu berdamai dengan ego kita sendiri demi sebuah komitmen bersama berikut kemungkinan konsekuensi yang akan menyertainya. Kekhawatiran akan lewatnya usia produktif, lewatnya kesempatan dan usia tetap saja bertambahnya digit usia tanpa bisa diatasi. Di sisi lain, tentu saja untuk keluarga kecil yang kami bangun bersama, dan juga komitmen untuk adik-adik kami bisa selesai kuliah, berikut risiko-risiko lewatnya kesempatan demi kesempatan yang mungkin bisa saja saya dapatkan dengan mudah.
Dalam fluktuasi berumah tangga, hal tersulit adalah bagaimana untuk menjaga tetap jatuh cinta kepada pasangan. Ada satu pepatah anonim yang pernah saya baca A great relationship is all about falling in love with same person over and over again. Bagaimana praktiknya? Sudah pasti penuh perjuangan, penuh drama dan negosiasi. Kadang jalannya menukik, melewati jalan berliku, salah arah dan haluan. Sampai komitmen bersama kembali mengingatkan kami untuk selalu belajar mencintai satu sama lain dalam kondisi yang kadang sulit untuk mengatakan I love you.
Ekspresi jatuh cinta pada setiap pasangan itu berbeda dalam mengungkapkannya. Terkadang hal seperti ini tidak terucap, saling sungkan untuk mengomunikasikan meskipun itu dalam bentuk gestur yang kadang justru berakibat membawa makna sangat ambigu.
Pada akhirnya, rumah tangga itu adalah proses negosiasi, saling menghargai dan berbagi kesempatan pada pasangan kita. Semoga catatan ini bermanfaat. [MZ]