Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah disahkan dan diberlakukan sejak 2022, namun kenapa jumlah kasus kekerasan seksual tidak kunjung menurun. Sebaliknya, jumlah kasus yang tercatat justru cenderung bertambah. Hal ini mungkin banyak menjadi pertanyaan khalayak umum karena dengan adanya UU TPKS, masyarakat justru berharap kasus kekerasan seksual menjadi berkurang.
Lantas, bagaimana kondisi ini bisa terjadi?
Sebelum membahas pertanyaan tersebut, kiranya kita perlu terlebih dahulu melihat fakta dilapangan terkait kenaikan jumlah kasus tindak kekerasan seksual yang terjadi.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) pada tahun 2022 tercatat telah terjadi 25.053 kasus kasus kekerasan seksual pada perempuan. Pada tahun berikutnya (2023), kasus yang menimpa perempuan naik menjadi 26.161 kasus atau mengalami kenaikan sebesar 4,4% dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2024, sementara ini jumlah kekerasan seksual perempuan sudah mencapai 19.163 kasus. Tentu jumlah ini terus bertambah kian hari.
Anis Hidayah, seorang Komisioner Komnas HAM mengatakan bahwa, penerbitan UU TPKS tidak membuat kasus kekerasan seksual hilang, tetapi meningkatkan kesadaran korban dan mendorong mereka lebih berani melapor. Hal itu pula lah yang menjadikan jumlah kasus terus meningkat karena masyarakat semakin sadar dan korban kini berani speak up, mengungkapkan, pengalaman mereka. Alhasil, banyak kasus yang terbuka ke publik.
Tujuan dari UU TPKS sendiri tidak hanya mencakup upaya-upaya tindak pidana kekerasan seksual, namun juga mencakup upaya bentuk pencegahan, penanganan, perlindungan, dan akses pemulihan korban kekerasan seksual.
Meskipun demikian, sejauh ini efektivitas UU TPKS terlihat belum optimal. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah karena belum adanya aturan pelaksanaan, kurangnya pemahaman aparat hukum, dan fasilitas penanganan korban belum efisien, serta tantangan dari budaya patriarki dan stigma negatif kepada korban oleh masyarakat.
Di sisi lain, dalam banyak kasus, aparat penegak hukum seringkali membebani korban dengan upaya pembuktian kasus yang justru membebani korban. Hal ini kemudian menjadikan para korban mendapatkan viktimisasi sekunder, atau bahkan mendapatkan pelecehan kembali oleh orang terdekat, keluarga, lingkungan, begitupun pihak berwenang di sekitarnya.
UU TPKS, Kabarmu Kini
Menurut Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengungkapkan bahwa ada 10 pasal UU TPKS yang harus didelegasikan dalam peraturan pelaksanaan dengan rincian 5 berbentuk Peraturan Pemerintah dan 5 berbentuk Peraturan Presiden. Namun, melalui Keppres No. 25 dan 26 Tahun 2022 maupun peraturan pelaksanaan UU 12/2022 faktanya 10 peraturan tersebut justru diringkas ke dalam menjadi 7 peraturan saja.
Dalam proses rancangan peraturan tersebut, terdapat ketentuan bahwa aturan teknis atau peraturan turunan harus disusun dalam waktu satu tahun. Namun hingga sekarang, setelah dua tahun berlalu, Pemerintah baru menyelesaikan satu peraturan, yaitu Peraturan Presiden tentang penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan TPKS. Tentu hal ini kemudian sangat berdampak pada penerapan UU TPKS yang masih jauh dari kata sempurna.
Dampak yang paling terlihat adalah kurang meratanya sosialisasi penerapan UU TPKS kepada para pemegang kebijakan, aparat, maupun masyarakat. Menurut Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU TPKS, sejauh ini banyak masyarakat yang belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sehingga program sosialisasi UU TPKS masih sangat dibutuhkan. Setidaknya, dengan adanya sosialisasi tersebut, masyarakat bisa memperoleh informasi terkait tata cara pelaporan serta akses layanan bagi korban.
Koordinasi antar lembaga seperti dinas terkait, penegak hukum, Kementerian Agama, rumah sakit, dan penyedia layanan masyarakat merupakan beberapa problem teknis yang hingga kini masih belum menjadi Pekerjaan Rumah bagi Pemerintah. Hal ini semakin menegaskan perlunya pedoman koordinasi untuk memastikan layanan yang lebih optimal, termasuk respons cepat, sarana pendampingan, rumah aman, pemanfaatan layanan LPSK, serta dukungan anggaran.
Pun demikian dengan fakta bahwa banyak Aparat Penegak Hukum masih belum memahami UU TPKS sebagai undang-undang lex specialis. Hal ini tercermin dari dari keraguannya dalam menerapkan UU TPKS sebagai dasar hukum utama dalam kasus kekerasan seksual. Akibatnya, pasal-pasal KUHP sering digunakan untuk menjerat pelaku, seperti pasal tentang perkosaan, pencabulan, perkosaan, dan penganiayaan.
Berdasarkan problem-problem teknis tersebut, penerapan UU TPKS secara maksimal masih harus menempuh jalan begitu panjang. Di sisi lain, perlu diketahui bersama bahwa isu tentang kekerasan terhadap perempuan bukan hanya menjadi masalah bagi perempuan semata, tetapi masalah bagi masyarakat secara umum. Paradigma demikian kiranya perlu dimiliki oleh setiap orang sehingga upaya dan komitmen pemberantasan kekerasan seksual dapat terwujud.
Tentunya, upaya penerapan UU TPKS secara maksimal merupakan sebuah perjuangan panjang yang memerlukan kolaborasi semua pihak agar perempuan di Indonesia dapat benar-benar bebas dari kekerasan seksual dan hidup dengan aman serta bermartabat.