Fahrul Razi Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram

Siti Manggopoh: Singa Betina dari Minang

2 min read

Awal mula munculnya tokoh-tokoh perempuan Minangkabau ditandai dengan perjuangan Siti Manggopoh pada awal abad ke 19 di Nagari Manggopoh (setingkat desa). Berbeda dari tokoh perempuan lain, Siti Manggopoh memilih jalan politik yang radikal dengan melawan secara langsung kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Perjuangan mempertahankan hak-hak tanah ulayat atau tanah adat sebagaimana yang marak sekarang sudah dilakukan Siti Manggopoh sejak sebelum kemerdekaan dulu. Posisinya sebagai perempuan sekaligus sebagai ibu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya memperjuangkan hak-hak rakyat yang telah dirampas oleh penjajah.

Siti Manggopoh memiliki nama asli Siti atau dikenal juga dengan Mande Siti. Manggopoh adalah nama daerah asalnya yang dinisbatkan kepadanya. Siti lahir pada 1 Mei 1880 di Nagari Manggopoh Kabupaten Agam yang saat itu masih berada dalam kekuasaan Hindia Belanda. Dia merupakan anak bungsu dan anak perempuan satu-satu di keluarganya. Dia memiliki lima saudara laki-laki. Siti kemudian menikah dengan Rasyid Bagindo Magek dan dikaruniai dua anak, yaitu Muhammad Yaman dan Dalima.

Siti tidak sempat mengenyam pendidikan formal karena terbatasnya sekolah umum pada saat itu. Sebagai gantinya, Siti ikut dengan saudara-saudaranya mengaji di surau sebagai lembaga pendidikan utama masyarakat Minangkabau. Dia juga belajar dari orang tua dan saudara-saudara laki-lakinya. Siti belajar ilmu agama, adat istiadat, dan kesenian. Selain itu, dia juga mempelajari Silek atau silat sebagai ilmu bela diri yang populer di Minangkabau.

Latar belakang pendidikan tersebut membuat Siti memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam ilmu agama dan ilmu bela diri. Dalam menentukan kriteria suami ketika disuruh menikah pun, Siti mensyaratkan orang yang berilmu dan paham agama serta memiliki keterampilan dalam Silek. Hal tersebut bertujuan agar dapat mencapai cita-cita perjuangan yang sama, di mana pada saat itu Belanda sudah menginjakkan kaki di daerahnya. Adalah Rasyid Bagindo Magek, yang kemudian menjadi pilihannya.

Baca Juga  Pernikahan antara Perjuangan dan Negoisasi: Catatan Seorang Ibu

Siti dikenal karena perjuangannya dalam memimpin perang Belasting melawan pemerintah kolonial Belanda. Perang ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan Belasting atau pajak uang pada awal Maret 1908 sebagai pengganti sistem tanam paksa. Ironisnya kebijakan Belasting ini ditetapkan terhadap berbagai hal, mulai dari penghasilan, perabot rumah tangga, sawah, bahkan rumah gadang dan tanah Pusako.

Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai adat yang dianut masyarakat Minangkabau di mana tanah Pusako adalah harta yang dimiliki secara komunal yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini diperparah dengan tindakan Belanda yang semena-mena terhadap rakyat seperti disiksa, kerja paksa dan berbagai tindakan biadab lainnya.

Ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Minangkabau juga dirasakan oleh Siti. Hal tersebut menuntunnya untuk merencanakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Siti kemudian mengumpulkan orang-orang yang siap untuk berhadapan dengan tentara kolonial Belanda. Badan perjuangan pun terbentuk yang terdiri dari 14 orang, antara lain Rasyid, Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana. Mereka kemudian merencanakan strategi penyerangan terhadap benteng tentara kolonial yang ada di Nagari Manggopoh. Perlawanan inilah yang kemudian dikenal sebagai perang Belasting.

Perang Belasting dilancarkan pada kamis malam 15 Juni 1908, ketika tentara kolonial Belanda sedang sibuk melakukan pesta. Siti saat itu melakukan pengintaian dengan membawa anaknya seperti orang biasa agar tidak dicurigai oleh Belanda. Setelah mengetahui kondisi musuh, Siti kemudian memadamkan lampu dan memberikan aba-aba kepada teman-temannya untuk menyerang dalam kegelapan. Pasukan Belanda yang sedang berpesta dan tidak siap melakukan serangan balasan pun kaget dan kocar-kacir. Alhasil, 53 dari 55 pasukan Belanda yang ada di benteng tersebut berhasil dibunuh. Dua orang sisanya melarikan diri dan melaporkan penyerangan tersebut kepada pemerintah kolonial Belanda. Meskipun mendapat luka-luka, Mande Siti dan teman-temannya berhasil selamat.

Baca Juga  Perempuan adalah Ibu Bangsa (1)

Pemerintah kolonial Belanda yang mengetahui hal tersebut sangat geram. Dengan segera, mereka mengirimkan tentara dari Bukit Tinggi dan Padang Pariaman ke Nagari Manggopoh. Mereka menyerang membabi buta menghancurkan Nagari Manggopoh dan berhasil membunuh lima pejuang dalam perang Belasting, ada juga yang menyebutkan tiga pejuang. Tentara kolonial Belanda juga senantiasa berpatroli mencari pelaku penyerangan dalam perang Belasting lainnya. Siti dan suaminya pun melarikan diri dengan membawa anaknya yang masih kecil ke hutan. Mereka bersembunyi di hutan selama 17 hari.

Setelah beberapa waktu bersembunyi, Siti Manggopoh dan suaminya pun akhirnya ditanggap oleh Belanda. Dia pun dijatuhi hukuman penjara oleh Belanda, antara 14 bulan di Lubuk Basung, Agam, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Selama di penjara, Siti Manggopoh tetap membawa dan merawat anaknya yang masih kecil dalam penjara. Hakim kemudian membebaskan Siti, namun suaminya dibuang ke Manado untuk mematahkan semangat juang Siti Manggopoh.

Siti Manggopoh meninggal di usia ke 85 tahun pada 20 Agustus 1965 di Gasan Gadang, Padang Pariaman. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Siti Manggopoh adalah sosok perempuan pejuang kemerdekaan yang mempunyai kecintaan yang besar terhadap tanah air. Dia memimpin perjuangan melawan penjajah tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang istri dan juga seorang ibu.

Fahrul Razi Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram