Australia adalah negara persemakmuran Inggris (dikenal dengan istilah commonwealth), dimana pengaruh Inggris sangat terasa. Kuatnya pengaruh Inggris ini bisa dilihat dari hadirnya Kristen Anglikan dan Katolik sebagai agama dengan penganut terbesar, sekitar 43% dari jumlah penduduk. Disusul oleh penganut non-religious yang mencapai 17%. Islam sendiri menjadi agama yang cukup menjanjikan yang pemeluknya terus meningkat dan kini menjadi kelompok terbesar keempat di Sydney.
Sependek pengetahuan saya, masyarakat Muslim di Australia umumnya hidup berkelompok. Setidaknya ada 3 kelompok besar masyarakat Muslim di negeri Kanguru ini: Lakemba, Liverpool, serta Auburn. Muslim di setiap daerah memiliki sejarah kedatangannya sendiri. Lakemba, misalnya, dikenal sebagai pusat mayoritas Muslim, dimana masyarakat Muslim dari India, Bangladesh, Pakistan dan Melayu tinggal. Dahulu, Lakemba dikenal sebagai daerah slam (pinggiran) yang kumuh, dengan angka kekerasan yang tinggi. Mayoritas penduduknya adalah imigran. Kini, image tersebut mulai bergeser, seiring bertumbuhnya adapatasi dan regenerasi dari masyarakat Muslim Lakemba.
Liverpool dan sekitarnya merupakan tempat tinggal mayoritas Muslim Lebanon dan Muslim Arab lainnya. Para Muslim Lebanon yang tinggal di sini telah tumbuh dari generasi ke generasi.
Daerah ketiga adalah Auburn, dimana mayoritas Muslim Turki tinggal. Semangat filantropi dan migrasi dari Turki telah mengubah Auburn menjadi miniatur Turki. Di daerah ini terdapat supermarket khusus kebutuhan masyarakat Turki, mulai dari pakaian hingga makanan khas Turki. Tentu saja, tidak akan lengkap bila tidak menyebut Masjid Galipolli, arsitektur penanda hadirnya Turki di Australia.
Sayangnya, berita gembira atas meningkatnya jumlah Muslim di Sydney juga diwarnai munculnya tindakan Islamophobia. Setidaknya, tercatat hingga 349 kasus Islamophobia (2016-2017), dimana mayoritas korbannya adalah perempuan.
Tiga sentra masyarakat Muslim di atas tentu tidak bisa mewakili kenyataan riil di lapangan. Sederhananya, umat Muslim di Sydney berasal dari latar belakang yang beragam. Kedatangan mereka ke Sydney pun punya landasan sosio-historis yang berbeda. Beragamnya karakter Muslim di Australia, dan Sydney secara khusus, tentu juga berpengaruh pada afiliasi organisasi keagamaan mereka. Setidaknya ada empat organisasi Muslim besar di Australia yang menaungi sub-organisasi dengan ruang lingkup yang lebih kecil.
Australian National Imams Council (ANIC) dan Australian Federation of Islamic Council (AFIC) berperan sebagai lembaga fatwa dan sertifikasi halal, sekaligus menjadi rujukan bagi masyarakat Muslim se Australia dalam melaksanakan ibadah. Sementara AFIC adalah representasi dari generasi Muslim awal yang datang ke Australia (berdiri sejak 1970an) dan ANIC merupakan representasi para ulama (berdiri sejak 2006).
Selain organisasi besar tersebut ada juga Darul Fatwa, yang juga memiliki Fatawa Council dan mendirikan Lembaga Pendidikan (Darul Fatwa Islamic School). Di luar itu semua, tentu masih banyak lagi organisasi kecil lain, mulai dari kelompok Muslim moderat Sunni, kaum sufi, hingga kelompok garis keras seperti Salafi-Wahabi, Hizbut Tahrir, dan kelompok militan Jemaah Islamiyah.
Kehidupan Ramadan di Sydney
Sekilas kehidupan pada bulan Ramadan di Sydney tidak berbeda dengan waktu di luar Ramadan. Tidak ada pengurangan jam sekolah atau jam kerja seperti yang sering kita jumpai di Indoneia. Semua berjalan seperti biasa. Bahkan, Muslim di Australia tidak mendapatkan libur hari raya Idul Fitri. Bila ingin merayakannya, Mereka harus mengajukan izin ke instansi terkait (kantor tempat kerja, kampus, atau sekolah).
Namun, suasana berbeda akan kita dapatkan di sentra-sentra masyarakat Muslim seperti tersebut di atas, dimana suasana malam hari Ramadan terkesan lebih sibuk dan ramai. Masjid-masjid melaksanakan takjil hingga tarawih bersama. Salat berjamaah terlihat lebih ramai dari hari biasanya. Menurut cerita seorang kawan, Masjid Lakemba melaksanakan bazar Ramadan selama satu bulan penuh. Suasasna gegap gempita Ramadan terasa di sana.
Banyak rumah dihiasi dengan lampu-lampu dan hiasan lain bernada Ramadan, di luar maupun di dalam rumah. Bagi mereka yang tingal cukup jauh dari lingkungan masjid, kebiasaan ini tampak sangat bagus untuk membiasakan anak-anak menyambut Ramadan dengan suka cita.
Bagi kami, mahasiswa Indonesia di Sydney, menjalani Ramadan di perantauan pada masa pandemi adalah perpaduan yang lengkap antara kesunyian dan kesendirian. Seperti diketahui bersama, Covid-19 yang kita hadapi saat ini telah membuat penduduk bumi, mau tidak mau, harus mengubah pola dan gaya hidup. Begitu juga penduduk Australia. Mereka harus siap menghadapi kehidupan baru, melakukan aktivitas dari dan di rumah: #StayAtHome. Sejak Bulan Pebruari 2020, Australia telah mengumumkan travel ban. Ketika angka ODP di Bulan Maret meningkat tajam, Pemerintah Australia membuat kebijakan lebih keras lagi, hingga sejak 18 Maret kebijakan #StayAtHome diberlakukan.
Hari-hari “berpuasa” telah kami mulai, bahkan ketika bulan Ramadan belum juga datang. Kebijakan di atas ditingkatkan dengan penutupan restoran dan ruang-ruang publik, seperti taman dan pantai. Masjid dan tempat ibadah jauh sebelumnya juga telah ditutup. Perayaan Easter (Paskah) bagi masyarakat Kristiani dan puasa bagi Muslim hanya bisa dilakukan sendiri-sendiri di rumah.
Malangnya, di masa #StayatHome panic buying juga terjadi.
Anda mungkin pernah melihat video pertengakaran antara dua ibu yang berebut tisu toilet di sebuah supermarket di Sydney. Bagi kami, warga Indonesia dan Asia pada umumnya, tisu toilet bukanlah masalah besar, karena kita tidak terbiasa menggunakannya. Tapi tidak bagi mereka. Lebih parah lagi, di masa panic buying harga beras dan bumbu dapur, seperti jahe dan kunyit, juga melambung tinggi. Ketersediaan stok pun menipis. Lengkap sudah “penderitaan” Ramadan di masa pandemi yang kami alami.
Pada pertengahan April, kebijakan pemerintah Australia semakin strict. Ramadan menjadi semakin sunyi. Sekolah yang di awal masa pandemi masih membolehkan orang tua (yang bekerja di bidang-bidang utama seperti kesehatan) menitipkan anak mereka, saat itu pun dilarang. Berbicara dan bermain ke tetangga hanya dibatasi dua orang saja. Bila melanggar, seseorang harus siap didenda AUD 1000 (sekitar IDR 10.000.000).
Pada situasi tidak pasti seperti ini, tentu keluarga menjadi satu-satunya tambatan hati dimana kita bisa berbagi semangat menjalani Ramadan. Sahur Bersama anak dan suami, tadarus, buka bersama, dan tarawih bersama. Kami usahakan anak-anak merasakan euphoria Ramadan di tengah pandemi.
Begitulah manusia. Selalu berusaha mencari kebahagiaan, bahkan di tengah kondisi yang paling pahit sekalipun. Tidak jarang, kami warga Indonesia di Australia, saling bertukar takjil antar teman, karena acara seperti berbuka puasa bersama masih tidak mungkin dilakukan. Meski begitu, work from home memberi kita berkah bisa bertemu muka via daring.
Beberapa forum dilakukan oleh teman-teman NU Sydney, mulai dari membicarakan hal akademik hingga obrolan receh soal menu masakan. Hingga saat ini, kami masih mengadakan ngaji daring dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting Indonesia, yang sepertinya tidak mungkin dihadirkan di luar masa covid-19. Kegiatan daring telah berhasil mewarnai Ramadan yang sepi di masa pandemi. Ini semacam blessing in disguise, keberkahan yang hadir di masa-masa sulit. Ibadah tarawih berjamaah yang dulu sering kita abaikan, di masa wabah Covid-19 menjadi harta berharga yang sangat kita rindukan.
Melewati separuh Ramadan, kita mendapat surprise dari Pemerintah Australia yang mengabarkan bahwa kasus baru covid-19 di Australi telah mendekati nihil. Bahkan di beberapa tempat sudah zero, tidak ada sama sekali. Angka kesembuhan pun meningkat. Pemerintah sudah mulai mengendurkan kebijakan. Sentra ekonomi sudah mulai buka. Sekolah sudah mulai masuk, tapi tetap melakukan protokol penanganan covid-19. Siswa sekolah masuk sekali dalam seminggu. Orang-orang mulai diperbolehkan mengunjungi tetangga, saudara, dan karib.
Berpuasa di negeri orang memang tidak seindah berjamaah di negeri sendiri. Namun, ada pengalaman berbeda yang bisa kita pelajari dan ambil hikmahnya, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini. Kunci menikmati Ramadan di masa pandemi adalah mematuhi pemerintah, mengikuti protokol covid-19, dan bersabar. Bukankah inti Ramadan adalah menahan diri? Jika kita bisa berempati dengan orang lain, patuh dan bersabar, insyallah tidak lama lagi kita bisa mengubah wabah menjadi berkah. (AS)