Dian Puspitasari, S.H Staff Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL)

Ba’da Al dhukul dan Qobla Al Dhukul Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Perempuan

3 min read

Sebelumnya: Mengenali Bentuk Qobla Al Dhukul….

Undang-undang perkawinan tidak secara khusus mengatur tentang qobla al dhukul.  Dalam Pasal 149 huruf a dan c Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa kewajiban suami apabila terjadi percerian adalah: (a) memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul (c) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul.

Dari beberapa literasi dapat ditarik pengertian bahwa perceraian Qabla Al-Dukhul adalah perceraian yang dilakukan setelah terjadi proses akad nikah yang sah dimana istrinya tersebut ditalak sebelum suaminya tersebut berhubungan badan sebagai suami istri.

Konsekuensi bagi percerian Qobla Al Dhukul adalah tidak diberikannya hak-hak perempuan seperti iddah, mut ‘ah, dan nafkah terutang.  Meskipun sudah terjadi akad nikah namun karena belum dianggap ada ikatan bathin yang terjadi selama perkawinan, maka perempuan dalam perkawinan tersebut mendapatkan haknya sebagai istri. Hal ini tidak lepas dari definisi perkawinan sebagaimana pasal 1 UURI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sejak dahulu pemaksaan perkawinan sudah banyak terjadi terutama dialami oleh perempuan maupun anak perempuan. Sehingga tahun 1974 melalui Undang-undang perkawinan diatur batasan tentang usia perkawinan untuk melindungi anak-anak dari perkawinan paksa. Namun tidak demikian bagi perempuan dewasa yang mengalami pemaksaan perkawinan. Pengkatogerian dewasa menjadikan pengalaman mereka tidak masuk dalam pengaturan di undang-undang perkawinan.

Pemaksaan perkawinan mulai terdokumentasi seiring dengan lahirnya Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengenalinya sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Namun pemaksaan perkawinan sendiri dikenali sebaga kekerasan seksual pada sekitar tahun pada tahun 2001 hingga 2010 Komnas Perempuan mendokumentasikan pemaksaan perkawinan sebagai salah satu bentuk dari 15 bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Sehingga sangat wajar jika pemaksaan perkawinan tidak dikenali sebagai bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Kini pemaksaan perkawinan masuk dalam delik Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Baca Juga  Urgensi RAN PE dan Pelibatan Perempuan dalam Pencegahan dan Penanganan Terorisme

Merujuk pada pengalaman 3 perempuan tersebut kita bisa katakan bahwa Qobla Dhukul tidak semata-mata perkawinan tanpa ada hubungan seksual, namun harus diperluas menyesuaikan pengalamaan perempuan.

  1. hubungan seksual terjadi sebelum perkawinan, dengan berbagai alasan termasuk perkosaan. Namun setelah perkawinan justru tidak ada hubungan seksual.
  2. belum terjadi hubungan seksual baik sebelum maupun setelah perkawinan.
  3. Belum terjadi hubungan seksual/perkawinan selama perkwinan namun telah terjadi aktivitas seksual.

Dalam kasus A majelis hakim di Pengadilan Agama tingkat sama sekali tidak mempertimbangkan terjadinya hubungan seksual sebelum adanya perkawinan. Tidak hanya A yang kehilangan haknya namun anak yang dilahirkan oleh A juga kehilangan haknya.  Perseptif tunggal yang dimiliki oleh majelis hakim bahwa hak istri melekat setelah adanya hubungan istri dalam ikatan perkawinan telah mengingkari pengalaman perempuan yang dalam situasi tertentu terjadi hubungan seksual sebelum perkawinan.

Anak yang dilahirkan A adalah anak sah karena lahir dalam perkawinan yang sah. Tidak terjadinya hubungan seksual paska perkawinan tidak menghilangkan fakta bahwa anak yang dilahirkan A bukan anak suaminya A. Sehingga kewajiban memberikan nafkah tetap melekat kepada bapak kandungnya.  Sementara hak yang melekat pada A sebagai mantan istri harus tetap diberikan meskipun selama perkawinannya tidak terjadi hubungan seksual.

Sementara dalam kasus NW majelis hakim hanya mempertimbangkan hanay melihat ada atau tidak terjadinya hubungan seksual/penetrasi. Namun majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan usaha NW yang telah melakukan aktifitas seksual meskipun tidak terjadi penetrasi. Pengalaman NW yang meraksan sakit saat aktivitas seksual sama sekali tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim yang berdampak pada hilangnya hak-haknya NW sebagai seorang istri.

Upaya Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menghadirkan perlindungan pada perempuan

Dari pengalaman ke 3 (tiga) perempuan tersebut terlihat bahwa ada beragam permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan, berharap menjadi awal bagi mahkamah Agung dalam merumuskan kebijakan tehnis dalam merespon pengalaman tersebut. Mahkamah Agung Republik Indonesia sendiri telah menunjukan keseriusan untuk meningkatkan akses keadilan bagi kelompok rentan terutama perempuan yang berhadapan dengan hukum termasuk dalam hal ini perempuan sebagai para pihak.

Baca Juga  Andai Saya Musisi, Saya akan Cipta Lagu Aisyah sang Filantropis

Komitmen tersebut ditunjukan dengan mengeluarkan SK KMA Nomor: 88/SK/KMA/V/2016 tanggal 16 Mei 2016 tentang pembentukan kelompok kerja untuk perempuan dan Anak. Melalui kelompok kerja untuk perempuan dan anak ini diharapkan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai peradilan tertinggi memiliki kebijakan dalam rangka meningkatkan kemampuan peradilan dalam menangani masalah perempuan.  Sejak tahun 2017 Mahkamah agung taktif mengeluarkan berbagai peraturan yang memberikan perlindungan pada perempuan terutama pada bidang hukum keluarga diantaranya:

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. Dengan peraturan ini diharapkan Hakim yang menangani perempuan tidak hanya menggali tentang fakta hukumnya semata tetapi juga mampu menggali dan mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 TAHUN 2018 Nomor 1 C tentang Kewajiban suami akibat perceraian terhadap isteri yang tidak nusyuz. Menyatakan bahwa mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut`ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.

Pada tahun 2019 Mahkamah Agung juga mengeluarkan SEMA Nomor 2  tahun 2019 mengenai hukum keluarga 3.1 huruf a. menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap isteri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut:”….yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”. Oleh Sebab itu mohon kepada majelis Hakim untuk mengabulkan hak Penggugat tersebut.

Jika melihat upaya Mahkamah Agung yang telah aktif mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan perlindungan perempuan, maka sangat memungkinkan untuk mendialogkan beragam pengalaman perempuan dalam perkawinan agar menjadi dasar perubahan kebijakan terutama dilingkup peradilan.

Baca Juga  Perempuan di Bilik Musala al-Lathifiyyah Tambakberas

Perkawinan sejatinya ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan untuk mencapai kebahagiaan yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat terwujud jika perkawinan tersebut dipaksakan. Tidak berdasarkan keputusan kedua belah pihak.

Tentu perempuan memiliki beragam cara untuk menyikapi perkawinan paksa yang terjadi padanya. Ada yang memutuskan mengajukan gugatan demi mengakhiri perkawinan, ada yang terus bertahan dan perlahan-lahan berusaha menerima. Semua kembali pada keputusan perempuan. Namun apapun keputusan perempuan harus didasari pada pengetahuan yang cukup agar keputusan yang diambil menjadi keputusan yang sadar dan berkualitas.

Pendokumentasian pengalaman perempuan berkaitan dengan perkawinan dan undang-undang perkawinan menjadi penting untuk dilakukan dan dibutuhkan peran ulama yang berperspektif perempuan agar pengalaman menjadi pijakan dalam merumuskan kebijakan berperspektif perempuan terutama bidang perkawinan. (mmsm)

 

Dian Puspitasari, S.H Staff Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL)