Ahmad Khoiruddin Mahasiswa pascasarjana Universitas Sunan Giri Surabaya

Bisakah Teknologi Menggantikan Spiritualitas Agama di Dunia Modern?

2 min read

Kisah Nabi Muhammad SAW yang bertahannus di gua Hiro telah menjadi sebuah pelajaran besar bagi umat Islam. Tahannus atau yang di kenal dengan kontemplasi telah banyak dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyyah. Begitu juga seorang yang pertama kali mengetahui kenabian Muhammad SAW, yaitu Waraqah bin Naufal, yang juga stakeholder Nasrani. Perilaku bertahannus ini dilakukan oleh beberapa orang dalam rangka mencari pencerahan dan mengasah kecerdasan spiritual. Sehingga ia akan menemukan insight dari suatu permasalahan yang ia hadapi.

Tasawuf yang diklaim sebagai aliran spiritual Islam menjadikan kisah tahannus ini sebagai salah satu ajaran yang sangat ditekankan. Adalah uzlah dalam doktrin tasawuf menjadi ajaran penerus dari kisah tahannus Nabi tersebut. Pelaku tasawuf pada umumnya dihimbau untuk melakukan uzlah untuk menempuh jalan sufi yang akan di laluinya. Metode uzlah yang banyak dikenal dalam tasawuf adalah dengan melakukan suluk, yang biasanya terdapat dalam tarekat. Metode ini dilakukan untuk membersihkan jiwa orang yang melakukan suluk (salik) dari hiruk pikuk dunia yang sebelumnya ia alami. Sehingga akan menggugah sisi spiritualitasnya dan mendapatkan kedamaian hati.

Di lain sisi, metode tasawuf yang ini memang banyak digemari bagi orang-orang yang merasa telah dipermainkan dunia, semisal dalam bidang ekonomi atau relasionship. Tentu banyak ditemui orang-orang yang berlari dari permasalahan tersebut kemudian menggunakan tasawuf sebagai solusi terbaik untuk mengobati kelelahan dan kekacauan jiwanya. Bahkan di beberapa tempat tasawuf dengan sengaja digunakan untuk proses terapi yang banyak dibuktikan efektivitasnya. Atau dengan khusus oleh para pemegang otoritas dalam tasawuf disebut dengan tazkiyatun nafs.

Perkembangan dan kemajuan zaman modern menjadi salah satu latar belakang hadirnya metode terapi ala tasawuf ini. Karakteristik modernitas yang diikuti perkembangan teknologi ternyata banyak menimbulkan permasalahan pada sisi batin manusia. Banyak sekali tuntutan yang harus dijalankan oleh para manusia di abad millennium mengakibatkan disintegrasi jiwa bahkan juga berdampak pada dekadensi moral, hingga timbulah kecemasan, kegelisahan, frustasi hingga depresi.

Baca Juga  Corona Bisa Membuat Rumah Tangga Semakin Samawa

Kemajuan teknologi di dunia modern tidak dapat dihentikan, begitu juga masalah kejiwaan yang timbul olehnya tidak dapat dibendung. Namun hingga kontemporer ini, tasawuf dirasa tidak akan pernah tergeser oleh apapun, kendati teknologi sangat maju. Pasalnya, spiritualitas merupakan dimensi batin manusia, yang kecerdasannya belum ditemukan penggatinya oleh teknologi sejauh ini. Hipotesis bahwa spiritualitas adalah spektrum abadi dimensi manusia sangatlah tepat.

Spiritualitas merupakan bagian sangat penting dalam diri manusia yang dipercaya oleh para ilmuwan sebagai sentral pergerakan manusia. Di mana olehnyalah manusia dikendalikan dalam setiap perilaku, pola pikir dan emosinya. Merujuk pada sabda Nabi Muhammad yang menjelaskan tentang hati maka relevansinya sangatlah komprehnsif. Hati atau jiwa (dalam hal ini diartikan sama, terlepas perdebatan konsep dan pengertian) menjadi pusat diri manusia, di mana jika ia baik maka akan baik diri manusia, pun sebaliknya jika hati menjadi buruk.

Sejauh ini, dunia teknologi masih berkutik dalam membuat kecerdasan artifisial yang menguasai kecerdasan intelektual otak manusia. Namun dalam banyak penelitian masih belum ditemukan hasil yang sempurna dalam menggantikannya. Padahal jika merujuk pada penelitian ilmiah dunia kesehatan, otak telah banyak dibahas mekanisme kerjanya. Lalu bagaimana dengan hati yang menjadi medan spiritualitas? Mungkinkah teknologi dapat menggantikannya? Untuk sekarang memang sangatlah naïf untuk mendapatkan jawaban yang tepat dan benar.

Jika dilihat dari kacamata agama, sangatlah tidak mungkin manusia dapat menggantikan spiritualitas dengan teknologi. Karena ia memang suatu hal yang transenden dan transpersonal, sehingga penelitian dan usaha manusia untuk meneliti lebih lanjut sangatlah terbatas. Pada akhirnya ketika keterbatasan tersebut telah mencapai ujung, maka manusia akan kembali pada spiritualitas dan terkagum akan kekuasaan Dzat Yang Maha Tidak Terbatas.

Baca Juga  Kritik atas Empirisme John Locke

Sampai sini dapat terlihat bahwa diskursus tasawuf merupakan keilmuan futuristik yang selalu dapat berjalan dalam setiap zaman yang relevan dengan segala perubahan peradaban yang terjadi. Malahan tasawuf menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan kejiwaan yang dialami banyak orang di era teknologi yang semakin berkembang. Hedonisme menjadi gaya hidup yang paling menonjol sebagai penyebabnya. Segala sesuatu dinilai dengan uang serta segala pekerjaan penuh dengan tuntutan, adalah pendorong hadirnya problematika psikis di era tersebut.

Di berbagai tempat telah banyak ditemui terapi alternatif yang mengklaim dirinya sebagai pelaku spiritual. Begitu juga di kota-kota besar seperti Surabaya, berapa banyak ditemui kajian-kajian ke-Islaman yang membicarakan kisah pribadi Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan spiritualitas. Bahkan dalam dunia akademis telah banyak membahas dan membedah dimensi psikis manusia melalui multidisiplin dan transdisiplin keilmuan dengan konsentrasi spiritualitas. Hingga akhirnya berdirilah juga program studi yang menjadikan tasawuf sebagai jawaban atas permasalahan psikis manusia.

Memang harus diakui bahwa spiritualitas tidak akan pernah tergantikan dan tidak akan mati sampai kapanpun. Di samping ia menjadi media komunikasi Tuhan, juga menjadi jalan ketenangan dan kedamaian bagi mereka yang mengalami kegagalan dalam hidup, tekanan dari dunia sosial dan ekonomi, hingga hancur dalam perpolitikan. (mmsm)

Ahmad Khoiruddin Mahasiswa pascasarjana Universitas Sunan Giri Surabaya