Putra Syawal Hidayatullah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Kritik atas Empirisme John Locke

1 min read

John Locke dikenal sebagai seorang filsuf empiris asal inggris. Para filsuf empiris inggris lainnya ialah George Berkeley dan David Hume. Para filsuf empiris mengedepankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia.

Artinya, semua pengetahuan manusia secara langsung atau tidak langsung datang dari pengalaman atas dunia melalui pancaindra belaka. Contohnya, kita mengetahui bahwa gula itu manis, karena kita merasakan gula secara langsung. Sehingga, kesimpulan pengetahuan bahwa “gula itu manis” didapat melalui pengalaman empiris sebelumnya.

Dalam ide yang digagas oleh John Locke, ada klaim yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia tidak bisa melampaui pengalamannya. Klaim ini didasarkan pada perasaan Locke. Dia merasa mungkin berlebihan atau tampak tidak mungkin jika manusia mempunyai pengetahuan melebihi pengalamnya itu sendiri.

Secara tidak langsung, hal itu menggambarkan bahwa semua pengetahuan hanya didapat melalui tahapan empiris Ide yang setiap saat muncul dari semua budaya manusia tidak lepas dari sesuatu yang kita peroleh melalui pengalaman empiris kita.

Pendapat filsuf empiris di atas memiliki kontras dengan pemikiran kaum rasionalis. Kaum rasionalis juga menerima bahwa dalam praktiknya pengetahuan tentang dunia pada akhirnya berasal dari pengalaman. Contoh kecil adalah penelitian saintifik. Karena dalam riset saintifik, sesuatu dianggap benar apabila bisa diverifikasi atau terbukti kebenarannya secara observasional, dan dalam unsur verifikasi ini tentunya harus melalui tahapan verifikasi empiris.

Ada yang membedakan pandangan para filsuf rasionalis dari para filsuf empiris, yaitu sebuah pengetahuan mungkin saja bisa diperoleh hanya semata-mata menggunakan akal saja. Para rasionalis juga menjelaskan bagaimana pengetahuan itu bisa terjadi tanpa adanya akses pengalaman empiris.

Perbedaan keduanya menjadikan kita cenderung lebih meyakini pendapat rasionalis dan lebih meragukan pendapat kaum empirisme dalam memperoleh pengetahuan. Saya secara personal labih setuju pada pendapat rasionalis, karena ada beberapa kasus di mana pengetahuan juga bisa didapat melalui akal saja.

Baca Juga  Menyoal Kerancuan Istilah Pluralisme dan Pluralitas (Bag. 2)

Keraguan saya terhadap pendapat empirisme terletak pada hal-hal yang metafisik, seperti agama. Tentu saja, secara tidak langsung teori empirisme tersebut tidak mewakili verifikasi pengetahuan agama terutama dalam hal metafisik. Lalu? Apa yang membuat teori empirisme tidak mendukung pengetahuan agama?

Pada hakikatnya empirisme hanya menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang telah ditangkap lewat pengalaman empiris. Lalu bagaimana dengan pengetahuan agama di mana banyak diajarkan kepada manusia tentang hal ihwal yang metafisik—antara lain setan, jin, iblis, surga, neraka, kehidupan setelah mati, bahkan Tuhan. Apakah pengetahuan agama tersebut tidak dianggap benar menurut pandangan empirisme?

Dalam agama memang benar bahwa manusia diajarkan belief before fact, yaitu kepercayaan sebelum fakta. Orang yang beragama cenderung percaya dan menganggap bahwa sesuatu yang diajarkan oleh agama itu benar bahkan sesuatu yang metafisis sekalipun. Contohnya kita memercayai adanya Tuhan, dan kita juga belum merasakan adanya eksistensi Tuhan melalui pengalaman indrawi kita, karena dalam agama manusia lebih cenderung menggunakan intuisinya.

Jika dilihat menggunakan kaca mata empirisme, memang benar bahwa hal yang metafisik seperti jin dan iblis itu disangkal, karena secara pengalaman manusia kebenarannya tidak bisa dibuktikan melalui riset saintifik. Akan tetapi, yang saya bahas ialah pengetahuan manusia tentang hal metafisik itu sendiri di mana manusia sudah mendapatkan konstruk pengetahuan metafisik mereka tanpa adanya tahapan pengalaman, seperti surga, tempat yang baik, dan neraka, tempat yang buruk.

Konstruk pengetahuan manusia untuk mendefinisikan kedua term di atas dapat diperoleh manusia tanpa mereka harus masuk ke dalam surga dan neraka terlebih dahulu secara empiris. Ini menandakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui nalar atau akal saja, seperti pendapat kaum rasionalis. [AR]

Putra Syawal Hidayatullah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya