KH. Ahmad Subakir Wakil Rois Syuriyah PCNU Kota Kediri

Lahirnya Entitas “Asal Beda” di Tengah Pandemi Covid-19

2 min read

Pandemi Covid-19 yang saat ini kita alami bersama masih menjadi satu masalah besar dan problematika sosial. Dalam menghadapinya, kita benar-benar harus jeli dalam memposisikan diri kita baik sebagai warga bangsa, umat beragama, makhluk berbudaya, bahkan sebagai individu dengan segenap kepribadian, karakter, dan latar belakang masing-masing.

Sebagai makhluk sosial, akan selalu ada ruang ekspresi bagi kita dalam kehidupan ini. Artinya, seseorang dapat memberikan pengaruh sekaligus mendapatkan pengaruh dari sistem sosial yang menaungi kehidupan ini. Saat pemerintah menganjurkan dan mengambil sikap untuk membatasi tatanan sosial dengan meminimalisir interaksi sosial diantara sesama, maka ada banyak ‘rasa yang hilang’ pada sebagian besar wilayah tatanan sosial kita, terutama kehidupan nyata. Buntutnya, pada gilirannya hal ini pasti akan mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Demikian pula posisi kita sebagai makhluk beragama. Perubahan sosial memunculkan kegalauan, karena kebiasaan ritual dengan kepuasan batin yang terbentuk dari proses kolektif tiba-tiba berubah secara drastis. Akibatnya, tanpa dirancang sebelumnya muncul dalam bawah sadar kita rasa waswas, merasa belum sempurna bahkan seolah merasa belum tuntas dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan.

Di sisi lain, sebagai makhluk dengan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan lahiriah, kita terbiasa bekerja bersama dengan orang lain. Komunikasi ini tidak jarang membentuk komunitas yang pada gilirannya dapat menjadi sumber ekonomi. Kemanfaatannya tentu tidak hanya dirasakan dirinya semata, akan tetapi juga dirasakan secara kolektif. Tidak sedikit pula, hal ini dapat menjadi penopang utama dalam pembentukan ketahanan masyarakat di bidang sosial, ekonomi maupun lainnya.

Efek dari hilangnya tatanan kehidupan sosial tersebut pada akhirnya membuat banyak di antara kita menjadikannya sebagai alasan mencari pembenaran. Hal ini muncul sebagai solusi yang akan dihadirkan sebagai bagian dari konsekuensi logis atas munculnya beberapa akibat-akibat dari rasa yang hilang sebagaimana tersebut di atas.

Baca Juga  Melacak Jejak Multikulturalisme dalam Sistem Sosial Masyarakat Surabaya

Pembenaran itu lantas menjadi pola pikir yang kuat untuk mebentuk sikap yang dimanefestasikan dalam kehidupan sosial yang tengah terkoyak ini. Munculnya pemikiran dan tindakan menolak pemakaman jenazah suspect Covid-19 di beberapa tempat misalnya, bila ditelusuri secara mendalam ternyata memunculkan jawaban bahwa penolakan pemakaman jenazah tersebut didasari atas ketidaktahuan dari sebagian kecil anggota maupun tokoh masayakat yang mengira bahwa kehadiran jenazah suspect Covid-19 dapat membahayakan kehidupan kolektivitasnya dari sisi medis.

Demikian halnya anjuran untuk tidak menyelenggarakan salat Jumat, larangan tarawih berjemaah, serta himbauan untuk tidak menggelar salat Id berjemaah di daerah yang telah dinyatakan sebagai zona merah, tak pelak memunculkan rasa, pola pikir, dan sikap yang beragam di tengah masyarakat. Terhadap anjuran untuk tidak menyelenggarakan salat Jumat misalnya, masih banyak di antara agamawam yang sebenarnya bisa menerima serta memahami syariat Islam yang mengatur tuntunan ini, akan tetapi dengan ijtihadnya sendiri beberapa tokoh dan pemimpin umat tetap menyelenggarakan salat Jumat dengan memodifikasi praktik salat sedemikian rupa dengan menjaga distansiasi fisik dalam baris jemaah salatnya.

Ada juga takmir Masjid yang secara lugas mengikuti anjuran meniadakan salat Jumat tersebut, karena keputusan itu ditetapkan atas dasar nash syar’i yang kuat. Namun, tidak sedikit masyarakat yang sikapnya tidak jelas tentang menerima-tidaknya anjuran itu. Bahkan pada entitas tertentu anjuran ini dimaknai sebagai upaya terstruktur dalam melemahkan persatuan umat Islam saat menyelenggarakan ibadah kepada Tuhannya. Akhirnya banyak juga argumen yang dipilih sesuai keinginan nafsunya dalam menguatkan cara pandang tersebut.

Bila ditelisik lebih dalam lagi, sesungguhnya entitas terakhir ini hanya bagian kecil yang terbiasa memuaskan ekpresi kehidupan sosialnya dengan filosofi “asal beda” untuk memaksimalkan nafsu dan keangkuhannya. Sikap dan ekpresi mereka berasal dari ketidakkokohan fondasi ilmu agamanya. Keinginan dan nafsu “asal beda” tersebutlah yang menjadi pengendali atas sikap dan ekspresi perilaku sosialnya.

Baca Juga  Khilafah, Negara Islam dan Pancasila

Kelompok terakhir ini yang sebenarnya membahayakan masyarakat di tengah arus kemudahan akses informasi media. Kelompok inilah yang secara sadar ingin menjadikan media sebagai alat yang manjur untuk memberikan pengaruh pada masyarakat umum agar mengikuti cara pandang dan sikapnya. Padahal dasar berpikir dan sikap entitas kelompok ini bukan didasarkan atas pemahaman dan kematangan keilmuan agama, melainkan hal ini didasari oleh arogansi dan ambisi pribadinya semata. [HM, MZ]

KH. Ahmad Subakir Wakil Rois Syuriyah PCNU Kota Kediri

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *