Malin Kundang, sebagaimana banyak orang tahu, merupakan kisah dari masyarakat Minang tentang anak muda yang meninggalkan ibunya dan lalu menjadi kaya. Namun, sekembalinya di kampung halaman, ia menolak dan enggan mengakui ibunya, bahkan menyungkurkannya lantaran terlihat miskin dan renta.
Dalam kemarahannya, sang ibu kemudian mengutuk si anak menjadi batu karang. Pada akhirnya, betapa pun si anak menyadari dan menyesali perbuatannya, ia tetap menjadi batu karang. Kurang lebih seperti itu apa yang selama ini kita dengar tentang kisah Malin Kundang, kisah tentang anak durhaka yang mendapat hukuman atas perbuatannya.
Namun demikian, bila kita cermati dengan saksama, apakah itu semata-mata kesalahan si anak yang dengan angkuh menolak mengakui ibunya? Atau, justru ada kesalahan lain yang sama pentingnya, sehingga kita dapat memperoleh hikmah yang lebih kompleks dan bermakna?
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana kisah ini dari perspektif lain yang tidak biasa. Artikel ini mengungkap sisi yang jarang orang temukan dari kisah rakyat yang berasal dari tanah Minang ini. Berikut uraian lebih lanjut tentang hikmah dari kisah Malin Kundang yang tidak sekadar kisah tentang anak yang durhaka.
Ibu yang Gegabah dan Kurang Sabar
Dalam kisahnya, Malin Kundang memang tumbuh sebagai pria yang tangguh dan pekerja keras. Berkat ketekunan dan jerih payahnya, ia berhasil mendapatkan harta dan menjadikan dirinya kaya.
Dengan kekayaan yang mengubah penampilan dan taraf hidupnya, ia pun memperoleh istri yang cantik jelita. Akan tetapi, lantaran semua pencapaian itu, dirinya merasa begitu terhormat dan hidup penuh gengsi sampai tidak mau mengakui ibunya.
Penting diperhatikan reaksi ibu Malin yang kemudian penuh murka melihat sikap dan perilaku anaknya, membalas dengan mengutuknya. Betapa pun terkesan masuk akal, tetapi ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam menerapkan prinsip sabar dan memahami kekuatan doa.
Kemurkaan atau kekesalan akibat tindakan tidak senonoh itu seperti wajar dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, apa benar mesti sampai bersumpah serapah, mengutuk, atau berdoa yang buruk-buruk kepada orang lain, terlebih pada anaknya?
Dalam Islam, sikap kurang sabar sangat tidak dianjurkan dan dianggap sebagai tindakan yang merugikan. Sikap ini sering kali membawa dampak negatif, seperti menyebabkan seseorang melakukan perbuatan yang tidak terpuji atau mengucapkan kata-kata yang buruk.
Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah Muhammad juga mengingatkan bahwa tidak ada satu kebaikan pun dalam dua hal: kelaparan yang mengantarkan kepada kematian atau kesempitan yang membawa kepada keputusasaan.
Dengan demikian, mau menyangkal bahwa kesabaran ada batasnya? Jikalau mau dibilang begitu, apakah melampiaskannya dengan berdoa yang tidak-tidak, berkehendak supaya orang lain celaka, atau bahkan mengutuknya adalah tindakan yang tepat? Tentu tidak, bukan? Apabila rumah kita dibakar orang, yang kita lakukan meredamkan apinya, kan, bukan mengejar dan membalas orang yang membakar?
Allah itu membersamai orang-orang yang sabar. Allah tidak berkenan dengan hamba yang bersikap gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil tindakan. Jadi, apabila yang ditampilkan sang ibu dalam kisah Malin Kundang menunjukkan sosoknya yang gegabah dan kurang sabar, sebisa mungkin kita juga menghindari itu sehingga mendapat kemuliaan dan jauh dari penyesalan.
Hanya Allah Tempat Bergantung
Kemudian, dalam ajaran agama khususnya dalam Islam, ditegaskan bahwa kepercayaan dan ketergantungan sejati seharusnya hanya pada Allah. Manusia diberikan kebebasan untuk bertindak, tetapi hasil akhirnya tetap pada kehendak Ilahi.
Jadi, ketika seseorang terlalu bergantung pada orang lain, bahkan pada anak sendiri, hal ini merupakan bentuk ketidakpahaman terhadap prinsip dasar kepercayaan.
Dalam konteks Malin Kundang, jika ibu telah memahami hal demikian dengan lebih baik mungkin ia akan menempatkan harapannya pada Allah semata, dan mendoakan kebaikan bagi anaknya, bukan malah mengutuknya. Sebuah doa yang tulus dan penuh kasih dari seorang ibu memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada kutukan yang keluar dari kemarahan dan keputusasaan.
Tetapi, mengingat pada faktanya, tokoh ibu melontarkan kutukan untuk Malin menjadi batu karang. Ini menunjukkan kemarahan dan keputusasaan yang diluapkan sang ibu, menggambarkan bahwa sang ibu tidak hanya bergantung kepada Allah, dia menaruh pengharapan kepada anaknya untuk menerima dan mengakuinya, makanya, dia bisa marah sedemikian rupa hingga mengutuknya.
Sudah sebagaimana mestinya, Allah merupakan satu-satunya tempat bergantung bagi kita. Saat kita dikecewakan, dibuat marah, asal kita tetap dalam syariat-Nya, Allah akan senantiasa menyertai kita. Surat al-Ikhlas, surat yang mungkin sering kita baca, pada ayat kedua menyatakan bahwa Allah satu-satunya tempat bergantung; bukankah sudah seharusnya, kita tidak hanya melafalkannya saja?
Secara keseluruhan, kisah Malin Kundang dalam perspektif alternatif intinya mengajarkan kita pentingnya memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip kesabaran, kepercayaan pada Allah, dan kekuatan doa dalam kehidupan sehari-hari. Daripada hanya menyalahkan anak yang durhaka, kita juga harus merenungkan kesalahan yang dilakukan oleh ibu, yang kurang sabar dan kurang memahami esensi doa yang tulus.
Jadi, mari kita ambil pelajaran berharga dari kisah ini: bahwa kesabaran dan doa yang tulus adalah kunci utama dalam menghadapi cobaan hidup, dan bahwa kepercayaan sejati hanya seharusnya diletakkan pada Allah, bukan pada manusia termasuk anak sendiri. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan penuh kasih dalam menjalani kehidupan ini. [AR]