Dalam beberapa tahun terakhir, isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia kembali menjadi sorotan. Kasus-kasus penolakan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang menganut keyakinan berbeda dari enam agama resmi kerap mencuat, memperlihatkan betapa rumitnya tantangan dalam menciptakan ruang yang setara bagi seluruh keyakinan. Kelompok-kelompok yang memegang tradisi spiritual lokal sering kali menghadapi stigma negatif, dianggap “primitif,” atau bahkan tidak mendapatkan pengakuan yang layak. Di tengah situasi tersebut, Suku Kejawen Bonokeling berdiri sebagai simbol keberagaman yang terus mempertahankan warisan budaya dan keyakinan leluhur mereka.
Artikel ini mencoba mengenalkan siapa dan bagaimana Suku Kejawen Bonokeling hidup dalam bayang-bayang tantangan modernitas dan sosial. Melalui artikel ini, mari kita refleksikan bersama bagaimana realitas keberagaman dan tantangan kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Uraian lebih lanjut sebagai berikut.
Suku Kejawen Bonokeling adalah komunitas adat yang berpusat di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Mereka menjadikan ajaran kejawen sebagai landasan hidup, sebuah tradisi spiritual yang bersifat sinkretis, menggabungkan elemen-elemen Hindu, Buddha, Islam, dan kearifan lokal Jawa. Kyai Sumitro, tetua adat sekaligus penjaga tradisi Bonokeling, menjelaskan:
“Kami hidup berdasarkan ajaran leluhur yang mengajarkan keselarasan. Hidup itu harus menghormati manusia, alam, dan Tuhan. Kami bukan menyimpang, kami menjaga.”
Ucapan ini menegaskan bagaimana masyarakat Bonokeling memandang tradisi mereka sebagai jalan hidup yang membawa keharmonisan.
Adapun nama “Bonokeling” itu sendiri, dikatakan diambil dari sosok Kyai Bonokeling, yakni leluhur yang dihormati tersebut. Kyai Bonokeling diyakini merupakan seorang patih di Kerajaan Pasirluhur yang menurunkan seluruh ajaran pada anak cucunya. Sosoknya dipercaya memiliki ilmu kebatinan tinggi yang dapat digunakan sebagai jalan bagi keturunannya untuk menggapai keselamatan dunia dan akhirat.
Kemudian dari sekian ritual dan tradisi yang diturunkan, salah satu yang paling dikenal adalah Perlon Unggahan. Ritual tahunan ini digelar menjelang bulan Ramadan dan melibatkan seluruh anggota komunitas. Dalam ritual ini, warga berkumpul di makam Kyai Bonokeling untuk membersihkan makam, memanjatkan doa, dan melaksanakan kegiatan kebersamaan yang penuh solidaritas.
“Perlon ini bukan hanya untuk kami yang masih hidup,tetapi juga untuk leluhur kami. Kami percaya, dengan menghormati mereka, kita menjaga keseimbangan kehidupan.” tutur Kyai Sumitro.
Ritual ini tidak hanya menjadi ajang spiritual tetapi juga mencerminkan harmoni sosial, di mana semua pihak berpartisipasi tanpa memandang perbedaan status atau gender. Tradisi ini bahkan memberikan ruang bagi perempuan untuk berperan aktif, baik dalam pelaksanaan ritual maupun dalam kehidupan sosial komunitas.
Kesetaraan gender yang diterapkan dalam tradisi Bonokeling menjadi nilai yang sangat unik. Dalam masyarakat adat lainnya, perempuan sering kali ditempatkan pada peran yang subordinat. Namun, di Bonokeling, perempuan dan laki-laki berbagi peran secara setara, baik dalam urusan domestik maupun ritual. Hal ini menjadikan Suku Bonokeling sebagai salah satu komunitas adat yang mampu merefleksikan nilai-nilai modern seperti keadilan dan kesetaraan gender, meski tetap berakar pada tradisi leluhur.
Selain kesetaraan gender, masyarakat Bonokeling juga dikenal dengan hubungan harmonis mereka dengan alam. Alam bagi mereka adalah bagian integral dari kehidupan, dan keseimbangan antara manusia dan alam dianggap sebagai tanggung jawab spiritual. Prinsip ini terlihat dalam cara mereka menjaga lingkungan. Hutan, misalnya, dianggap sebagai tempat keramat yang harus dijaga kelestariannya. “Hutan adalah bagian dari kehidupan kami. Menyakiti hutan sama dengan menyakiti diri sendiri,” ujar salah seorang warga Bonokeling, Kasno. Mereka menolak praktik eksploitasi yang dapat merusak ekosistem, percaya bahwa menghormati alam sama dengan menghormati leluhur dan menjaga harmoni semesta. Pandangan ini menjadi sangat relevan di era modern, di mana krisis lingkungan menjadi tantangan global yang membutuhkan perhatian serius.
Namun, di balik kekayaan nilai-nilai dan tradisi mereka, Suku Bonokeling tidak lepas dari berbagai tantangan. Sistem kepercayaan kejawen yang mereka anut tidak termasuk dalam enam ‘agama’ resmi yang diakui negara, sehingga mereka sering kali menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pengakuan legal atas identitas spiritual mereka.
Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017 telah memberikan jalan bagi penganut aliran kepercayaan untuk dicatatkan dalam dokumen resmi, pelaksanaannya di tingkat lokal masih penuh hambatan. Stigma terhadap kepercayaan lokal seperti Bonokeling tetap kuat, dengan anggapan bahwa mereka adalah komunitas “menyimpang” atau “primitif.”
“Kadang ada yang datang dan menilai kami aneh, tapi kami tahu apa yang kami lakukan benar untuk leluhur dan Tuhan.” ,” cerita Pak Slamet, seorang warga Bonokeling.
Pandangan sempit semacam ini sering kali lahir dari kurangnya pemahaman tentang kekayaan spiritual Nusantara.
Tantangan lain datang dari dalam komunitas itu sendiri. Berdasarkan keterangan dari beberapa warga setempat, banyak generasi muda Bonokeling yang merantau dan memilih untuk meninggalkan desa serta tradisi leluhur mereka.
Urbanisasi dan modernisasi membawa daya tarik tersendiri yang membuat anak-anak muda sulit untuk tetap terikat pada akar budaya mereka. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan regenerasi tradisi.
“Jika anak-anak muda melupakan ini, siapa lagi yang akan menjaga setelah kami?” ujar Kyai Sumitro dengan nada penuh keprihatinan. Tradisi semacam Bonokeling sangat bergantung pada keterlibatan aktif komunitas untuk dapat bertahan, dan tanpa generasi penerus, tradisi ini berisiko memudar di masa depan.
Meski begitu, Suku Bonokeling tetap menjadi simbol penting dari keberagaman budaya Indonesia. Tradisi mereka tidak hanya mencerminkan warisan leluhur, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai universal yang relevan dengan kehidupan modern, seperti kesetaraan gender, penghormatan terhadap lingkungan, dan solidaritas sosial. Mereka adalah bukti nyata bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dihormati, bukan ancaman yang harus dimarginalkan. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, keberadaan komunitas seperti Bonokeling seharusnya dirayakan sebagai bagian dari identitas nasional.
Pada akhirnya, Suku Bonokeling adalah cerminan dari kebijaksanaan lokal yang memberikan pelajaran berharga bagi dunia yang terus berubah. Mereka mengajarkan kita untuk hidup selaras dengan alam, menghormati perbedaan, dan menjaga nilai-nilai leluhur di tengah tantangan zaman. “Apa yang kami lakukan adalah untuk semua orang,” tutup Kyai Sumitro.
“Kami menjaga karena ini bukan hanya tentang Bonokeling, tetapi tentang keberagaman yang lebih luas, tentang Indonesia.” Dengan segala tantangan yang mereka hadapi, Suku Bonokeling tetap berdiri tegak sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang menghubungkan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Sebagai bangsa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa tradisi ini tidak hanya bertahan, tetapi juga terus dihargai sebagai warisan budaya yang tak ternilai.