Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Tingkatan Jiwa Manusia Menurut Islam (1)

1 min read

Setiap manusia yang lahir ke dunia tentu tidak pernah lepas dari melakukan kesalahan dan dosa. Seiring dengan berjalannya waktu, kesalahan dan dosa yang tidak dievaluasi akan semakin menumpuk dan menjadi penghalang atau hijab antara manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan mesti mempunyai waktu khusus untuk memeriksa dan menilai apa yang telah dilakukannya dalam hari-harinya. Dan di momen akhir tahun ini, bisalah kita jadikan sebagai waktu khusus itu untuk kita evaluasi diri, introspeksi, atau muhasabah atas segala apa yang telah kita lakukan selama satu tahun belakangan.

Allah mengisyaratkan kepada kita untuk bermuhasabah. Dalam Al-Quran, Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ (١٨) وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ (١٩)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18-19)

Selain itu, Rasulullah SAW pun mendorong umatnya untuk bermuhasabah.

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

 “Dari Syadad bin Aus RA, Rasulullah bersabda: “orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT,”” (HR. Tirmidzi).

Satu ungkapan menarik dari Imam Hasan Al-Bashri, salah seorang sufi yang banyak dinukil petuah-petuah bijaksananya, yakni: “seseorang tidak akan mendapatkan predikat ketakwaan sampai dia melakukan muhasabah kepada dirinya lebih ketat dibanding seorang teman yang bermuhasabah terhadap temannya.”

Artinya, jika kita mengaku sebagai orang yang bertakwa, maka kita akan sangat memperhatikan segala apa yang kita lakukan. Jika kita mengaku sebagai orang yang bertakwa, kita akan senantiasa memeriksa dan menilai segala apa yang telah kita lakukan mulai dari hal yang kita anggap besar sampai hal yang paling sepele sekalipun. Kita lebih intens memuhasabahi diri kita sendiri dibanding terhadap yang lain, karena perkembangan diri kita terjadi adalah dengan membenahi diri sendiri bukan orang lain. Upaya muhasabah adalah upaya evaluasi diri bagi kita untuk melangkah semakin dekat pada Allah setelahnya.

Baca Juga  Pengalaman dan Pengamatan Dramaturgi pada Hari Raya Idulfitri

Satu bahan bagi kita untuk bermuhasabah, yakni kita mengidentifikasi apa status jiwa kita. Kita menengok ke dalam diri kita, kemudian kita mengindentifikasi apa dan bagaimana kondisi kejiwaan kita. Dari Imam Ghazali, Syekh Abdul Qodir Jaelani, juga Imam Mawardi, dijelaskan bahwa kondisi kejiwaan seseorang terbagi dalam empat tingkatan. Kondisi jiwa yang paling rendah, berstatus Amarah. Kondisi jiwa yang lebih tinggi satu tingkat di atasnya, berstatus Lawwamah. Kemudian satu tingkat lagi di atasnya, statusnya ialah Mulhamah. Dan puncak dari kondisi kejiwaan seseorang berstatus Mutmainah.

Untuk mengetahui apa status jiwa kita, adalah dengan merenungkan apa yang kita lakukan dan bagaimana perasaan ketika melakukan itu, merupakan jalannya. Jika kita selama satu tahun belakangan ini masih suka melakukan hal-hal yang dilarang, dosa, maksiat, dan sejenisnya; yang mana kita merasa biasa saja, nyaman-nyaman saja ketika melakukannya; berarti kita ada pada tingkatan jiwa Amarah. Ketika kita sudah salah tapi enjoy saja, ini menandakan status jiwa kita adalah Amarah.

Selanjutnya: Tingkatan Jiwa Manusia…. (2)

 

Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya