Khoirun Niam Eksekutif Editor Journal of Indonesian Islam; Alumnus Freie Universitaet Berlin Jerman

Belajar Dari Cara Penyikapan Ulama Terdahulu Dalam Menghadapi Pandemi (Bag-2 Habis)

3 min read

Hanya Ilustrasi Saja. Foto: https://redaksiindonesia.com/
Hanya Ilustrasi Saja. Foto: https://redaksiindonesia.com/

Kelima, perspektif mistik, ghaiby. Perspektif mistik ditunjukkan dengan mengedepankan keyakinan bahwa ada unsur mistis, yang ghaib dibalik terjadinya wabah. Sehingga upaya untuk mengatasinya diwujudkan dengan praktek-praktek mistikal. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqallany (w. 852 H/1448 M) dalam kitab “Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn”.

Pada Bab kedua: fasal (3) buku ini menunjukkan bahasan tentang hadis-hadis terkait dan penjelasan bahwa tha’un merupakan kejahatan Jin, kemudian pada fasal (6) diberikan penjelasan bahwa Jin menguasai dan memaksa manusia, fasal (7) hikmah tentang penguasaan Jin, (8) tetang doa-doa (zikir) yang akan menjaganya dari tipu daya Jin, lalu penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an, dan doa-doa Nabi saw. Zakariyah bin Muhammad bin Zakariya al-Anshary (w. 926 H/1519 M) dalam “Tuhfah ar-Rāghibīn fī Bayān Amr ath-Thawāghīn” juga menunjukkan aspek mistis dalam masalah tha’un. Naskah “Hadāiq al-‘Uyūn al-Bāshirah fī Akhbār Ahwāl ath-Thā’ūn wa al-Ākhirah”  ditulis oleh Burhan ad-Din Ibrahim bin Abi Bakr bin Ismail al-Hanbaly (w.1094 H/1682 M) juga memberi gambaran tentang aspek-aspek mistis yang diterangkan pada Bab ke-7 dan ke 8 bukunya.

Keenam, perspektif astronomi. Pada perspektif ini, sikap terhadap adanya wabah ditunjukkan dengan mengedepankan pemahaman bahwa penyebab wabah itu karena pengaruh astronomis. Jejak historis dari sikap ini dapat dilihat dalam buku Muhammad bin Abdillah bin al-Khathib (w. 776 H/1374 M) berjudul  Muqni’ah as-Sā’il ‘an al-Maradh al-Hā’il Naskah ini membahas tentang penyakit Tha’un yang mewabah dan menjadi momok di Andalusia tahun 749 H/1348 M. Menurutnya, sebab wabah itu ada dua. Pertama, sebab jauh (sabab aqsha), yaitu terkait aspek astronomis seperti konjungsi (ijtimak) yang memengaruhi dunia sebagaimana diklaim oleh para pemuka astrologi (ahli nujum), lalu dokter mengambil dan menggunakannya. Kedua, sebab rendah (sabab adna), yaitu tercemarnya udara, khususnya di lokasi pertama kali muncul. Lalu indikasi (gejala)nya adalah: demam epidemi atau holokaus dengan segenap yang menyertainya, batuk darah (hemoptisis), penumpukan nanah (abses) di telinga dan ketiak, atau di selangkangan tubuh, dan lainnya.

Baca Juga  Dramaturgi Pemuka Agama di Indonesia

Ketujuh, perspektif psikologi. Sikap pada perspektif ini ditunjukkan dengan adanya aspek psikologi yang mewarnai dalam melihat pandemi. Hal ini dapat dilacak dari buku Muhammad bin Abdillah bin al-Khathib (w. 776 H/1374 M) berjudul Muqni’ah as-Sā’il ‘an al-Maradh al-Hā’il di buku ini disebut sisi psichologis dari wabah dimana “Al-maradh al-ha’il” (penyakit akut) itu  terkait dengan jiwa (ruh). Buku al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthy (w. 911 H/1505 M) berjudul “Ma Rawahu al-Wa’un fi Akhbar ath-Tha’un” juga menyebut pentingnya perspektis psichologis ini.

Pada Bab kedua buku ini Al-Suyuthy menjelaskan betapa pentingnya sikap sabar manakala seseorang atau sekelompok orang ditimpa wabah. Juga dijelaskan balasan bagi orang-orang yang sabar terhadap musibah ini.

Kedelapan, perspektif sosial. Pada perspektif ini sikap terhadap pandemi ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk mengambil jarak antara satu dengan yang lain (social distencing), melakukan isolasi diri, tetap tinggal di rumah (al-sukut wa luzum fi al-bait). Sikap seperti ini dapat dilihat dari Al-Hasan bin Ahmad bin ‘Abd Allah al-Baghdady (w. 471 H/1078 M) dalam bukunya berjudul  Ar-Risālah al-Mughniyah fī as-Sukūt wa Luzūm al-Buyūt .

Secara umum, pembahasan buku ini adalah sebagai berikut: (a) Bab tentang keselamatan manusia, yaitu dengan diam dan menjaga lisan. Disini Al-Baghdady banyak mengutip hadis-hadis Nabi saw; (b) Bab tentang berdiam diri di rumah (as-sukut wa luzum al-bait); (c) Bab apa yang wajib dilakukan ketika muncul fitnah, yaitu dengan mencari keselamatan dan menetap di negeri; (d) Bab tentang berinteraksi sesuai keperluan dan meninggalkan sesuatu yang tidak memiliki urgensi.

Problematika Penyikapan Pandemi

Lalu dari sekian perspektif penyikapan ulama masa lalu terhadap masalah pandemi Corona itu mana yang dominan diejawantahkan di tengah masyarakat kita saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak mudah, perlu melakukan penelitian yang mendalam. Namun fenomena yang terjadi di masyarakat kita, sebagaimana yang sempat diberitakan di media media elektronik ataupun yang viral di media sosial dapat menjadi acuan untuk menilai.

Baca Juga  Setelah Ramadan, Yuk Siapkan Ibadah Normal Baru

Menurut hemat saya perspektif teologis i’tiqadiyyah, perspektif syari’ah, perspektif Ritual Ubudiyyah terlihat banyak dijadikan motif bersikap masyarakat. Atas dasar keimanan dan ketaatan terhadap aturan syari’ah serta keinginan untuk menjalankan ibadah secara maksimal, itu yang kemudian masyarakat kita memilih untuk tetap menjalankan Shalat Rawatib berjamaah di Masjid, menjalankan sholat jumat dan di bulan ramadan melaksanakan sholat tarawih di Masjid.

Anjuran untuk sosial distancing, mencuci tangan, memakai masker, membawa sajadah sendiri semua dilakukan sehingga dengan alasan telah melaksanakan Protokol Covid-19 ini Shalat berjamaah di masjid dilaksanakan. Ditambah lagi, posisi masjid yang berada di daerah yang bukan zona merah, di komplek perumahan atau di permukiman yang homogin, tidak ada orang keluar masuk turut menguatkan pelaksanaan jamaah di masjid. Lebih lebih lagi dinaungi dengan Kesepakatan Tokoh setempat sebagai dasar legal formal.

Dengan demikian anjuran untuk luzum fi al bait, tetap di rumah, sebagaimana yang dikemukakan Al-Hasan bin Ahmad bin ‘Abd Allah al-Baghdady tidak dilaksanakan. Dengan kata lain perpektif sosiologis menjadi diabaikan.

Sebenarnya perspektif ekonomi menjadi motif penting di realitas masyarakat kita saat ini. Namun kalau dikembalikan ke bukti-bukti tertulis di berbagai naskah di atas, perspektif ini tidak dapat ditemukan.

Fakta lain adalah sikap yang bermotifkan perspektif ritual. Justru disaat pandemi ini diperlukan upaya bathiniyyah untuk memanjatkan doa kepada Allah agar wabah ini segera diangkat. Untungnya doa itu dilaksanakan dengan tetap menjaga jarak atau bahkan menggunakan media online, berdoa bersama dari rumah masing-masing.

Ada hal yang menarik dari perspektif mistis di masyarakat kita. Disamping doa yang dipanjatkan, ada diantara tokoh yang memberikan ijazah dan anjuran untuk mengenakan atribut tertentu, seperti gelang yang terbuat dari janur sebagai media untuk menolak wabah. Sehingga atas keyakinan bahwa media itu akan membuat seseorang terlindungi, maka dimensi psikologis akan dapat dikuatkan, secara batin akan tenang.

Khoirun Niam Eksekutif Editor Journal of Indonesian Islam; Alumnus Freie Universitaet Berlin Jerman

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *