“Di dalam (kebun itu) ada mawar, melati, anggrek, asoka. Semuanya cantik. Tak satu pun bisa memaksa mawar untuk menjadi melati, atau anggrek menjadi asoka,” (Shinta Nuriyah,2018).
Ibu Sinta mengkritik konsep harmoni yang di masa orde baru dipahami sebagai keseragaman. Menurutnya, dibutuhkan pendefinisian ulang atas hakekat sebuah hubungan, tidak hanya dalam konteks relasi suami-istri, lelaki-perempuan, namun juga rakyat dan negara. Seharusnya dialog, diskusi, beda pendapat atau mengakui secara ksatria pendapat orang lain, menjadi dasar hubungan antar manusia di Indonesia.
Salah satu fondasi dari itu semua adalah diawali dengan pengakuan dan penghormatan atas kemandirian masing-masing. Thus, dalam konteks bernegara adalah pengakuan terhadap setiap entitas yang ada didalamnya.
Selanjutnya dalam orasi ilmiahnya, Ibu Sinta menekankan bahwa hidup secara harmonis, toleran, saling tolong menolong diantara sesama manusia merupakan tujuan dari penciptaan laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan bergolong-golongan, yang dalam kontek Indonesia diikat dengan nilai Bhineka Tunggal Ika.
Ibu Sinta membagi pengalamannya dalam kegiatan sahur keliling lintas iman yang menjadi media pertemuan antar agama, kelas sosial, dan suku di Indonesia. Aktivitas sahur keliling yang menurutnya untuk menempa ketakwaan, membangun solidaritas sosial sekaligus mempertajam pengertian tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Selain melalui sahur keliling, khusus untuk isu perempuan dari agama minoritas, Ibu Sinta pernah menjadi Pelapor Khusus Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (2014). Dalam laporannya, ditemukan bahwa kerentanan atas kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama dalam situasi intoleransi.
Perempuan mendapatkan dua lapisan diskriminasi, yaitu karena ia perempuan dan minoritas agama. Dalam “Peta Pemikiran dan Perjuangan” yang menjadi lampiran orasi ilmiah, isu ketidakaadilan jender ditempatkan bersama dengan minoritas suku, ras, agama, kelompok marjinal, kaum dimiskinkan dan disabilitas sebagai sebuah kondisi yang harus diubah atau ditransformasi. Ini menegaskan bahwa perjuangan keadilan jender, tidak dapat dilepaskan dari perjuangan kelompok-kelompok minoritas dan rentan lainnya yang diarahkan kepada nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Saya menyadari keterbatasan dalam memahami peta pemikiran dan perjuangan bu Sinta secara menyeluruh. Oleh karenanya, dibutuhkan eksplorasi yang lebih operatif sebagai panduan dalam menemukan feminisme ke-Indonesian, yang oleh Bu Sinta disebut Feminisme Pancasila. Setidaknya, berikut yang dapat saya pahami.
Arena/Ranah Perjuangan
Arena atau ranah juang yang disasar adalah perubahan paradigma dan perubahan praktik yaitu: (a) Tekstual menjadi konstekstual; (b) Patriarki menjadi egaliter (c) Eksklusif menjadi inklusif.
Sebagaimana kita ketahui dalam melakukan penafsiran terhadap Alquran dan Hadis, terdapat dua pendekatan yaitu tekstual dan kontekstual. Pendekatan tekstual adalah suatu usaha dalam memahami makna tekstual dari ayat-ayat Alquran, lebih berorientasi pada teks dalam dirinya. Pendekatan tekstual cenderung menggunakan analisis yang bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks) yaitu memfokuskan pembahasan pada gramatikal-tekstual.
Praksis yang menjadi muaranya adalah lebih bersifat ke-araban, sehingga pengalaman sejarah dan budaya di mana penafsir dengan audiennya sama sekali tidak punya peran. Teori ini didukung oleh argumentasi bahwa Alquran sebagai sebuah teks suci telah sempurna pada dirinya sendiri.
Sedangkan pendekatan kontekstual yang dimaksud di sini adalah pendekatan yang mencoba menafsirkan Alquran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi, dan antropologi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu Alquran berlangsung.
Selanjutnya, penggalian prinsip prinsip moral yang terkandung dalam berbagai pendekatan. Secara substansial, pendekatan kontekstual ini berkaitan dengan pendekatan hermeneutika, yang merupakan bagian di antara pendekatan penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologi, dan filosofis (M. Solahudin,2016).
Selain pendekatan tekstual dan kontekstual, banyak penafsir berjenis kelamin lelaki dan memiliki penafsiran yang masih “bias gender” yang menyebabkan timbulnya tafsir misoginis. Hal ini menyebabkan posisi perempuan Islam kehilangan akses, manfaat dan partisipasi yang setara dengan lelaki.
Tafsir keagamaan menjadi salah satu alat untuk melanggengkan berbagai bentuk ketidakadilan jender. Kondisi inilah yang menjadikan perempuan tidak mandiri, sekaligus tidak terbangun kesalingan antara lelaki dan perempuan, antara suami-istri.
Melalui Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) dilakukan kritik sekaligus tafsir ulang atas kitab kuning yang cenderung bias gender. Salah satunya adalah melakukan penafsiran terhadap kitab Uqud Al-Lujjayn karya Nawawi Al-Bantani, seorang ulama abad ke-19 asal Indonesia yang lantas mengajar dan berdomisili di Arab Saudi. Walau bukan rujukan utama, namun menjadi bacaan di lingkungan pesantren terkait relasi suami-istri.
Hasil penafsiran ulang dipublikasikan dalam buku berjudul “Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab Uqud Al-Lujjayn. Selanjutnya, melalui Pesantren untuk Pemberdayaan Perempuan (PUAN Hayati) memberikan persfektif keadilan jender kepada para tokoh agama di pesantren, dan pengasuh pesantren, sekaligus bergerak dalam kasus-kasus yang di antaranya melibatkan kekerasan terhadap perempuan. Dalam pergerakannya, lembaga tersebut menjadikan pesantren sebagai basis gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Penafsiran kontekstual juga senantiasa ditekankan dalam menafsirkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam bukan hanya sekadar banyak tidaknya jumlah pemeluk, akan tetapi bagaimana ia berperan menjaga persaudaraan terhadap sesama demi terciptanya perdamaian.
Maka kemudian atas dasar pemahaman terhadap ajaran agamanya, Ibu Sinta menilai bahwa persaudaraan sejati adalah nilai yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia. Yaitu semua terhimpun dalam satu kesatuan dengan sebutan “Bhineka Tunggal Ika” yaitu (1) Satu bangsa, bangsa Indonesia 2) Satu Bahasa, Bahasa Indonesia, 3) satu negara, negara Indonesia, 4) Satu pemerintahan, pemerintahan Indonesia dan 5) Satu ideologi, ideologi Pancasila.
Persamaan-persamaan itulah yang mendorong terjalinnya persaudaraan sejati diantara bangsa Indonesia. Saling tolong menolong dan hidup bergotong royong, karena manusia sesungguhnya merupakan saudara seperjalanan dalam mengarungi kehidupan.
Pendekatan
Untuk mencapai perubahan paradigma dan praktik diatas, terdapat lima pendekatan yaitu: (1) Normatif teologi; (2) Spiritual aktif; (3) Berbasis komunitas; (4) Pengalaman Perempuan; (5) Feminitas aktif dan berdaya serta (6) Kebangsaan. Pendekatan tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Namun, dalam konteks gerakan perempuan yaitu pengalaman perempuan dan feminitas aktif dan berdaya.
Pengalaman perempuan telah lama menjadi pusat penelitian para feminis. Membawa suara dan berbagi pengalaman perempuan sebagai kunci untuk mengembangkan persaudaraan dan untuk membangun ketahanan kolektif perempuan. Metode ini memperlihatkan bahwa situasi keseharian perempuan dalam mengelola kehidupan dan menumbuhkan kehidupan baru, setara dengan teori-teori besar yang ada. Perempuan memiliki cara pandang berbeda dalam melihat persoalan yang kerap luput dari cara pandang mainstream yang serba maskulin.
Karenanya. kemudian pendekatan yang dilakukan adalah berbasis kepada feminitas seperti kasih sayang, toleran dan persaudaraan, tidak menimbulkan kerusakan dan melakukan pembelaan kepada yang lemah.
Strategi
Strategi untuk mencapai perubahan tersebut dilakukan melalui: (1) Pengorganisasian dan jaringan, (2) pendampingan/konseling, (3) produksi pengetahuan dan penerbitan (4) membangun lembaga, dan (5) pemberdayaan.
Sejak pencarian awal, apa yang saya dapatkan terkait “Feminisme Pancasila”? Bisa dikatakan sebagai upaya-upaya untuk memperjuangkan keadilan jender, termasuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang bersandar kepada nilai-nilai Ketuhanan dan KeIndonesian, kemanusiaan lelaki dan perempuan yang setara, yang mengedepankan proses demokrasi dan ditujukan sebagai bagian untuk mencapai keadilan sosial.
Dari pengalaman Ibu Sinta Nuriyah sebagai feminis, ketakutan bahwa feminisme menolak berkeluarga dan mengutamakan individu perempuan tidaklah terbukti. Karena keluarga yang harmonis dibentuk berdasarkan kemandirian setiap individu dan kesalingan suami-istri untuk sama-sama saling menyayangi, menghormati, menghargai dan mengembangkan kapasitasnya. (HM)