Prasyarat kedua, pengakuan dan penghormatan atas kemandirian masing-masing sebagai pembentuk harmoni dalam keluarga.
Ketika membincang Pancasila, yang muncul di benak saya adalah bagaimana Pancasila ditafsirkan semasa orde baru. Penafsiran tersebut tentu mempengaruhi di mana dan pada sisi mana peran perempuan ditempatkan dalam kehidupan keluarga, berbangsa dan bernegara.
Setidaknya, Orde Baru memberikan peran pada perempuan dalam istilah Panca Dharma Wanita, yaitu: pertama, perempuan sebagai pendamping setia suami. Kedua, perempuan sebagai pencetak generasi penerus bangsa. Ketiga, perempuan sebagai pendidik dan pembimbing anak. Keempat, perempuan sebagai pengatur rumah tangga. Kelima, perempuan sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Perempuan memiliki kewajiban utama untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera alias harmonis. Ibu Sinta Nuriyah menilai konsep harmoni sebagai berikut:
“Ternyata nilai harmoni yang selama ini diagungkan telah melahirkan sebuah hubungan semu dan artifisial. Kaum perempuan diajarkan untuk menipu diri mereka sendiri. Segala penderitaan harus mereka telan, harus mereka terima atas nama harmoni dan keutuhan sebuah relasi dalam keluarga. Ketimpangan hubungan yang membuahkan ketidakadilan harus diterima kaum perempuan sebagai bagian dari bakti istri kepada suami, bakti perempuan terhadap nusa dan bangsa dan inilah eksistensinya sebagai manusia. Lebih parah dari itu atas nama harmoni kita diajarkan untuk mengubur dan menyembunyikan konflik, sebab perbedaan pendapat dianggap sebagai lambang ketidakharmonisan…”
Ibu Sinta mengakui bahwa terdapat relasi tidak imbang dalam relasi suami-istri, dan secara umum perempuan harus berkorban, termasuk kehilangan penikmatan haknya sebagai individu demi harmoni yang ditafsirkan tunggal yaitu seragam. Untuk mengatasinya, Ibu Sinta mengajak kembali kepada kemandirian para pihak dalam rumah tangga.
Menurutnya: “Proses harmoni sejati hanya bisa dijalankan dalam sebuah hubungan jika masing-masing pihak menjadi diri mereka sendiri. Hubungan harmonis hanya bisa terbina jika eksistensi kedua belah pihak saling diakui dan dihargai”. Ini berarti, suami istri harus berada dalam posisi setara, dan saling mengakui dan menghargai pasangannya sebagai individu yang mandiri
Relasi “Ke-Saling-an” Suami-Istri
“Segala sesuatu urusan rumah tangga itu urusanmu. Aku yang bagian keluar,” begitu Ibu Sinta Nuriyah mengingat kesepakatannya dengan Gus Dur, suaminya. Pembagian peran ini dibangun sejak masa awal perkawinan. Namun, tidak berarti bahwa suami tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan.
Dalam biografi Gus Dur karangan Greg Barton diungkap bahwa karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar Pekerja Rumah Tangga (PRT) maka Gus Dur-lah yang bertanggungjawab mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan air seperti mencuci baju, mencuci piring dan mengepel.
Walau Barton menyatakan pekerjaan-pekerjaan tersebut dipilih sebagai upaya Gus Dur untuk mendinginkan badannya, namun saya melihatnya sebagai bentuk kontribusi dan keluwesannya dalam berbagi tugas kerumah tanggaan.
Demikian halnya, keluwesan juga dilakukan Ibu Sinta. Walau keduanya sama-sama bekerja, namun tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka berjualan “kacang tayamum” dan “es lilin Gus Dur”, di mana Ibu Sinta yang membuatnya dan Gus Dur yang bertugas mengantarkannya ke warung-warung dengan skuter vespanya. Begitupun dalam persoalan jumlah anak, Gus Dur yang ingin memiliki jumlah anak yang lebih banyak, harus berkompromi dengan Ibu Sinta yang menilai 4 orang anak perempuan telah cukup.
Apa yang digambarkan di atas memperlihatkan relasi yang setara, dan rumah tangga yang sehat. Konsep “ke-saling-an” suami-istri ini bersumber dari “Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,” bagian ayat ke-187 dari surat al-Baqarah yang artinya: “mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun pakaian bagi mereka”. Konsep ini juga menjadikan setiap kesulitan menjadi tantangan untuk diselesaikan bersama, bukan dengan menggunakan kekerasan atau dominasi salah satu atas yang lainnya. (HM)