M. Hariri Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Dilema Relasi Pancasila dan Agama

2 min read

Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Physics pernah mengatakan bahwa ketidakcocokan elemen yang berbeda-beda di dalam sebuah benda akan saling menghancurkan atau menenggelamkan satu sama lain.

Teori Aristoteles tersebut dapat menjadi mata kajian pada Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang berwajah keberagaman. Persoalan Pancasila adalah nilai-nilainya yang tak sepenuhnya berjalan di negeri ini. Sempat pula menuai penolakan dari beberapa ormas karena tidak mampu menopang negeri ini dengan baik.

Pancasila masih dalam keambiguan sebagai ideologi dasar negara. Efek dari tidak adanya nilai lima sila dari segenap praktik kehidupan, keberagaman negeri ini tampak tidak elok lagi.

Misalnya maraknya fenomena kekerasan, ketakadilan, aksi membela agama, dan hukum yang timpang adalah akibat Pancasila yang belum sepenuhnya menjadi dasar negara ini. Pancasila hanya sebatas teriakan, materi sekolah, dan sentimen-sentimen politis.

Buktinya, orasi-orasi nilai keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam Pancasila oleh para pejabat pemerintahan, seringkali berujung sebaliknya, yaitu memberangus nilai-nilai Pancasila. Orasi kesejahteraan berujung korupsi dan keadilan berujung menindas kaum lemah.

Yang tak kalah ironis adalah ASN sering kali terpapar paham radikalisme, menolak Pancasila, dan menginginkan khilafiah. Kenyataan ini memilukan karena sebagai aparat negara seharusnya sangat mendalami Pancasila dan mewujudkannya secara praktik.

Jika kenyataan ini terus muncul tanpa perubahan, calon-calon ASN akan sama seperti sebelumnya, yakni mudah terpapar paham radikal. Seleksi yang begitu ketat guna mencari calon bertalenta dan bermental baik tidak begitu berguna. Sebabnya, radikalisme mudah masuk akibat lemahnya Pancasila secara praktik.

Untuk itulah Salahuddin Wahid bertanya, apakah Pancasila yang tidak relevan atau kita yang belum mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila (Kompas, 05/12).

Relasi Pancasila dan Islam

Melihat lebih detail, sesuai teori di atas, sebabnya karena Pancasila dan elemen-elemen keberagaman di negeri ini tidak membentuk relasi yang seimbang, utamanya agama. Meskipun Pancasila sering dibicarakan di banyak forum, nyatanya terkadang hanya sekadar omdo (omong kosong). Praktik secara nyata masih sangat minim terealisasi.

Baca Juga  Keselarasannya Pendidikan Paulo Freire dan Islam

Sebenarnya nilai-nilai Pancasila sudah sangat tepat dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Jika keduanya betul-betul nyata secara praktik, akan berimbas keharmonisan. Sayangnya, praktik yang belum nyata sepenuhnya membuat seolah Pancasila dan Islam tidak cocok.

Coba bayangkan, kalau kita benar-benar hidup dan berbangsa dengan nilai-nilai Pancasila, cara beragama kita tidak hanya sebatas beriman semata, melainkan merefleksikan Islam sebagai rahmat li al-‘ālamīn sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad SAW.

Problemnya Pancasila sebatas dasar negara tanpa kepercayaan atau keimanan, belum kunjung disadari khalayak. Forum-forum Pancasila sebatas pendalaman, namun nilai-nilainya luntur karena tak berbuah iman. Dakwah keislaman dan Pancasila di berbagai majelis taklim kurang efektif lantaran hanya agama yang menjadi keyakinan dan Pancasila sebagai bentuk keambiguan.

Pemerintah mensosialisasikan Pancasila di berbagai forum dan tempat di saat meluasnya radikalisme, namun mereka korupsi, tidak adil, merampas hak rakyat yang justru bertentangan dengan Pancasila. Fenomena ini menyimpulkan bahwa bukan Pancasila tidak cocok dengan Islam, melainkan kitalah yang belum mampu menghubungkan keduanya.

Pancasila sebagai Keimanan

Melalui kajian tadi sudah saatnya menjadikan Pancasila sebagai keimanan sebagaimana keyakinan kita terhadap agama. Karena perbedaan terbesar keimanan pada agama dan Pancasila sudah membuat keduanya beradu saling menenggelamkan secara tak sadar.

Untuk memulainya, pertama harus dari pemerintah sebagai objek acuan negara. Praktik-praktik yang luput dari lima sila harus segera dibenahi. Tidak korupsi, menegakkan keadilan secara rata, dan tidak hanya menyejahterakan dirinya sendiri, tapi rakyat seluruhnya.

Dalam kampaye tidak menggunakan agama sebagai alat politis untuk meraih kemenangan, yang sering memicu sikap reaktif dan membuat umat terbengkalai. Dalam hal ini cara politis berkedok agama sering kali membuat nilai-nilai dalam agama Islam tidak selaras lagi dengan Pancasila. Padahal semua agama, khususnya Islam, sangat menjunjung keadilan, kejujuran, dan keadilan.

Baca Juga  Digiseksual: Fenomena Seksual Era Modern yang Dilarang dalam Al-Qur’an

Kedua, media. Media dengan segenap kepentingan jurnalistiknya tetap harus menjaga relasi antara agama dan Pancasila. Tidak memuat berita sentimen agama yang mengundang sensitivitas agama. Karena selama ini (tidak bermaksud menuduh) kebebasan media pers lebih melihat peluang kualitas dan pembaca, namun efek-efek beritanya terkadang memicu persoalan.

Dalam hal ini, media pers harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai acuan pemberitaan. Mengukur dan mewanti-wanti berita-berita yang tampak berkualitas, namun berpotensi SARA. Misalnya kasus Ahok dan Sukmawati yang seharusnya tidak gencar pemberitaannya.

Akhirnya pemberitaan tersebut menanggung aksi 212 sebagai reaksi umat Islam terhadap kasus itu. Memang tampak tak bermasalah, tapi secara pandangan Pancasilais, memicu keributan tidak baik dilakukan. Karena nilai-nilai Pancasila menuntut hidup yang harmonis.

Ketiga, menjadikan Pancasila sebagai materi utama di lembaga pendidikan. Acuannya sangat luas, utamanya akan berdampak pada mental pelajar dan kreasi-kreasi mereka setelah lulus. Hal itu penting sekali, karena masa depan dan inovasi generasi baru yang berbasis nilai-nilai Pancasila akan mengubah Indonesia lebih baik lagi.

Mari kita mulai kembali menanamkan Pancasila sebagai sebuah keyakinan, seperti halnya keyakinan kita pada agama serta menjadikan keduanya sebagai elemen-elemen—yang meminjam bahasa Aristoteles—selalu seimbang dan serasi. [MZ]

M. Hariri Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya