Ahmad Rusdi Alumnus Ma'had Fath al-Islami Damaskus; Guru Ngaji, ASN Kementerian Agama RI

Pengorbanan Siti Hajar di antara Ikhlas atau Rida

3 min read

Jelang hari ‘Idul Adha, saya menerima kiriman postingan yang inspiratif dari seorang sahabat, dan beliau juga “Copas” dari sahabat lainnya. Tulisan itu berjudul “Siti Hajar Protes”.

Mengapa suaminya, Ibrahim as, meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih kecil di padang pasir yang tak bertuan? Seperti jamaknya, dia hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya putra.

Siti Hajar mengejar Nabi Ibrahim AS seraya berteriak:

“Mengapa engkau tega meninggalkan kami disini, bagaimana kami bisa bertahan hidup?

Ibrahim AS terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh.

Remuk redam perasaannya terjepit antara pengabdian dan pembiaran.

Siti Hajar masih terus mengejar sambil terus menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit.

“Wahai suamiku, ayahanda Ismail, Apakah ini Perintah Tuhanmu?”

Kali ini Ibrahim as, Sang Khalilulloh, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim AS. Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seolah berhenti meniup.

Pertanyaan dan gugatan Siti Hajar membuat semuanya terkesiap. Nabi Ibrahim as membalik tegas, dan berkata, “Iya, ini perintah Tuhanku!”

Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan…

“Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah wahai suamiku. Tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir, Allah akan menjaga kami.”

Ibrahim as pun beranjak pergi. Dilema itu punah sudah.

Itulah Ikhlas yang merupakan wujud dari sebuah keyakinan mutlak pada Sang Maha Mutlak. Ia adalah kepasrahan, bukan mengalah apalagi menyerah kalah.

Ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup untuk berlari, mampu utk melawan dan kuat utk mengejar, namun engkau memilih utk patuh dan tunduk.

Baca Juga  Jelang Eksekusi Mati al-Hallāj dan Bunga di Keranjangnya

Ikhlas adalah sebuah kekuatan utk menundukkan diri sendiri, dan semua yang engkau cintai; memilih jalan-Nya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain.

Ikhlas bukan lari dari kenyataan, bukan karena terpaksa, bukan merasionalisasi tindakan, bukan pula mengkalkulasi hasil akhir. Ikhlas tak pernah berhitung, tak pernah pula menepuk dada.

 

Setelah ditinggal suaminya, Hajar mengendong putranya, Ismail. Dengan merasakan lapar dan haus, Hajar terduduk dan kaki Ismail mengepak ngepak ke pasir dan keluarlah air, yang kita sebut air Zamzam, di situ Siti Hajar dan Ismail hidup selama belasan tahun. Setelah lsmail remaja datanglah Ibrahim dengan perintah Allah untuk menyembelih Ismail.

Ismail dan Ibrahim ikhlas dan patuh kepada Allah, maka ketika sudah dibaringkan ternyata Allah swt mengganti Ismail dengan domba.

Setiap kita adalah Ibrahim dan setiap Ibrahim punya Ismail. Ismailmu mungkin hartamu, mungkin jabatanmu, egomu. Atau, Ismailmu adalah sesuatu yang kau sayangi di dunia ini. Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa kepemilikan terhadap Ismail karena hakikatnya semua adalah milik Allah.

Tulisan yang sangat inspiratif, dan menginspirasi saya juga untuk menulisnya di Renungan subuh. Postingan di atas tersebut menimbulkan pertanyaan di diri saya tentang sikap yang ditunjukkan oleh Hajar saat menerima suaminya (Ibrahim as) pergi meninggalkan dirinya; apakah sebuah keikhlasan atau keridaan? Lalu ketika Ibrahim pergi meninggalkan istrinya untuk melaksanakan perintah Allah swt, itu sebuah keridaan atau keikhlasan?

Saya tidak berada dalam posisi ingin menilai postingan yang inspiratif tersebut. Yang jelas postingan tersebut menginspirasi saya untuk menulis renungan ini. Di samping ada alasan lain agar tulisannya agak panjang.

Baca Juga  Gus Baha’ dan Kisah Pemuda yang Menjadi Wali Karena Lari dari Kesempatan Berzina

Saya kutipkan ungkapan yang cukup menarik dari imam Rabiy’ yang mudah-mudahan bisa mengatarkan kita untuk memahami kata rida dan ikhlas:

قال الربيع علامة حب الله: كثرة ذكره.. وعلامة الدين: الإخلاص لله في السر والعلانية.. وعلامة الشكر: الرضا بقدر الله والتسليم لقضائه

“Berkata Imam Rabiy’: Tanda cinta kepada Allah adalah: dengan banyak mengingatnya… dan tanda agama pada seseorang adalah ikhlas karena Allah baik dalam kesendirian/sunyi maupun dalam keadaan ramai… dan tanda seseorang bersyukur adalah adanya rida terhadap takdir Allah dan menerima apa yang Allah tentukan.” (Muhammad bin Ahmad bin al-Hasan Rofiq, al-Ridā bi al-Qadhā wa al-Qadar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hal.107).

Khalifah Umar bin Adul Aziz dalam salah satu doanya sebagaimana dikutip dalam kitab Sīrah Umar bin Abd al-‘Azīz yang disusun oleh Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn al-Jauzi al-Baghdādī, cetakan al-Muayyad, hal. 195), beliau berdoa: “Allahumma Radhdhinī bi Qadhaik,” ya Allah jadikan aku orang yang rida atas ketentuanmu. Beliau tidak mengatakan jadikan aku orang yang ikhlas atas ketentuan-Mu.

Dengan demikian rida itu terkait sikap kita saat menerima takdir dan ketentuan Allah. Jadi misalnya, ketika kita parkir motor dan sudah pakai kunci pengaman, lalu motor kita dicuri. Menanggapi hal tersebut kita berkata: “ya sudahlah… kagak apa apa saya ikhlas kok.” Kalimat yang pas sebenarnya bukan “saya ikhlas” tetapi “saya rida”, karena itu terkait sikap kita terhadap takdir dan ketentuan Allah. Sementara ikhlas itu terkait dengan amaliah agama (baca: ibadah) yang kita lakukan, baik itu ibadah umum/‘āmmah maupun ibadah khusus/mahdhah yang semuanya kita lakukan semata mata hanya karena Allah.

Jika kita memakai pendekatan santri, rida itu posisi kita sebagai maf‘ūl (objek) sementara ikhlas posisi kita sebagai fā’il (subjek). Untuk contoh hilangnya motor di atas, karena itu dicuri dan posisi kita sebagai maf‘ūl (objek) yaitu kehilangan motor, maka kalimat yang tepat adalah “rida” atas kehilangan motor tersebut. Tapi bila motor tersebut kita sedekahkan, misalnya, maka posisi kita saat itu sebagai fā‘il (subjek) dengan demikian kalimat yang pas adalah “ikhlas”.

Baca Juga  Memperingati Hari Asyura dan Menjauhi Perpecahan

Terkait tulisan inspiratif di atas, silakan para sahabat menilainya, apakah sikap yang ditunjukkan oleh Hajar itu masuk dalam bab ikhlas atau rida, dan begitu pula sikap Nabi Ibrahim as, apakah kalimat yang pas, rida atau ikhlas. Terlepas dari itu semua, yang pasti tulisan di atas menginspirasi kita untuk menjadi hamba Allah yang rida terhadap takdir-Nya dan ikhlas dalam melaksanakan perintah-Nya sebagaimana Nabi Ibrahim AS dan istrinya, Hajar.

Ahmad Rusdi Alumnus Ma'had Fath al-Islami Damaskus; Guru Ngaji, ASN Kementerian Agama RI