Konsep pendidikan pembebasan, seperti yang digagas oleh pemikir Brasil Paulo Freire, adalah pendekatan pendidikan transformatif yang bertujuan memberdayakan individu dan komunitas yang terpinggirkan sehingga memungkinkan mereka untuk memahami dan menentang sistem yang menindas dan mencapai keadilan sosial.
Landasan konsep ini nyatanya memiliki tujuan dan prinsip yang sama dengan pendekatan Islam terhadap pendidikan, yakni mendorong pemberdayaan umat, keadilan, dan kesetaraan. Konsep pendidikan pembebasan memiliki hubungan yang cukup dekat dengan prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam, yang sama-sama mendorong pemberdayaan, kesadaran kritis, dan transformasi sosial.
Konsep pendidikan pembebasan Paulo Freire, yang khas dinarasikan dalam karyanya Pedagogy of the Oppressed, melihat pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan malah sebagai alat dominasi. Inti dari pandangan ini adalah bahwa pendidikan tradisional sering kali melanggengkan struktur kekuasaan yang ada, yang kemudian dapat mengakibatkan penindasan terhadap individu lain.
Sebaliknya, pendidikan pembebasan berusaha untuk membebaskan peserta didik agar tidak terjebak atau dipaksa terjebak dalam keadaan tersebut melalui cara membekali mereka dengan alat analisis yang kritis sehingga dapat melakukan perubahan realitas sosial.
Salah satu prinsip utama pendidikan pembebasan adalah pengembangan kesadaran kritis, yang dikenal sebagai conscientização (kesadaran). Istilah conscientização itu sendiri mengacu pada upaya pembelajaran untuk memahami kontradiksi sosial, politik, serta ekonomi, dan mengambil tindakan melawan elemen realitas yang menindas.
Freire menekankan bahwa seorang pelajar harus menyadari konteks sosial, politik, dan ekonomi mereka untuk menantang status quo. Dalam Islam, konsep ijtihad—yang mendorong penalaran dan penafsiran independen terhadap teks-teks agama—sejalan dengan konsep ini. Dalam konteks ini, umat Islam didorong untuk mempertanyakan dan memahami pengetahuan dan keimanan mereka secara mendalam, menumbuhkan pemikiran independen dan kesadaran kritis.
Lebih jauh, pendidikan pembebasan menekankan dialog dan pembelajaran partisipatif. Hal ini menunjukkan pentingnya suara dan pengalaman pelajar dalam mengalami proses pendidikan. Ini juga tecermin pada prinsip pendidikan Islam yang mendorong keterlibatan aktif dan berbagi pengetahuan dalam proses pembelajaran.
Dalam Islam, pendidikan sangat dijunjung tinggi, dan menuntut ilmu bahkan dianggap sebagai kewajiban setiap muslim. Pendidikan dipandang sebagai sarana perbaikan diri, pencerahan, dan pengembangan insan. Oleh sebab itu, hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan pembebasan untuk memberdayakan setiap individu dalam mengatasi keadaan mereka dan mengembangkan potensi mereka.
Penting diingat bahwa pndidikan Islam tidak terbatas pada studi agama, melainkan mencakup berbagai bidang seperti matematika, sains, kedokteran, dan filsafat. Selama Zaman Keemasan Islam, para cendekiawan muslim bersumbangsih secara signifikan dalam nyaris semua disiplin. Keterlibatan umat Islam terhadap beragam disiplin ilmu tersebut sejalan dengan pendekatan inklusif pendidikan pembebasan, yang menghargai berbagai bentuk pengetahuan dan perspektif sebagai sumber pemberdayaan yang krusial.
Selain itu, pendidikan Islam sangat menekankan pada etika dan pengembangan karakter. Ia berusaha untuk menciptakan individu-individu yang tidak hanya berilmu, melainkan juga memiliki akhlak karimah dan penuh kasih sayang. Dimensi moral ini sejalan dengan tujuan pendidikan pembebasan, yang bertujuan untuk mengembangkan individu yang, selain untuk memahami konteks sosiopolitiknya, juga untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan keadilan.
Keselarasan antara pendidikan pembebasan dan prinsip-prinsip pendidikan Islam dapat dilihat sebagai sinergi gamblang yang dapat mengarah pada pemberdayaan baik secara personal maupun komunal. Kedua paradigma tersebut, pendidikan Islam dan pendidikan pemmbebasan, bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran diri, pemikiran kritis, pemahaman mendalam tentang realitas, serta upaya menegakkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Dalam pendidikan pembebasan, fokus untuk mengatasi penindasan sistemik sejalan dengan prinsip Islam keadilan (‘adl). Al-Qur’an secara tegas menekankan pentingnya menegakkan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Prinsip tarbīyah dalam pendidikan Islam yang menitikberatkan pada pengembangan moral dan karakter melengkapi filosofi pendidikan pembebasan.
Dengan memberikan alat bagi individu yang terpinggirkan untuk memahami dan menentang sistem yang menindas, pendidikan pembebasan sejalan dengan seruan Islam mengenai kesetaraan dan keadilan.
Pendidikan pembebasan juga menjunjung tinggi inklusivitas dan dialog yang selaras dengan prinsip Islam tasamuh (toleransi) dan ihtiram (rasa hormat). Al-Qur’an mengakui keragaman budaya manusia dan mendorong kerja sama di antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Dengan mendorong dialog dan saling pengertian, pendidikan pembebasan dapat membantu membangun jembatan antarkomunitas yang berbeda, sejalan dengan penekanan Islam perihal hidup berdampingan secara damai.
Kedua paradigma tersebut bertujuan untuk menumbuhkan individu yang tidak hanya berpengetahuan tetapi juga berbudi luhur, penuh kasih sayang, dan berkomitmen terhadap kesejahteraan yang lain. Landasan moral ini dapat menjadi pendorong perubahan positif dan transformasi sosial, selaras dengan tujuan pendidikan pembebasan.
Pendidikan pembebasan, sebagaimana digagas oleh Paulo Freire, dan prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam sebenarnya senada dalam upayanya untuk memberdayakan masyarakat serta melakukan perubahan atas realitas. Kedua filosofi tersebut menekankan pentingnya kesadaran kritis, inklusivitas, dan pertumbuhan moral, yang menyediakan setiap individu alat untuk menantang sistem yang menindas dan berupaya mentransformasi realitas sosial.
Di dunia di mana pendidikan sangat penting bagi kemajuan pribadi dan masyarakat, sinergi antara pendidikan pembebasan dan prinsip-prinsip Islam menawarkan kerangka berpikir yang sistemik untuk mengatasi ketidakadilan sosial, membebaskan komunitas yang tertindas, dan menempa individu yang bermoral, penuh kasih sayang, dan berorientasi pada keadilan.
Dengan menggabungkan unsur-unsur dari kedua paradigma tersebut, para pendidik dan pembuat kebijakan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif, inklusif, dan adil bagi pembebasan pribadi dan kolektif.