Muhammad Ali Murtadlo Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo

Mempersiapkan Kehidupan setelah Mati: Sebuah Refleksi Hidup

2 min read

Hidup tak semudah membuat kopi, tinggal masak air, tuangkan kedalam racikan gula dan kopi (terkadang tinggal gunting sachet), lalu kopi pun jadi. Kemudian kita dapat menikmatinya di pagi hari sambil menyatap roti.

Bukan. Hidup tak semudah itu. Bagi saya hidup adalah sebuah perjalanan menuju sebuah kepastian yang setiap orang pasti merasakannya nanti, yakni kematian.

Hidup manusia, kata Martin Heidegger adalah sesuatu kehadiran yang tertuju ke arah kematian. Namun sebelum mencapai ke sana, tentu kita harus mengisinya dengan hal-hal yang berarti agar mendapatkan bekal dan dapat hidup di alam selanjutnya dengan penuh kebahagiaan.

Seringkali hidup membuat saya bertanya-tanya. Sebenarnya klimaks (titik puncak kenikmatan) dari sebuah kehidupan itu seperti apa? Karena, selama ini banyak orang yang rela mati-matian mengejar kesuksesan. Bekerja keras untuk menjadi jutawan, miliaran, bahkan menjadi orang terkaya sedunia. Namun, ketika sudah mencapai kenikmatan itu, misalnya, dengan mempunyai mobil mewah, rumah mewah, uang berlimpah, istri/suami sholehah/sholeh, anak yang sukses dan lain-lain, lalu mau apa lagi?

Toh, akhirnya juga akan ditinggal begitu saja. Benar apa yang dikatakan seorang teman “dan akhirnya semua akan biasa-biasa saja!”

Meskipun demikian saya tidak hendak mengajak menjadi pribadi yang pesimistik dengan menganggap bahwa semua akan berakhir dengan kematian. Saya ingin memaknai bahwa hidup sebenarnya adalah sesuatu yang berharga. Mengapa sangat berharga? Karena, kita akan mati.

Peristiwa kematian itulah yang menjadikan hidup itu berharga. Kita harus mampu mengisi kehidupan dengan hal-hal yang berharga. Seperti yang dikatakan oleh Komarudin Hidayat dalam “Psikologi Kematian”, merenungkan makna kematian tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat pendek. Ibarat orang lomba lari, maka ia akan berpacu karena adanya batas waktu dan garis finis.

Baca Juga  Kisah Cinta Sufi: Cinta Adalah Api dan Aku Kayu Bakarnya (Prolog)

Untuk memaknai hidup, saya juga masih belajar menjadi seseorang yang benar-benar sadar diri. Kesadaran diri itu penting sekali. Orang yang belum mampu menyadarkan dirinya sendiri terkadang akan membuat dirinya bermalas-malasan. Menganggap bahwa hidup hanya cukup untuk melakukan itu-itu saja.

Mahmud Syami Basya Al-Baarudi (W. 1322 H.) menggubah syair menarik bertajuk “Fi intihazil Furshoti” (Memanfaatkan Waktu).

بَادِرِ الفُرْصَةَ وَاحْذَرْ فَوْتَهَا# فَبُلُوْغُ العِزِّ فِي نَيْلِ الفُرَصِ

وَاغْتَنِمْ عُمْرَكَ إِبَّانَ الصِّبَا # فَهُوَ إِنْ زَادَ مَعَ الشَيْبِ نَقَصْ

وَابْتَدِرْ مَسْعَاكَ وَاعْلَمْ أَنَّ مَنْ # بَادَرَ الصَيْدَ مَعَ الفَجْرِ قَنَصْ

إِنَّ ذَا الحَاجَةِ إِنْ لَمْ يَغْتَرِبْ # عَنْ حِمَاهُ مِثْلُ طَيْرٍ فيِ قَفَصٍ

Ambillah kesempatan secepatnya, jangan sampai melewatkannya. Karena kemuliaan itu dicapai dengan memanfaatkan setiap kesempatan.

Pergunakanlah waktumu sejak usia dini. Karena ketika usia beranjak senja dengan bertambahnya uban, umur pun berkurang.

Cepatlah memulai usahamu, ketahuilah bahwa semakin awal seseorang memulai berburu, semakin banyak tangkapan yang ia akan dapatkan.

Sesungguhnya orang yang punya hajat (kebutuhan, mimpi, cita-cita, dll), namun tidak mau beranjak dari kediamannya. Maka ia laksana burung dalam sangkar.

Meskipun hidup akan berakhir pada kematian, kita harus mengisinya dengan menyiapkan bekal. Karena, setelah kematian, kita akan dihidupkan kembali dalam frekuensi alam yang berbeda. Alam yang baru ini tidak serta merta terlepas dengan alam yang kita tempat saat ini. Keduanya saling bertautan. Artinya, apa yang kita lakukan hari ini (di alam ini) akan menentukan bagaimana kehidupan kita nanti (di alam selanjutnya).

Maka, rugi lah kita semua jika dalam kehidupan saat ini, kita terlalu sibuk mengurusi banyak hal yang hanya berguna bagi kehidupan kita di alam ini. Pun demikian pula bagi mereka yang hidup saat ini namun hanya berorientasi pada kehidupan selanjutnya.

Baca Juga  Kebijaksanaan Nabi Zulkifli  

Kehidupan harus berorientasi seimbang, mengusahakan apapun untuk kehidupan saat ini dan mencari bekal untuk kehidupan selanjutnya. Sebagaimana ungkapan I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan, yang artinyaBekerjalah untuk duniamu seakan engkau hidup selamanya; dan bekerjalah untuk akhiratmu, seakan engkau akan mati esok hari.”

Akhirnya, dalam kehidupan ini, kita dituntut memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Pun demikian, kita juga dituntut untuk adil dalam bersikap terhadap diri sendiri dengan tidak hanya melakukan aktivitas untuk kehidupan saat ini. Namun, kita juga harus mempersiapkan segala sesuatu untuk kehidupan berikutnya di alam yang berbeda. Bukankah kehidupan ini singkat dan kita pun bukan spesies asli di bumi ini? wallau a’lam (AA).

Muhammad Ali Murtadlo Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo