(Sepanjang Ramadhan, saya akan menghadirkan kisah cinta yang sangat romantis sekaligus tragis dari dunia Tasawuf, yaitu KHUSRAU DAN SYIRIN. Kisah ini ditulis oleh seorang sufi agung dari Persia, Hakim Nizhami. Kisah cinta selalu digunakan para sufi untuk menggambarkan perjalanan spiritual menemui Allah. Bagi kaum sufi, Allah adalah Kekasih Maha Kekasih, yang kerlingan-Nya saja sudah cukup membuat sang pecinta didera kerinduan yang menguras air mata).
***
Terkisah, ada seorang pemuda saleh datang kepada seorang Syekh Sufi. Kepada sang Syekh, pemuda itu menyatakan ingin menjadi murid. “Saya ingin menempuh jalan tasawuf, wahai Syekh,” kata si pemuda dengan suara takzim.
“Apakah engkau pernah jatuh cinta pada seorang wanita?” tanya Syekh.
Terkesiap pemuda itu. Bagaimana mungkin seorang sufi menanyakan hal yang tidak bermoral itu? Dengan suara mantap, si pemuda menjawab, “Wahai Syekh, saya selama ini menjaga diri dari perilaku dosa. Saya tidak pernah memandang perempuan, apalagi jatuh cinta kepadanya.”
Dengan raut muka setenang kolam dan suara selembut angin pagi, sang Syekh berkata, “Pulanglah, sampai engkau merasakan jatuh cinta, baru datanglah kemari. Aku akan ajari kamu menempuh jalan tasawuf. Jalan ini tidak bisa dilalui oleh orang yang hatinya tidak bisa dibakar oleh api cinta.”
***
Kaum sufi adalah para pecinta Allah. Hidup bagi mereka adalah perjalanan melintasi sahara dunia untuk bertemu Kekasih. Bagi kaum sufi, hubungannya dengan Allah adalah hubungan antara pecinta dengan Yang Dicinta. Adalah kerinduan kepada Kekasih Yang Dicinta itulah yang membuatnya berpaling dari dunia. Setapak demi setapak, mereka memasuki misteri samudera hati yang paling dalam.
Para pecinta Allah ini hidupnya dipenuhi dengan kerinduan yang dalam dan cinta yang membakar. Keterpisahan pecinta dengan sang Kekasih adalah nestapa yang tak terperi. Kisah-kisah romansa yang diciptakan para sufi dipenuhi dengan alegori keindahan cinta sekalipun kepedihan pecinta karena menanggung kerinduan.
Misalnya, dalam kisah “Qais dan Laila”, Laila (yang dicinta) digambarkan sebagai kesempurnaan seorang perempuan. Dia bagaikan taman bunga yang sangat indah. Seluruh semerbak pagi adalah dirinya. Sedangkan Qais adalah lilin yang terbakar pesona. Dia dimabuk hasrat cinta, tenggelam dalam kerinduan yang menyiksa. Tapi dia terus menerus mengairi taman cinta yang ada di hatinya.
Laila ibarat seorang penyihir dengan kerlingan mata di bawah rambut hitamnya. Qais adalah sahaya sekaligus darwisy yang hanya bisa menari-nari di depannya. Layla menggenggam segelas anggur di tangannya dengan wajah yang tertutup topeng. Qais tidak hanya menyentuh gelasnya, dia menenggak seluruh anggur beraroma wangi itu hingga ia mabuk karenanya.
Para sufi, sang pecinta Allah itu, membakar dirinya sendiri seperti lilin yang terbakar api kerinduan. Sang Kekasih menggenggam anggur yang sangat memabukkan. Cinta Allah tidak hanya memabukkan, tapi juga membuat ketagihan. Cukup satu tegukan anggur keilahian dan sang pecinta akan memberi segala yang ia punya untuk bisa menikmati tegukan berikutnya.
Anggur ini mengandung substansi yang “sangat berbahaya”. Hingga seorang Sufi berkata: “Jauhkan, jauhkan, dari para pecinta!”
Cinta adalah rahasia penciptaan terbesar. Cinta adalah sebuah substansi di dalam hati, yang ketika dibangkitkan oleh kerling Kekasih, dia akan mengubah diri dan dunia sang pecinta. Transformasi ini akhirnya sampai pada rahasia penyatuan (wahdah), bahwa pecinta dan kekasih adalah satu.
Ini adalah perjalanan cinta yang dilalui para sufi. Sebuah perjalanan yang berat karena cinta. Tapi adakah sesuatu yang berat saat dikerjakan dalam cinta? Farhad, dalam kisah “Khusru dan Syirin”, diharuskan membuat terowongan menembus batu-batu granit yang padat dan keras Bukit Bistun agar bisa menikah dengan Syirin. “Demi cintaku, tak ada pekerjaan yang terasa sulit,” sambil tangannya mengayunkan palunya ke bukit batu itu. Aku bahkan akan memindahkan gunung ini sekiranya aku diharuskan melakukannya.”
Cinta kepada Allah membuat sang musafir ini seperti orang gila di mata dunia. Dia mencari-cari kekasih yang tak terlihat dan mau memberi apa saja yang dimilikinya, termasuk reputasi, bahkan pengakuan diri sendiri, untuk sebuah kegairahan jiwa yang “gila” ini. Tidak ada yang diharap, tak ada, selain kerlingan sekilas saja dari Kekasih.
Apakah cinta ini memedihkan? Ya. Tapi dengarkan kata Farhad, “Hamba tidak memandang hidup hamba sebagai sebentuk kepedihan, karena bagi seorang pecinta sejati, kepedihan dan obatnya adalah satu dan sama.”
Setiap musafir cinta sesungguhnya adalah Qais yang cintanya kepada Laila membuat air matanya meleleh sederas hujan, mengantarkannya memasuki belantara, di mana cinta akhirnya mentransformasikannya. Cinta membakar habis perasaan terpisah, membuka tabir rahasia maha rahasia, bahwa pecinta dan yang dicinta adalah satu.
Kesatuan dengan sang Kekasih adalah keindahan cinta yang layak diperjuangkan dengan air mata darah. Seorang pecinta tahu bahwa tangisan hati dan pengalaman kematian dirilah yang membuatnya dapat bertemu Kekasih. Bersambung…
Baca selanjutnya: Kisah Cinta Sufi… (1)