Muhammad Ali Murtadlo Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo

Yang Akan ‘Hilang’ dari Ibadah Puasa Kita

2 min read

Di bulan Ramadan tahun ini, umat Islam harus berlapang dada untuk menjalankan ibadah puasa dan ritual agama lainnya dengan nuansa yang berbeda. Umumnya, umat Islam di bulan ini lebih giat beribadah seperti berjemaah, tadarus dan kegiatan lainnya yang merupakan salah satu ekspresi kegembiraan di tengah bulan suci ini. Mereka harus melaksanakan ibadah-ibadah tersebut di rumah masing-masing.  Tentu, semua orang sudah mafhūm terkait penyebabnya; pandemik Covid-19. Hal ini, saya kira, bagi sebagian orang akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas ibadahnya selama bulan Ramadan.

Misalnya, seseorang yang melaksanakan ibadah secara berjemaah tentu memiliki motivasi yang berbeda-beda. Sebagian murni karena Allah (lillahi taālā), namun tidak sedikit pula yang ingin terlihat saleh di mata orang lain (riyā’).

Tentu, motivasi tersebut tentu tidak dapat dilihat oleh orang lain, hanya yang bersangkutan dan Allah saja yang tahu. Jika seseorang memiliki motivasi yang pertama, saya kira tidak ada masalah ketika dia harus beribadah sendiri di rumah. Namun, jika motivasinya adalah yang kedua, maka hal ini lah yang dapat mengakibatkan penolakan terhadap himbauan beribadah di rumah yang sebenarnya memiliki tujuan baik demi keselamatan bersama.

Mereka yang ingin terlihat saleh di mata orang lain, sejauh pengetahuan saya lebih mementingkan kesalehan individunya tanpa memikirkan kondisi orang lain. Padahal dalam beragama, kesalehan secara individu saja tidak cukup dan harus dilengkapi dengan kesalehan secara sosial. Keduanya haru berjalan secara seimbang, saling menyatu sehingga mampu membentuk kehidupan yang seimbang bagi manusia dalam hubungan secara vertikal maupun horizontal.

Pemahaman ini hampir sama dengan pesan moral sosial agama yang ditulis oleh Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan (2016). Menurutnya, ibadah sosial memiliki dimensi sosial yang lebih luas dibandingkan dengan dimensi ibadah personal. Dalam teks fikih klasik, misalnya, dapat dilihat bahwa bidang ibadah personal merupakan satu bagian saja dari sekian banyak bidang keagamaan lain seperti mu‘āmalah (hubungan sosial), munākahāt (hukum keluarga), jināyat (pidana), qadā (peradilan), dan imāmah atau siyāsah (politik).

Baca Juga  Didi Kempot, Sobat Ambyar, dan Wajah Diri

Lebih lanjut, Husein Muhammad menjelaskan bahwa hal ini merupakan bukti bahwa prinsip beragama pada dasarnya mengarahkan pandangan pada kesalehan sosial dalam arti yang luas. Misalnya, ajaran Islam sangat menganjurkan salat berjemaah karena dengan itu dapat membentuk hubungan sosial yang harmonis, solidaritas yang kuat, empati, dan aspek sosial lainnya.

Sedangkan, menurut Mas’udi, agama dapat dilihat dalam tiga kategori yaitu, agama subjektif, agama objektif, dan agama simbolik. Agama subjektif lebih bersifat personal dengan kecenderungan pada kesadaran dan kepasrahan pada Yang Mutlak. Dalam konteks ini, agama personal tidak dapat dihakimi oleh orang lain karena setiap orang memiliki keyakinan dan pemahaman yang sangat individual serta memiliki perbedaan dengan orang lain.

Sebaliknya, agama objektif lebih bermakna akhlak mulia, yakni kontekstualisasi sikap dan perilaku kita pada tataran sosial dengan menyandarkan perilaku tersebut pada ajaran agama, salah satu contohnya adalah kejujuran. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan pemeluknya untuk memiliki sikap tidak jujur.

Hal ini merupakan bukti kontekstualisasi ajaran agama pada aspek perilaku manusia. Agama subjektif dan objektif sama halnya dengan konsep iman dan amal. Iman bersifat personal tetapi amal merupakan aplikasi iman dalam kehidupan sosial. Lebih lanjut, iman menjadi landasan perilaku baik dalam konteks hubungan vertikal dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam (habl min al-nās, wa habl min al-‘ālam).

Sementara yang dimaksud dengan agama simbolik adalah agama nisbi yang hadir karena tuntutan dari agama subjektif dan objektif. Jika agama subjektif dan objektif adalah roh dan jiwa, maka agama simbolik adalah raganya. Agama dipandang dan dijalankan hanya dengan simbol-simbol.

Baca Juga  Pelarangan Gereja, Konspirasi Kristenisasi, dan Jaminan Kebebasan Beragama

Terkait dengan tiga kategori agama oleh Mas’udi di atas, puasa yang dewasa ini bagi sebagian orang hanya dipahami sebagai sebuah ritual keagaaman—yang mewajibkan menahan haus dan lapar—merupakan cerminan dari agama dalam pengertian ketiga, agama simbolik. Puasa hanya dilihat sebagai sebuah sarana untuk mengekspresikan identitas keagamaannya.

Padahal lebih dari itu, puasa mengajarkan banyak nilai kehidupan. Misalnya, ia mengajarkan tentang perlunya sebuah perjuangan yang amat berat, yakni melawan nafsu. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “jihad (tugas) terbesar dan tersulit adalah jihad melawan hawa nafsu”. Termasuk nafsu ingin dipuji, nafsu ingin terlihat saleh dan rajin beribadah di mata orang lain.

Dus, dengan adanya pagebluk Covid-19 yang semua orang dituntut untuk beribadah di rumah ini, berpuasa dalam kondisi seperti ini telah menohok kesadaran pribadi setiap individu Muslim. Bisa jadi, ini adalah salah satu peringatan bahwa puasa Ramadan bukan sekadar hanya rutinitas tahunan dengan berbagai ritual yang semarak dan penuh keramaian.

Saya meyakini bahwa puasa sebenarnya juga merupakan ibadah dalam sepi karena Allah dan orang yang berpuasa saja yang mengetahui tentang kualitas puasa yang sedang dijalani. Tentu, secara tidak langsung, ini juga mengingatkan bahwa beribadah di rumah masing-masing selama bulan Ramadan dalam kondisi seperti ini bukan merupakan persoalan yang perlu diperdebatkan. [AA, MZ]

Muhammad Ali Murtadlo Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *